Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com – Betapa akrabnya kita dengan penegasan Allah SWT dalam al-Quran: “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan kamu beriman kepada Allah.” (QS 3:110).
Umat Islam adalah umat yang mulia. Umat yang diserahi tugas mewujudkan rahmatan lil alamin, memakmurkan bumi dan mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab, kata Nabi saw, Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.
Nabi Muhammad saw menjadi teladan tertinggi. Pendidikan Nabi adalah yang terbaik. Tanpa bangku sekolah dan universitas, beliau beerhasil mendidik dan melahirkan manusia-manusia terbaik pada level internasional. Secara fisik dan pemikiran mereka mampu mengungguli pemimpin dan tokoh-tokoh Romawi dan Persia.
Dalam Perang Yarmurk, beberapa tahun sepeninggal Rasulullah saw, pasukan Islam mampu menaklukkan pasukan Romawi yang jumlahnya sepuluh kali lipatnya. Lalu, tahun 636 M, Jerusalem pun dibebaskan. Dari Madinah, Khalifah Umar bin Khatab berkuda ke Jerusalem menerima penyerahan kunci kota dari pemimpin Kristen Patriach Shafraniyus.
Menghadapi kekuatan-kekuatan besar dunia, umat Islam kala itu tidak gentar. Tengoklah, misalnya, bagaimana seorang Ja’far bin Abi Thalib, dalam keadaan terjepit sebagai pengungsi, mampu mengeluarkan argumen-argumen jitu di hadapan Raja Najasi dan pembesar-pembesar agama Kristen di Habsyah.
Tentu tiada habisnya kisah pribadi-pribadi besar di kalangan umat Islam. Mereka menggoreskan tinta emas bagi sejarah kehidupan manusia. Itu diawali dengan keyakinan kuat akan keunggulan Islam.
Kita kenal pribadi Hamka, yang dengan tegas menolak permintaan pemerintah agar fatwa Natal dicabut. Demi menjadi kemandirian, sejak awal Hamka menolak berkantor di Istiqlal dan digaji sebagai ketua MUI. Maka, tatkala situasi menuntut mundur dari MUI, bukan masalah baginya.
Kita ingat kekuatan keyakinan seorang Mohammad Natsir. Saat duduk di bangku SMA Belanda (AMS), Mohammad Natsir sudah mengangkat pena di media massa, menjawab tuduhan miring seorang pendeta Belanda terhadap Islam. Ketika itu, 1929, seorang pendeta Kristen bernama Ds. Christoffels, berceramah dengan tema”Quran en Evangelie” dan ”Muhammad als Profeet”. Esoknya, pidato itu dimuat di surat kabar ”A.I.D.” (Algemeen Indish Dagblad). Tak lama kemudian, Natsir menulis artikel, menjawab opini sang pendeta, melalui koran yang sama.
Karena prestasi akademiknya di SMA Belanda, Mohammad Natsir mendapat tawaran kuliah di Perguruan Tinggi Belanda: Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Kuliah Ekonomi di Rotterdam Belanda. Tetapi, Mohammad Natsir memilih untuk memasuki kampus Belanda itu. Ia langsung berguru kepada tokoh-tokoh hebat, seperti Ahmad Hassan, Syekh Ahmad Soorkati, dan Haji Agus Salim.
Natsir juga memilih terjun langsung sebagai guru, tanpa di bayar. Bukan hanya itu. Natsir pun mengelola sekolah sendiri: Pendidikan Islam (Pendis). Meskipun hanya tamatan SMA, Natsir memelopori pendirian Universitas Islam pertama di Indonesia. Kampus pertama milik orang Indonesia itu berdiri 8 Juli 1945. Ketua Panitia Pendiriannya adalah Mohammad Hatta dan sekretarisnya Mohammad Natsir. Tahun-tahun berikutnya, Natsir memelopori pendirian puluhan universitas Islam di Indonesia.
Itu dulu! Bagaimana kondisi kita saat ini? Konon, katanya, kita mendengar, membaca, menyimak, bahwa kita kalah dalam berbagai sektor kehidupan! Benarkah begitu? Kemana ribuan sarjana-sarjana kita yang setiap tahun kita lahirkan dari perguruan Tinggi Islam? Apakah lembaga-lembaga pendidikan kita serius mencetak para para pejuang penegak kebenaran? Apakah kita lebih banyak melahirkan para pemburu syahwat dunia dan lupa pada amanah perjuangan menegakkan kebenaran?
Kita paham sekali, Allah murka karena kita hanya mengatakan apa yang tidak kita kerjakan! (QS 61:2); Allah tidak cinta kepada kita jika kita berjuang di jalan-Nya, tetapi berjalan sendiri-sendiri dan tidak membentuk shaf yang rapi laksana satu bangunan yang kokoh! (QS 61:4).
Nabi saw: Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lidahmu! Dan kita pun sering mendengar peringatan Nabi saw, bahwa umat Islam akan jadi buih, tidak ada harga dan martabat, jika terkena penyakit al-wahnu, yakni penyakit cinta dunia dan takut mati! Kita paham! Kita sangat paham itu! Bahwa, umat Islam akan menjadi hina jika sudah terjebak dalam kesibukan dunia, dan meninggalkan jihad fi-sabilillah.
Sekulerisme adalah paham yang sangat merusak umat manusia. Mohammad Natsir sangat konsisten untuk menolak sekulerisme. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante, November 1957, Natsir menyatakan, bahwa bangsa Indonesia hanya memiliki dua pilihan: apakah memilih jalan sekuler (la-diniyyah) atau jalan agama. Dan memang, manusia hanya punya dua pilihan: mau diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa, atau tidak mau diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Kini, para tokoh dan organisasi Islam telah mendirikan ratusan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Nama “Islam” ditempelkan di Universitas, Institut, atau Sekolah Tinggi, tentu bukan tanpa makna. Jika kuliah di kampus Islam sama saja dengan kuliah di kampus yang “bukan Islam”, maka untuk apa didirikan kampus Islam?
Ironisnya, hingga kini, banyak sekolah Islam tingkat SMA yang membanggakan para lulusannya yang diterima di kampus-kampus bukan Islam. Mereka menyebut kampus-kampus itu sebagai “Perguruan Tinggi Favorit”.
Mengapa kampus-kampus itu disebut Perguruan Tinggi favorit? Apa kriterianya? Para pengelola sekolah-sekolah Islam atau pesantren pasti paham benar, bahwa yang disebut kampus favorit (dalam arti: yang terbaik) adalah kampus yang mengutamakan pembentukan pribadi muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia.
Dalam perspektif Islam, Kampus yang mengajarkan ilmu yang salah, ilmu yang merusak iman dan mengabaikan akhlak mulia, tidak dapat dikatakan yang terbaik atau yang favorit. Mungkin, kampus favorit itu punya keunggulan dalam bidang ilmu atau profesi tertentu. Misalnya, karena banyak lulusannya yang jadi pejabat atau orang yang banyak duitnya.
Uniknya, ada lembaga atau organsisasi Islam yang memberikan ucapan selamat kepada santri/murid-muridnya yang diterima di Perguruan Tinggi yang dianggap “favorit”, tetapi tidak bangga dan tidak memberikan ucapan selamat jika para santri/muridnya itu diterima di kampusnya sendiri.
Padahal, kampusnya sendiri itu adalah kampus Islam yang mendidik para mahasiswanya menjadi insan yang beriman dan berakhlak mulia. Juga, para pimpinan dan aktivis lembaga itu pun rajin mengkritik sekulerisme/liberalisme, dan sejenisnya.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Dimana akar masalahnya? Tanyalah pada hati kita masing-masing! Sebab, masalahnya memang ada dalam diri kita sendiri. Ada dalam pikiran dan jiwa kita! Sebabnya, kita tidak percaya dan tidak bangga dengan kampus kita sendiri! Wallahu A’lam bish-shawab! (Depok, 4 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb