HUKUMAN MATI UNTUK PEMERKOSA SANTRIWATI DAN PENTINGNYA ADAB MEMILIH GURU

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua umum DDII

Dewandakwahjatim.com, Depok - Ini tuntutan yang adil!  Akhirnya, pada 11 Januari 2022, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Bandung mengajukan tuntutan hukuman mati terhadap Herry Wirawan  (HW) – pemerkosa 12 santriwatinya sendiri. Kejahatan HW sungguh di luar batas kemanusiaan. Apalagi, kejahatan yang luar biasa itu dilakukan dengan berlindung di balik lembaga pendidikan keagamaan.

Jaksa menilai HW terbukti melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 76D UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.41 Tahun 2016 Tentang Perubahan ke Dua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Tak hanya itu, dalam tuntutannya, jaksa juga meminta hukuman tambahan untuk dijatuhkan kepada HW, yaitu: hukuman kebiri kimia, penyebaran identitas, dan restitusi sebesar Rp 311 juta kepada korban.

Hukuman kebiri dan penyebaran identitas pelaku merupakan ketentuan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Sebelum HW, tuntutan hukuman mati untuk pemerkosa sudah pernah dilakukan pada tahun 2017 di Pengadilan Negeri Sorong. 
Ketika itu, ada dua terdakwa, yaitu Ronaldo Wanggaimu alias Donal dan Lewi Gogoba alias Lewi. Keduanya dinilai terbukti memaksa anak melakukan persetubuhan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.  Akan tetapi, hakim menvonis kedua terdakwa dengan hukuman penjara seumur hidup, dan tidak ada hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Mereka pun menerima hukuman tersebut. (https://kumparan.com/kumparannews/herry-wirawan-predator-seks-anak-pertama-yang-dituntut-mati-dan-kebiri-1xHqLOfZ6oZ/full).

Untuk kasus HW, masyarakat tentu menunggu vonis hakim. HW pun sudah mengakui perbuatannya. Katanya, ia mengaku khilaf atas perbuatan itu.  Tentu, itu alasan yang sulit diterima akal sehat. Perbuatan kejinya telah mengakibatkan lahirnya 9 bayi.  Bahkan, ada satu santriwati yang melahirkan sampai dua kali. 

Yang juga mengerikan adalah akibat yang diterima oleh istri dan anak-anaknya sendiri. Sulit dibayangkan bagaimana penderitaan lahir batin yang diterima oleh istri dan anak-anaknya sendiri. Dalam satu wawancara, istri HW mengaku sempat memergoki kelakuan suaminya. Tetapi, ia takut untuk mempersoalkannya. Menurut istrinya, para santriwati itu pun tidak melapor kepada dirinya. Padahal, ia cukup dekat dengan para santriwati. Dalam wawancara itu, tampak istrinya yang sangat sederhana dan polos sikapnya. Ia pun menceritakan penderitaan lahir batin yang dialaminya saat ini. 
Tak hanya diri dan keluarganya yang kini menderita, kejahatan yang dilakukan HW juga mencoreng citra lembaga pendidikan pesantren, sebagai lembaga pendidikan terbaik. Kasus ini berpotensi merusak sistem pendidikan pesantren yang sangat menekankan adab dalam proses pendidikannya. 

Syukurlah, hingga kini, kasus itu tidak menimbulkan dampak ketakutan masyarakat untuk menempuh pendidikan di pesantren. Akan tetapi, setidaknya, kasus HW itu harus menjadi perhatian dan pelajaran yang serius bagi para pimpinan dan guru di pesantren serta para orang tua.


Di pesantren, adab guru dan murid sangatlah ditekankan. Kedudukan guru begitu terhormat. Dalam kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, disebutkan, sejumlah adab yang wajib dimiliki para santri atau murid, yaitu: (a) senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, (b) ikhlas dalam mencari ilmu untuk mencari keridhaan Allah dan bertekad mengamalkannya setelah ia meraih ilmu, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (c) jangan mencari ilmu untuk mengejar kesenangan duniawi, seperti jabatan, pengaruh, popularitas, dan sebagainya, (d) tidak menunda-nunda waktu untuk mencari ilmu, (e) harus sabar atas kehidupan yang sederhana, (f) mampu membagi waktu dengan baik, (g) mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.


Tetapi, menurut KH Hasyim Asy’ari — mengutip nasehat Imam Syafii — orang yang beruntung dalam mencari ilmu adalah yang sabar dan ikhlas dalam kondisi kehinaan diri (dzillatin nafsi), kesempitan hidup, dan khidmah kepada guru. Hormat kepada guru merupakan kunci bagi santri untuk mendapat ilmu yang bermanfaat.


Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dikisahkan, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid – kepala negara terbesar Bani Abbasiyah — mengirim anaknya untuk belajar kepada seorang ulama bernama al-Ashmaiy. Tujuannya agar anak Khalifah itu belajar ilmu dan adab.
Suatu saat, Harun al-Rasyid menegur guru anaknya itu, karena ia melihat anaknya menuangkan air untuk gurunya berwudhu, tanpa mencuci kaki gurunya. Kata Khalifah Harun al-Rasyid: “Sungguh, aku mengirim anakku kepadamu agar kamu menjadikan ia berilmu dan beradab. Mengapa kamu tidak menyuruh anakku itu menuangkan air dengan satu tangannya dan satu tangannya lagi kamu suruh mencuci kakimu!”


Jadi, dalam tradisi pendidikan Islam, murid memang diposisikan seperti pasien yang harus menurut dan percaya kepada dokter (guru)-nya. Karena itulah, amat sangat penting untuk memilih guru yang benar dan tepat dalam pendidikan anak.
Dalam kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga menyebutkan sejumlah adab yang perlu dimiliki guru, diantaranya: (a) harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, (b) memiliki rasa takut (khauf) kepada Allah, (c) rendah hati (tawadhu’), (d) khusyu’ dalam ibadah, (e) mentaati hukum Allah, (f) menggunakan ilmunya dengan benar, (g) zuhud (tidak cinta dunia), (h) selalu mensucikan jiwanya, (i) menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.


Begitulah adab guru. Selain wajib memiliki ilmu yang benar, guru juga harus menjadi contoh dalam ibadah dan akhlak. Ia pun harus menjaga kewibawaan. Jangan sampai merendahkan martabatnya di hadapan penguasa atau orang berharta. Kyai Hasyim, dalam Kitabnya ini, mengutip nasehat Hamam bin Munabbih, bahwa jika ulama sudah menggadaikan ilmunya untuk kesenangan dunia, maka para ‘ahli dunia’ akan memandang rendah pada para ulama itu.


Sekali lagi, kasus HW itu perlu menjadi pelajaran berharga bagi pesantren dan bagi orang tua, agar benar-benar memahami tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Jika ia tidak sanggup mendidik sendiri, maka kewajiban orang tua adalah mencarikan guru yang baik bagi anak-anaknya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 11 Januari 2022).

editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *