Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com,Depok - Nungkin masih banyak yang belum menyadari, bahwa problem utama pada Permendikbud 30 adalah kehancuran standar nilai moral bangsa di Perguruan Tinggi. Peraturan Menteri itu telah memaksa kampus untuk serius menangani kejahatan seksual (kekerasan seksual) tanpa persetujuan, dan pada saat yang sama disuruh membiarkan kejahatan seksual yang dilakukan dengan persetujuan (perzinahan).
Padahal, kasus-kasus perzinahan dan aborsi sudah sangat mengerikan. Begitu juga dengan tingginya angka aborsi akibat kasus-kasus perzinahan di kalangan pelajar dan mahasiswa. (https://semarang.ayoindonesia.com/netizen/pr-77780540/Kohabitasi-Kumpul-Kebo-di-Lingkungan-Kampus?page=all).
Jadi, dengan ditetapkannya Permendikbud tersebut, maka bangsa Indonesia – khususnya seluruh sivitas akademika di Perguruan Tinggi – dipaksa untuk melepaskan agama dari kehidupan mereka. Mereka dipaksa untuk menganut standar nilai moral liberal, yang bebas dari ketentuan agama.
Seorang tokoh liberal menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”
Ketika agama disingkirkan untuk menentukan baik dan buruk, maka manusia akan menganut kenisbian nilai dan akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup serta ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus.
Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:
“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan
meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk
sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).
Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat, patung-patung para dewa pun ditampilkan telanjang bulat dengan alat vital terbuka. Semua itu dianggap seni; bukan pornografi. Nilai-nilai moral tidak memiliki ketentuan yang pasti; bisa berubah-ubah setiap saat.
Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas aurat wanita dan laki-laki jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayat-ayat al-Quran maupun hadits Rasulullah saw. Begitu juga soal batas-batas pergaulan dan aktivitas seksual. Dalam Islam, sudah jelas, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Nah, dalam Permendikbud 30, batas-batas nilai moral Islam itu dihancurkan dan diganti dengan standar nilai moral seksual baru berdasarkan “persetujuan”. Jika dikatakan, bahwa Permendikbud ini hanya mengatur soal “kekerasan seksual” dan bukan berarti membolehkan zina, maka pertanyaannya adalah: mengapa tidak sekalian saja Permendikbud itu menegaskan penanganan perzinahan di kampus? Apakah zina dianggap tidak ada dan dianggap tidak bahaya karena dilakukan saling suka?
Dalam perspektif Islam, korban kekerasan seksual (perkosaan) adalah orang yang terzalimi, dan wajib dibela habis-habisan. Pelakunya – meskipun pejabat tinggi di kampus — harus dihukum mati. Sang korban tidak mendapat dosa, karena ia dizalimi. Itulah ketentuan Islam. Dalam hal beratnya sanksi hukum ini, ketentuan dalam Permendikbud 30 masih jauh dari keseriusan pembelaan Islam terhadap korban kekerasan seksual.
Sebaliknya, aktivitas zina – meskipun dilakukan suka sama suka – adalah kejahatan besar dalam pandangan Islam. Pelakunya yang belum menikah harus dihukum berat dengan dicambuk 100 kali. Jika pelakunya sudah menikah, maka hukumannya dilempari batu sampai mati!
Setiap Muslim atau yang masih mengaku Muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Tidaklah sepatutnya jika standar nilai moral dalam al-Quran disingkirkan dan diganti dengan standar nilai sekuler yang mengabaikan agama. Al-Quran menggambarkan perilaku manusia-manusia yang mencampakkan ayat-ayat Allah adalah laksana anjing:
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami; kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka setan pun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, maka dia menjulur-julurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulur-julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176). (Depok, 14 November 2021).
Ed. Sudono S