Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
k
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakewahjatim.com,Depok - Tahun 2024, insyaAllah akan ada pemilihan Presiden Indonesia periode 2024-2029. Itu masih 3 tahun lagi, dihitung dari tahun 2021 ini. Tapi, geliat persiapan pilpres (pemilihan presiden) sudah dimulai. Sejumlah nama sudah digadang-gadang akan menjadi calon kuat dalam pilpres 2024. Seru! Media massa pu tak melewatkan berita-berita seputar pilpres 2024.
Sejumlah nama bakal capres dan cawapres pun sudah muncul, seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, Sandiaga Uno, Puan Maharani, dan sebagainya. Nama-nama itulah yang telah muncul dalam sejumlah survei capres-cawapres 2024. Menjadi capres-cawapres masih banyak diminati, meskipun kondisi Indonesia saat ini sangat berat dalam berbagai aspeknya.
Lalu, bagaimana kondisi umat Islam di tahun 2024? Seperti biasa, dengan jumlah penduduk muslim sekitar 86 persen, maka sebenarnya secara nomimal umat Islam akan tetap menjadi faktor dominan dalam memilih capres-cawapres. Tetapi, itu “umat Islam” dalam makna umum, yakni orang yang secara formal memeluk agama Islam.
Jika mengacu pada makna “umat Islam” secara khusus, jumlahnya sekitar 40 persen. Mereka ini adalah orang-orang yang menginginkan ajaran-ajaran diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Ini jika mengacu pada hasil pemilu 1955 dan perkembangan dakwah sesudahnya.
Sejak tahun 1945, komunitas politik kaum muslim Indonesia secara umum masih terbagi menjadi dua: nasionalis Islam dan nasionalis sekuler; atau istilah Bung Karno: golongan Islam dan golongan kebangsaan. Tentu saja, ada kelompok ketiga, yang menetapkan pilihan secara pragmatis, sesuai dengan tawaran-tawaran program dan popularitas capres-cawapres.
Nasionalis Islam adalah orang-orang muslim yang mencitakan ajaran-ajaran Islam diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan nasionalis sekuler, adalah orang-orang yang beragama Islam tetapi memandang agama sekedar menjadi urusan pribadi dengan Tuhan.
Dalam pemetaan sederhana seperti itu, maka bisa diprediksi, bahwa capres-cawapres yang berpeluang terpilih adalah yang memiliki basis massa yang kuat pada dua komunitas muslim tersebut. Setidaknya, ia memiliki basis massa yang kuat di satu komunitas muslim, dan tidak ditolak oleh komunitas lainnya. Itulah kenapa sosok-sosok yang muncul adalah nama-nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies R. Baswedan, dan sejenisnya.
Patut direnungkan, bahwa kondisi internal umat Islam saat ini memang sangat mirip dengan kondisi di era Perang Salib yang dimulai tahun 1095. Kondisi jiwa internal umat dan friksi politik di kalangan Muslim ketika itu menjadi faktor utama kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib.
Menghadapi serban besar dan ganas dari Pasukan Salib Eropa, respon kaum Muslim sangat tidak memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic Perspective (1999), Carole Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang sangat lemah dalam menghadapi serbuan besar pasukan Salib.
Muslim didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan pragmatis. Penguasa-penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, pasukan Salib justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik, dan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuannya.
Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali al-Sulami (1039-1106), seorang ulama murid Imam al-Ghazali. Ia menulis Kitab berjudul Kitab al-Jihad. Ali al-Sulami melihat kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik, tetapi menyangkut soal sikap keagamaan.
Melihat kondisi Muslim yang parah, al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam dua tahap: (1) melakukan perbaikan moral (moral rearmament) untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim. Ia melihat, kekalahan Muslim adalah pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab mereka meningggalkan kewajiban kepada Allah dan mengabaikan perjuangan di jalan Allah. (2) melakukan konsolidasi dan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.
Dalam tahap perbaikan moral itulah, Al-Sulami melakukan perjuangan internal, dimulai dari diri individu muslim, yakni dengan cara berjihad melawan hawa nafsu. Mujahadah ‘alan nafsi ini kemudian dipadukan dengan perjuangan melawan musuh yang datang dari Eropa.
Solusi al-Sulami yang melihat problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral, perlu menjadi pelajaran berharga. Problem sosial, politik, dan ekonomi umat Islam tidak dipisahkan dari problem pendidikan dan dakwah. Bahkan, ia menempatkan aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem sosial, ekonomi, dan politik.
Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit, saat Perang Salib, umat Islam hanya terserang semacam “infeksi batu ginjal”. Setelah batunya dikeluarkan, dan infeksinya diobati, maka kondisi umat pun kembali pulih. Kini, bisa dikatakan, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanker ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh. Bukan hanya secara sosial, ekonomi, dan politik, tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak “PD” (percaya diri) pada ajaran Islam.
Bahkan, lebih jauh, tak sedikit cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang memandang nilai-nilai dan ajaran-ajaran sekuler lebih layak diterapkan ketimbang ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, patut dicatat, jalan kebangkitan umat Islam adalah satu sunnatullah.
Al-Quran banyak menjelaskan tentang jatuh bangunnya satu kaum atau peradaban (Mis. QS 6:44, 17:16). Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah – sebagaimana diperintahkan al-Quran – dan gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta hanya melihat dan menangani masalahnya secara parsial dan superfisial, sulit dibayangkan, akan terjadi perubahan yang signifikan pada bangsa Indonesia di tahun 2024.
Secara hakiki, kebangkitan umat dan bangsa Indonesia di masa depan, tetap menunggu lahirnya generasi baru yang dijanjikan Allah (QS 5:54). Tetapi, tahun 2024, menjadi satu tahapan penting untuk menapaki jalan-jalan kebangkitan umat dan bangsa pada babak-babak berikutnya.
Dalam konteks pilpres 2024, yang diperlukan adalah sekelompok entitas elite politik umat Islam yang ikhlas dan bersungguh-sungguh berjuang untuk umat dan bangsa Indonesia. Merekalah yang diharapkan untuk berijtihad dan berjuang di jalan yang mulia untuk memilih capres-cawapres 2024-2029 yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Kita percaya dan berdoa, semoga mereka mendapatkan bimbingan dan perlidungan dari Allah SWT. Wallahu A’lam bish-shawab. (Jakarta, 13 November 2021).
Ed. Sudono Syueb