KENEGARAWANAN M. NATSIR: DIPENJARA, TAK DENDAM, DAN TETAP BERDAKWAH

KENEGARAWANAN M. NATSIR: DIPENJARA, TAK DENDAM, DAN TETAP BERDAKWAH

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII (www.adianhusaini.id)

dewandakwahjatim.com – Meskipun mengalami berbagai tekanan dan pembatasan dalam politik, Mohammad Natsir tak pernah berhenti menyikapi babak-babak penting dalam kehidupan kenegaraan. Dakwah, menurut M. Natsir, tidak mengenal batasan waktu dan medan.

Dakwah Islam, amar ma’ruh nahi munkar, menurut M. Natsir, menentukan tegak atau robohnya suatu masyarakat. Islam tidak bisa berdiri tegak tanpa jamaah (masyarakat) dan tidak bisa membangun masyarakat tanpa dakwah. Maka, kata Natsir, jadikanlah dakwah sebagai kewajiban bagi tiap-tiap umat Islam. Dan ini tidak boleh dilupakan.

Lalu, ditegaskan M. Natsir: ”Kita semua menyadari bahwa dakwah Islam adalah tugas suci atas tiap-tiap Muslim di mana saja ia berada. Baik dalam al-Quran maupun Sunnah Rasulullah saw, kewajiban dakwah menyerukan, dan menyampaikan agama Islam kepada masyarakat, telah jelas diuraikan sebagai kewajiban seorang Muslim untuk selama-lamanya.” (Dikutip Dr. Tohir Luth dalam bukunya, dari artikel Zaini Ujang berjudul “Pak Natsir Ibarat Mutiara Alam Melayu” di Harian Utusan Malaysia, 9 Februari 1993).

M. Natsir adalah tokoh yang bisa bergaul dan semeja dengan siapa saja meski berbeda pandangan, berbeda agama dan keyakinan, berbeda asal-usul. Pergaulan politiknya lintas ideologi dan agama, meski dia seorang pemimpin Masyumi, partai Islam terbesar di tahun 1950-an, pemenang kedua Pemilu 1955 setelah PNI. Natsir menjadi fenomenal karena dia akrab dengan tokoh partai Katolik seperti Ignatius J Kasimo, dengan tokoh Parkindo J.Leimena dan Mr.AM Tambunan, dengan tokoh sosialis dan nasional lainnya.

M. Natsir juga pernah menceritakan suasana multipartai dulu—ada Islam, Kristen, Nasional dan Komunis. Yang bertengkar itu, katanya, bukan orang, tetapi materi dan pikiran. Kadang-kadang bertempur seru sampai voting. Tetapi setelah itu makan-makan dan minum-minum di tempat yang sama. ”Saya sebagai tokoh Masyumi biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Jadi kita memusatkan diri kepada masalah, bukan kepada person,” katanya (Majalah Editor,23/7/1988). Beberapa masalah penting, malah diselesaikan melalui pertemuan informal, ujar Natsir.

M. Natsir negarawan yang sederhana, yang tidak meninggalkan kekayaan kepada anak-anaknya. Sejarawan AS George Mc Turnan Kahin menilai Natsir sebagai pemimpin yang sederhana dan rendah hati. Tentang kesederhanaan ini, dia lukiskan dalam tulisannya di Media Dakwah (1995). Kahin menceritakan pertemuannya dengan Natsir pertama kali di Yogyakarta tahun 1948 (ketika itu masih menjadi ibu kota negara). Ketika, katanya, Natsir menjabat menteri penerangan di bawah Kabinet Hatta. Ia melihat Natsir tidak malu menjahit baju dinas yang robek, karena itulah satu-satunya baju dinasnya. Beberapa minggu kemudian, kata Kahin, para pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan baju agar “boss” mereka tampak seperti menteri sungguhan. Kahin adalah seorang ilmuwan yang amat dekat dengan Natsir sebagaimana kedekatannya dengan Hatta, Sjahrir dan Bung Karno.

Mohammad Natsir memang politisi ulung, tetapi tetap berjalan pada etika politik dan konsisten. Bila disebutkan bahwa Masyumi kaku berpolitik, Natsir menjawab tenang. ”Kami berpolitik dengan prinsip. Kalau kami tidak setuju, ya terus terang saja kita katakan dengan segala konsekuensinya.” Menurut Natsir, “partai politik itu mempunyai fungsi: fungsi pendidikan politik kepada umat untuk tahu caranya mengatur negara. Kadang-kadang kita mendapat rugi sebagai partai lantaran itu. Tapi tak apa.”(Editor, 23/7/1988).

Dengan Bung Karno, M. Natsir sudah berbeda pendapat sejak polemik soal agama dan negara tahun 1930-an. ”Saya tidak benci kepada Soekarno. Ketika menghadapi Belanda dan diperlukan tenaga untuk perjuangan, oleh Bung Karno saya diminta menjadi menteri penerangan,” katanya (Editor,23/7/1988).

Natsir pernah ditahan Soekarno selama 6 tahun karena keterlibatannya dengan PRRI, 2 tahun di Batu Malang dan 4 tahun di Rumah Tahanan Militer Keagungan 62 Jakarta. Tetapi dia menyatakan tidak dendam kepada Bung Karno. Ketika keluar penjara Orde Lama, Natsir pun tetap dipinggirkan rezim Orde Baru. Namun demikian, dia juga tidak menaruh dendam. Nasionalismenya ditunjukkan ketika memberi surat rekomendasi kepada tim perunding rujuk Indonesia-Malaysia untuk menemui PM Tengku Abdul Rahman.

Begitu pula, mulusnya bantuan Jepang kepada Indonesia tidak terlepas dari peran Natsir. Ini diakui sendiri oleh mantan PM Jepang Takeo Fukuda. Dalam surat bela sungkawanya untuk Natsir tahun 1993, Fukuda menulis,” Saya banyak belajar dari beliau (Natsir), ketika beliau berkunjung ke Jepang– di saat saya menjabat menteri keuangan. Beliau yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan Pemerintahan Orde Baru Indonesia yang bersih dan sejahtera dengan cita-cita beliau menciptakan dunia Islam yang stabil, adil dan sejahtera dengan kerja sama Jepang.”

Itulah Mohammad Natsir. Sosok dirinya memang harus dilihat secara lengkap. Pola hidup sederhana sebagai pejabat tinggi negara, sikap dan cara dia berpolitik-sebagaimana juga diperlihatkan tokoh-tokoh masa lalu. Berbeda, berdebat, tetapi tidak bermusuhan dan saling dendam. Barangkali sosok teladan demikian bisa dijadikan renungan bagi elite politik bangsa ini. , Menurut M. Natsir, seharusnya tokoh bangsa berbicara dalam terminologi “kita”, bukan “kami” dan “kamu”. Karena bila “kami” dan “kamu” yang menonjol, ujung-ujungnya adalah mana bagian “kami” dan mana pula bagian “kamu”. Di situlah perpecahan terjadi, kata Natsir.

Demikianlah sosok kenegarawanan Natsir sebagaimana dipaparkan wartawan Wall Paragoan di Harian Suara Pembaruan (17/7/2000).

Memang, sejarah adalah masa lalu. Mohammad Natsir telah menunaikan tugasnya sebagai Muslim, hamba Allah SWT, yang berjuang menunaikan tugas dakwahnya dalam berbagai bidang kehidupan. Tentu, M. Natsir juga manusia, yang pernah berbuat salah dan khilaf. Kita bisa tidak setuju pada sebagian langkah, kebijakan, atau pendapat Natsir. Tapi, kekeliruan dan kekhilafan yang dilakukan Natsir tidaklah mampu menghapus namanya dari tinta emas sejarah Indonesia.

Jadi, M. Natsir – Bapak NKRI — adalah teladan kehidupan: pelajar yang haus ilmu, dai yang tidak kenal lelah dan menyerah, penulis handal yang aktif menggerakkan penanya, guru sejati yang tak pernah berhenti mengajar, dan negarawan sederhana yang dihormati kawan maupun lawan pikirannya.

Namanya telah mengharumkan bangsa di tingkat internasional. Karena itu, tidak ada salahnya, jika bangsa Indonesia mampu mengambil pelajaran dari kisah Mohammad Natsir dan berani mengakui serta menghargai jasa-jasanya.

Mohammad Natsir telah meninggalkan kita pada 14 Sya’ban 1413 H bertepatan dengan 6 Februari 1993 dalam usia 85 tahun. Dalam ucapan belasungkawanya, Mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, mengungkapkan: ”Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima.” (Sudono/ed)

(Depok, 5 April 2021).

Dapatkan artikel-artikel lainnya di:
https://adianhusaini.id/category/artikel-terbaru

Pojok 1000 Artikel Pilihan: Wujudkan Komunitas Cerdas dan Bijak
Bantu share
Info berlangganan,
Kirim via WA/Telegram/Signal/BIP ke 0858 8293 0492
ketik: Daftar

Atau akses langsung ke: http://member.adianhusaini.id/register

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *