Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
dewandakwahjatim.com – Pada tahun 1930, Albert Einstein menulis: “”Saya lebih dapat menerima adanya kesepakatan yang adil dengan orang-orang Arab, atas dasar hidup bersama dalam kedamaian, dari pada harus membentuk sebuah negara Yahudi. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan praktis, kesadaran saya akan esensi Judaisme menolak gagasan sebuah negara Yahudi, dengan garis perbatasan, angkatan bersenjata, dan sebuah tindakan temporal yang berlandaskan kekuatan, bukan kerendahhatian. Saya takut akan terjadi kehancuran Yudaisme dari dalam, terutama akibat tumbuhnya nasionalisme sempit di kalangan kita sendiri. (Roger Garaudy, Israel dan Praktek-praktek Zionisme, (Bandung: Pustaka, 1988).
Apa yang dikhawatirkan Albert Einstein kini sudah terjadi. Harapan terjadinya perdamaian dunia tampak kian pupus. Ketika tulisan ini sedang dibuat, Zionis Israel sedang gencar-gencarnya melancarkan serangan ke Gaza. Serangan itu telah membunuh 100 lebih penduduk Gaza. Lebih dari 500 orang luka parah. Banyak diantaranya anak-anak dan wanita. Beberapa hari sebelumnya, tantara Israel juga menyerbu Masjid al-Aqsha, melukai ratusan jamaah masjid yang sedang menjalankan ibadah Ramadhan.
Tahun 2003, dalam Konferensi Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur, PM Malaysia Mahathir Mohammad, mengingatkan, bahwa penyelesaian masalah Palestina adalah kunci dari perdamaian dunia. Hal senada juga disuarakan oleh banyak ilmuwan di AS sendiri, seperti Paul Findley, Mochel Colin Piper, dan sebagainya.
Tetapi, dukungan AS kepada Israel yang membabi buta, telah menyeret dunia ke situasi konflik abadi yang jauh dari cita-cita perdamaian. Politik luar negeri AS terhadap Israel tampak tidak masuk akal dan semena-mena, ketika AS harus mendukung tindakan Israel yang jelas-jelas salah dan bertentangan dengan hukum internasional. Misalnya, Presiden AS Donald Trump memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Padahal, klaim Israel atas Jerusalem belum disahkan PBB.
Pada saat yang sama, kekejaman tentara Zionis Israel sudah menjadi santapan rutin masyarakat internasional. Dunia sudah maklum, bahwa Israel bukanlah sebuah negara kecil yang lemah yang dikepung oleh kekuatan-kekuatan besar, seperti David (Daud) melawan raksasa Goliath (Jalut). Dunia sudah dengan mudah menyaksikan kekuatan negara Yahudi Israel dengan dukungan negara adidaya Amerika Serikat.
Buktinya, berbagai resolusi dan imbauan terhadap Negara Yahudi Israel sudah tak diindahkan lagi. Peraturan-peraturan internasional diabaikan, dengan berbagai alasan. Lebih mendasar lagi, negara Zionis Israel tetap menerapkan praktik rasisme. Karena itulah, ilmuwan Yahudi Dr. Israel Shahak menyebut negara Israel merupakan ancaman perdamaian, bukan saja untuk Kawasan Timur Tengah, tetapi juga untuk dunia.
Bagi seorag muslim, istilah “Israel” sebenarnya bermakna mulia, karena merupakan nama lain dari Nabi Ya’qub (‘alaihi salam). Tapi, kaum Yahudi Zionis kemudian mendirikan negara yang rasis dengan nama “Israel”. Jadi, jika disebut dalam buku ini, istilah “Israel” dengan sifat-sifatnya yang jahat, itu bukan nama Nabi Ya’qub, tetapi nama Negara Yahudi modern yang sekuler. Akan tetapi, kaum muslim tetap perlu mengingat, bahwa nama Israel sebenarnya nama yang baik, karena merupakan nama lain dari Nabi Ya’qub a.s.
Sama halnya, saat kita mengatakan, bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Itu bukan merujuk kepada ajaran dan pengikut Nabi Muhammad saw. Tetapi, Ahmadiyah adalah kelompok sesat yang merupakan pengikut Nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad, yang kebetulan namanya juga “Ahmad”.
Zionisme modern yang melahirkan negara Israel, memang gerakan sekuler yang mengeksploitasi jargon-jargon keagamaan, untuk meraih dukungan Yahudi. Zionisme politik yang dirancang Theodore Herzl semula dimaksudkan untuk mencari solusi bagi kaum Yahudi yang tertindas di dataran Eropa. Mereka harus dicarikan sebuah negara baru. Maka, Herzl menulis bukunya dengan judul “Der Judenstaat” (Negara Yahudi).
Sayangnya, negara Yahudi itu dibuat dengan konsep rasis dan dipaksakan berdiri di tanah Palestina, dengan klaim bahwa itulah Tanah yang Dijanjikan Tuhan (The Promised Land). Kaum Zionis kemudian melakukan pengusiran terhadap penduduk Palestina, dan menggantinya dengan penduduk Yahudi, yang mengklaim sebagai “bangsa pilihan Tuhan” (The Chosen People).
Kelompok Yahudi fundamentalis, radikal, atau bahkan yang merupakan kelompok teroris, tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk merebut Tanah Palestina, khususnya wilayah Tepi Barat. Tahun 1995, dunia dikejutkan dengan aksi Yigal Amir pengikut kelompok Kach, yang membunuh PM Israel Yitzak Rabin. Kesalahan Rabin di mata Yigal Amir adalah bersedia menyerahkan Tepi Barat kepada bangsa selain Yahudi. Itu dianggap melanggar perintah Bibel Yahudi.
Kondisi di Israel kini semakin rumit dengan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalis Yahudi dan Kristen. Sebab, mereka punya kepercayaan, Tanah Palestina semuanya adalah hak kaum Yahudi. Itu hak teologis (theological right). Itu kepercayaan yang tak mudah diruntuhkan. Karena itulah mereka memaksakan penyerobotan tanah-tanah Palestina.
Harusnya, AS dan negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris, yang sejak awal mendukung berdirinya negara Israel di Palestina, berani menekan Israel agar mematuhi kesepakatan internasional. Pada sisi lain, pihak Palestina pun dituntut untuk menyatukan langkah dalam menghadapi penjajahan Israel.
Prioritas awal perjuangan Palestina adalah meraih kemerdekaan. Palestina harus segera menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, sehingga memiliki kemandirian untuk menentukan ekonomi, militer, dan politiknya sendiri. Dalam perjuangan diperlukan kemampuan melakukan negosiasi, sehingga mendapatkan hasil yang terbaik, yang paling mungkin diraih.
Rasulullah saw memberikan contoh yang sangat baik dalam perundingan Hudaibiyah. Beliau seolah-olah menerima begitu saja permintaan wakil delegasi kaum Quraisy. Tetapi, di belakang hari, tampak kehebatan diplomasi Rasulullah saw. Hanya saja, patut dicatat, bahwa Rasulullah saw ketika itu, sudah memiliki pasukan yang cukup disegani.
Dalam mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan, bangsa Indonesia juga memadukan kekuatan militer dan kepiawaian diplomasi. Peran Panglima Soedirman dalam memimpin TNI sangat luar biasa. Itu dipadukan dengan diplomasi Soekarno, Hatta, Syafrudin Prawiranegara, dan lain-lain.
Maka, selamatlah kemerdekaan Indonesia. Padahal, perbedaan dan juga konflik internal di Indonesia ketika itu juga sangat banyak. Bahkan, PKI sendiri melakukan pemberontakan di Madiun tahun 1948. Tapi, golongan Islam dan kebangsaan bisa terus menjalin kebersamaan dalam mengadapi tantangan bersama.
Kini, bangsa Palestina memiliki kekuatan militer yang tidak bisa dianggap remeh oleh negara Israel. Karena itu, peluang kemerdekaan Palestina saat ini, sanatlah besar. Sudah puluhan tahun, Israel gagal menamatkan perlawanan Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya. Bahkan, tampak Hamas semakin kokoh di Gaza. Pada saat seperti ini, para pejuang Palestina dituntut agar jangan sampai terpecah belah. Dengan itu, insyaAllah, kemerdekaan Palestina semakin dekat terwujudnya.Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 15 Mei 2021).
Editor: Sudono Syueb