Rasulullah ﷺ bersabda:
((مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
[رواه أبو داود: 3666] “
Barangsiapa mempelajari ilmu yang sepatutnya dicari untuk menggapai wajah Allah azza wajalla, tapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapat satu bagian dari dunia, niscaya tidak mencium bau Surga pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud, no. 3666 dengan sanad sahih)
Akhil kariim, ukhtil kariimah… Hadis ini sangat jelas menunjukkan bahwa orang yang belajar ilmu syar’i atau ilmu agama untuk mendapatkan dunia maka kelak tidak bisa masuk Surga.
Mencium saja tidak, apalagi masuk ke dalamnya. Tetapi perlu diketahui, ini memang untuk orang yang sejak awal niatnya adalah untuk dunia. Semisal Anda belajar syariah dan masuk fakultas agama Islam tujuannya agar menjadi hakim, bisa menjadi PNS yang bekerja di pengadilan, menjadi seseorang yang jelas pendapatannya, dan lain sebagainya.
Jika seperti ini niatnya maka –Na’udzu billah- Anda dikhawatirkan termasuk kelompok yang disebutkan dalam Hadis di atas. Tapi jika niat awal Anda belajar agama agar bisa beribadah kepada Allah dengan benar, kemudian mengajarkan agama itu kepada orang lain dan menghilangkan kebodohan dari kaum muslimin, baik apakah nanti diterima bekerja di pengadilan atau tidak, jadi PNS atau tidak, yang penting niat awalnya adalah untuk Allah, yaitu untuk menghilangkan kebodohan dari diri Anda dan kaum muslimin, kemudian bisa beribadah dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah SAW maka tidak menjadi masalah, sangat baik, dan malah anda mendapat dua pahala.
Sayangnya Akhil kariim, ada beberapa orang memahami Hadis ini dengan pemahaman kurang tepat. Mereka meyakini guru agama tidak patut mendapat gaji. Guru yang mengajar TPA di Masjid juga tidak patut mendapat honor. Termasuk ustad yang memberikan pengajian di Masjid dan lainnya. Jika mendapat honor berarti mereka tidak ikhlas dalam pengajarannya itu.
Kami katakana, “Inilah penyebab mengapa rata-rata guru agama adalah miskin.” Karena semua orang berkeyakinan: Orang ikhlas itu tidak patut mendapat bayaran, dan orang yang mengajar ngaji untuk mendapat gaji pasti tidak bisa mencium aroma Surga. Karena itu banyak para lulusan yang tidak mau menjadi guru, mending menjadi kontraktor, pengacara, artis, atau pekerjaan lain yang penting bukan guru. Karena guru tidak bisa menjadi kaya. Akhil kariim… perlu dibedakan antara hak dan kewajiban dengan keikhlasan itu sendiri.
Masalah “ikhlas”, itu antara hamba dengan Rabbnya.
Tetapi antara Anda dengan sesama manusia, di sana terdapat hak dan kewajiban. Jika Anda berpedoman guru ngaji harus ikhlas, dalam arti tidak perlu mendapat gaji, maka siapa yang mau mengajari anak-anak Anda mengaji??!! Dan mestinya hal ini Anda perlakukan pada pekerjaan-pekerjaan yang lain. Jika Anda bekerja sebagai dokter yang ikhlas, mestinya jangan mengambil upah dong. Jika Anda bekerja sebagai buruh pabrik, kalau ikhlas mestinya jangan mengambil gaji dong.
Jika Anda bekerja sebagai mekanik atau apa pun lainnya pada suatu perusahaan, jika Anda ikhlas mestinya jangan ambil gaji juga. Ingat, mereka juga punya anak yang butuh makan. Mereka butuh membeli baju baru untuk ganti. Mereka juga terkadang sakit yang membutuhkan pengobatan. Jika seperti ini pemikiran Anda, maka jangan suruh mereka mengajar anak-anak Anda sekalian. Mending biarkan mereka menjadi penjual es campur atau penjual bakso, yang jelas mendapat upah dari penjualannya dan halal.
Mana mungkin kita meminta seseorang mengajari anak kita mengaji, sementara dia tidak ada waktu bekerja untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Mengapa hal semacam ini tidak Anda jalankan pada diri Anda sendiri?!. Sekiranya Anda yang menjadi guru ngaji atau guru TPA, bagaimana perasaan Anda?!! Memang kewajiban mereka adalah mengajarkan agama, tapi tetap berikan hak mereka. Adapun nanti mereka kerjanya ikhlas karena Allah atau memang niat awalnya untuk mendapat gaji, itu bukan urusan Anda. Itu urusan dia dengan Allah Ta’ala.
Dan saya katakan: Menerima upah dari guru ngaji atau guru agama, adalah sah-sah saja dan halal seratus persen. Apalagi Anda mengajarkannya dengan niat menyebarkan agama Allah, kemudian Anda mendapat gaji itu.
Rasulullah bersabda: ((أَحَقُّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ)) “Upah yang paling patut kalian ambil, adalah dari hasil mengajarkan kitabullah.” (Sahih Al-Bukhari, no. 2275)
Pada Hadis ini Nabi jelas menyatakan bahwa upah yang diambil seorang guru ngaji, termasuk guru agama adalah halal. Dan ini masuk juga pada upah yang diambil seorang tukang ruqyah. Karena dia membacakan ayat-ayat Al-Quran untuk menyembuhkan orang yang terkena sihir, santet, atau gangguan jin lainnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“هَذَا تَصْرِيْحٌ بِجَوَازِ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى الرُّقْيَةِ بِالْفَاتِحَةِ وَالذِّكْرِ، وَأَنَّهَا حَلَالٌ لَا كَرَاهَةَ فِيْهَا، وَكَذَا الْأُجْرَةُ عَلَى تَعْلِيْمِ الْقُرْآنِ، وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمَالِكٍ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِيْ ثَوْرٍ، وَآخَرِيْنَ مِنَ السَّلَفِ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ” . “
Hadis ini penjelasan yang terang tentang bolehnya mengambil upah atas ruqyah baik dengan Al-Fatihah dan dzikir. Serta menjelaskan bahwa upah ini halal dan tidak makruh sama sekali. Demikian halnya upah hasil mengajari Al-Quran.
Ini madzhab Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan banyak ulama’ lain dari kaum Salaf maupun setelah mereka.” (Syarah An-Nawawi, 14/188) Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“وَاسْتَدَلَّ بِهِ لِلْجُمْهُوْرِ فِيْ جَوَازِ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيْمِ الْقُرْآنِ”
“Hadis ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama tentang bolehnya mengambil upah dari hasil mengajar Al-Quran.” (Fathul Baari, 4/453, cet. Daarul Ma’rifah)
Asy-Sya’bi rahimahullah, seorang ulama’ tabiin berkata: “لاَ يَشْتَرِطُ الْمُعَلِّمُ إِلَّا أَنْ يُعْطِيَ شَيْئًا فَلْيَقْبَلْهُ” “Jika guru memberi syarat agar diberi imbalan ketika mengajar, hendaknya syarat itu diterima.” (Fathul Baari, 4/454)
Al-Hakam rahimahullah berkata: “لَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا كَرِهَ أَجْرَ الْمُعَلِّمِ” “Saya tidak mendengar seorang ulama’ pun yang menghukumi makruh gaji seorang guru.”
(Ibnu Baththal, Syarah sahih Al-Bukhari, 6/404)
Bahkan Nabi r sendiri bersabda kepada Umar ketika menolak menerima pemberian beliau:
((خُذْهُ، إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ))
“Ambillah harta ini. Jika suatu harta datang kepadamu tanpa engkau menginginkan dan memintanya maka ambillah.” (Sahih Al-Bukhari, no. 1473)
Kesimpulannya:
Mulai sekarang mari kita muliakan guru dan menghargai mereka. Sejarah Islam menyatakan: Gemilangnya ilmu pada zaman-zaman pemerintahan Islam, karena para ulama’ sangat dimuliakan dan dihargai. Justru yang langsung menghargainya adalah para penguasa. Namun ketika penguasa tidak lagi memperhatikan mereka, maka ilmu pun menjadi lemah dan sirna. Allahu a’lam bish shawaab.
@kaf.sidoarjo