MENYAMBUT 2022: HARUSKAH MENARIK DIRI DARI KEHIDUPAN?

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Tahun 2021 segera berlalu. Suka atau tidak suka, jika masih diberi umur, kita harus memasuki tahun 2022. Tidak ada pilihan lain. Kita harus bersikap optimis dalam menyambut tahun 2022. Meski, kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa kita belum memperlihatkan banyak harapan perubahan besar.


Tapi, sebagai Muslim tentu kita tetap yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani di arena internasional. Syaratnya, bangsa ini mau berpegang teguh kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, bangsa ini adalah bangsa Muslim terbesar. Mayoritas penduduknya Muslim. Kita yakin, karakter ajaran Islam dan kekayaan sejarah Islam, akan mampu mengantarkan bangsa ini ke arah kebangkitan yang sebenarnya. Kita yakin itu. Karena kita Muslim.


Abul Hasan Ali an-Nadwi, ulama besar India, dalam bukunya Maadza Khasiral ’Alam bi-Inhithaathil Muslimin (Apa Kerugian Dunia Islam akibat Kemunduran kaum Muslim) menyebutkan, bahwa umat Islam adalah pemegang amanah risalah para Nabi dan Rasul Allah. Jika mereka lemah dan mundur, maka misi kenabian akan menjadi lemah. Umat Islam adalah bagaikan obat yang tugasnya menyembuhkan tubuh kemanusiaan. Banyak pemikiran Ali an-Nadwi yang menarik untuk dikaji. Mohammad Natsir menganjurkan kaum Muslim Indonesia agar membaca buku-bukunya.


Tetapi, sejak zaman pra-kemerdekaan, para tokoh Islam sudah menawarkan konsep Islam untuk mengatur negara Indonesia merdeka. Dan kita tahu, usul itu ditolak oleh berbagai pihak, baik kaum non-Muslim maupun kaum sekular. Mereka lebih percaya kepada konsep-konsep lain untuk membangun bangsa ini. Tentu kita menghormati aspirasi mereka, meskipun kita tidak akan pernah berhenti menawarkan solusi Islam bagi kemanusiaan.
Sebagai pengemban amanah risalah dan pelanjut perjuangan para pendahulu kita, tugas kita sekarang bukan hanya membuktikan, bahwa secara konseptual Islam memang hebat. Tetapi, yang lebih penting adalah membuktikan konsep Islam itu dalam tataran realitas kehidupan kaum Muslim sendiri. Manusia-manusia Muslim harus menjadi manusia-manusia terbaik dan teladan di berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia tidak akan mudah percaya kepada jalan Islam jika kaum Muslim sendiri – terutama para elitenya – gagal membuktikan ucapan-ucapan mereka sendiri.


Manusia-manusia Muslim haruslah menjadi sosok-sosok manusia merdeka. Mereka harus memiliki iman yang kokoh, rakus terhadap ilmu, kuat dan ikhlas dalam ibadah, berakhlak mulia, tidak diperbudak oleh hawa nafsu dunia, tigak gila harta, tidak gila kedudukan, dan gandrung popularitas. Kita tidak perlu menuntut orang lain untuk menjadi seperti itu. Tapi, diri kita dulu yang perlu bekerja dan berusaha sekuat tenaga agar menjadi ”manusia merdeka”.


Kita bisa bertanya pada diri kita masing-masing, untuk apakah kita berniat menjadi Presiden, menjadi guru, menjadi menteri, menjadi anggota DPR, menjadi wartawan, menjadi mahasiswa, menjadi ketua organisasi, dan sebagainya? Apakah semua posisi itu ingin kita raih dengan tujuan untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah, atau hanya untuk memenuhi syahwat duniawi? Apakah kita masih mau berlomba-lomba menjadi caleg, jika gaji anggota DPR disamakan dengan gaji guru SD/TK?
Jika kehidupan sudah dikuasai nafsu syahwat duniawi, maka kaum Muslim perlu memikirkan serius langkah perjuangan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw: ‘Hendaklah kalian tetap melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, hingga apabila engkau melihat egoisme yang ditaati, hawa nafsu yang dijadikan panutan, dunia yang diutamakan, dan tiap orang pandai bangga dengan pendapatnya sendiri, dan engkau mendapati persoalan terlalu sulit diatasi, maka saat itu hendaklah engkau sibuk dengan diri sendiri dan tinggalkan (kecenderungan) kebanyakan orang.

Sesungguhnya di hadapan kalian ada masa-masa dimana bertahan dengan kesabaran ibarat sedang menggenggam bara api. Orang yang berbuat pada masa-masa itu mendapat pahala yang setara dengan pahala lima puluh orang di antara kalian’.” (HR Baihaqi dan Ibn Majah).
Jika kondisi sudah rusak dan terlalu sulit diperbaiki, maka perlu dipikirkan tindakan al-insihab wal ’audah (proses menarik diri untuk kembali). Tindakan ini tidak lari dari persoalan masyarakat, melainkan justru ingin melakukan perubahan mendasar terhadap masyarakatnya. Melalui gerakan ini, dilepaskanlah kecenderungan publik (yang dikuasai syahwat dunia) dan dilakukanlah pembenahan internal untuk bersiap-siap melakukan gerakan lain yang strategis di masa depan.


Dalam proses ini, dilakukan evalusasi serius dan pembenahan terhadap pemikiran, kondisi jiwa dan perilakunya. Sebab, perjuangan membutuhkan pemikiran yang benar (sahih), amal ibadah yang sungguh-sungguh, dan keikhlasan yang tinggi.

(Humas DDII Jatim)


Perjuangan harus dilakukan oleh manusia-manusia merdeka, yang tidak dijajah oleh hawa nafsu, tidak dirasuki sifat hubbud-dunya, riya’, dengki, dan berbagai penyakit lainnya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 26 Desember 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *