In Memoriam Cak Tamat: Serpihan Memori Bersama Tamat Anshory Ismail

In Memoriam Cak Tamat: Serpihan Memori Bersama Tamat Anshory Ismail (Bagian 10)

Oleh: Heri Muhammad
(Jurnalis)

dewandakwahjatim.com – Tidak banyak pelaku dakwah yang istiqomah di jalur yang ia geluti. Dari sedikit orang itu, Haji Tamat Anshory Ismail, yang Rabu (9/10) siang wafat, adalah salah satunya. Dari usia remaja sampai akhir hayatnya, ia konsisten di jalur yang satu ini. Meskipun menjadi salah seorang deklator Partai Bulan Bintang dan sempat menjadi anggota DPRD Jawa Timur dari PBB, bukan berarti ia meninggalkan tugas-tugas dakwahnya. Berpolitik, bagi Cak Tamat, begitu kami biasa menyapa, adalah bagian dari tugas dakwah.

Penulis berinteraksi dengan Cak Tamat sejak awal tahun 1980-an. Waktu itu penulis bergiat di Remaja Masjid Al-Falah, Surabaya, sementara Cak Tamat sudah menjadi pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur yang diketuai oleh KH Misbach yang juga Ketua Umum MUI Jawa Timur. Waktu itu kantor sekretariat DDII ada di Masjid Al-Falah.

Interaksi semakin intensif ketika penulis pada 1982-1987 menjadi sekretaris pribadi Kiai Misbach. Sebagai sekretaris pribadi, kerjanya nempel dengan aktifitas Kiai Misbach. Jika sedang tidak keluar kota, 5 waktu dalam sehari, Kiai Misbach shalat berjamaah di Masjid Al-Falah. Sebelum dan sesudah shalat berjamaah, Kiai Misbach jamak menerima tamu dari berbagai daerah, berbagai ormas maupun orpol. Sejak itu, kami lebih sering lagi berinteraksi dengan Cak Tamat.

Kedekatan dengan keluarga Cak Tamat semakin erat ketika pada awal Januari 1988, saya menikahi putri dari Haji M Dahlan yang, tidak lain, adalah sahabat dekat Cak Tamat. Bersama dengan Cak Tamat dan dr. Kabat (almarhum), mertua saya bergiat di Persaudaraan Haji Jawa Timur. Yang menarik, ketika menuju ke tempat resepsi, dari rumah di Petemon III menuju gedung resepsi, menggunakan mobil dan disupiri langsung oleh pemiliknya, Cak Tamat.
Ketika pada tahun 1996 ayah mertua wafat. Cak Tamat yang ikut sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Hari-hari berikutnya, Cak Tamat dan keluarga, sudah seperti keluarga besar kami. Begitu pula sebaliknya. Setiap ada persoalan, Cak Tamat selalu kami mintai pandangan dan pendapatnya.

Sosok Pemersatu

Bagi saya, sosok Haji Tamat Anshory Ismail bukanlah orang “jauh”. Perkenalan dengan beliau terjadi awal tahun 1980-an, ketika saya mulai aktif di Remaja Masjid Al-Falah, Surabaya. Saat itu Cak Tamat, begitu kami akrab menyapa, sudah aktif di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur yang kantornya juga berada di lingkungan masjid Al-Falah.

Dalam perkembangannya, saya menikahi seorang putri Haji Mohammad Dahlan yang merupakan karib beliau. Bahkan, ketika pada Januari 1988 kami menikah, perjalanan dari rumah menuju tempat resepsi, menggunakan mobil Cak Tamat, dengan beliau sendiri yang mengemudikannya.

Cak Tamat adalah sosok pemersatu. Ia rindu atas persatuan umat Islam, sebagaimana guru politik beliau, M Natsir dan KH Misbach. Hal-hal yang sifatnya mempererat persatuan umat, beliau berada di garda depan. Dakwah dan politik adalah bagian dari strategi perjuangannya. Karena itu, beliau selalu mengapresiasi anak-anak muda yang punya potensi dan punya akses informasi untuk diajak dialog.

Ia adalah sosok pendengar yang baik. Suatu hari di tahun 1992, saya pernah diajak keliling Jawa Timur. Agendanya, menyapa teman-teman yang aktif di DDII untuk berdialog dan saling memberikan masukan di sekitar dakwah dan politik.

Sebagai senior, Cak Tamat tidak segan-segan mendahului dalam menyapa. Beliau aktif menelpon, menyapa, dan menanyakan kabar.

Dalam hal perjuangan, beliau adalah sosok motivator dan pengkader yang ngopeni dan telaten. Itulah sebabnya, di sekitar beliau selalu ada kader-kader muda yang suatu saat diorbitkannya.

Dalam bidang dakwah, Cak Tamat punya dua orang guru, M Natsir (wafat tahun 1993) dan Kiai Misbach (wafat tahun 1998). Ketika Natsir masih ada, Cak Tamat acap bolak-balik Surabaya-Jakarta, menimba ilmu dari Pak Natsir. Jurus dakwah Pak Natsir dan Kiai Misbach selalu menjadi rujukan. (Herry M Joesoef, Jurnalis)

Baik Natsir maupun Kiai Misbach adalah sosok yang mengedepankan ukhuwah Islamiyah. Inilah saripati yang diambil oleh Cak Tamat dalam melaksanakan dakwahnya. Itu sebabnya, ketika badannya masih sehat, beliau acap bersilaturahim ke berbagai kalangan. Jika pun belum ada kerja-bareng yang dilakukan, minimal ada kesepahaman dalam mensikapi suatu persoalan.

Bagi kaum muda, Cak Tamat adalah orang yang selalu memberi kepercayaan untuk menjalankan suatu amanah. Kesediaan dan kerelaannya memberi amanah kepada generasi muda adalah upaya konkrit pengkaderan yang terus ia lakukan. Rumahnya di jalan Demak Jaya II/33 bisa dipakai sebagai posko. Siapa saja boleh datang dan menginap serta berdiskusi tentang banyak hal.

Jika dakwah itu ibarat orchestra, maka Cak Tamat adalah dirigennya, yang berdiri tegak sambil memberi aba-aba melalui kedua tangannya. Karena itu, pandangannya adalah ukhuwah, mengedepankan persatuan, meminimalisir perbedaan. Sebagai pelaku dakwah, ia suka mendengar dan mengambil saripatinya.

Kesehatan Cak Tamat mulai terganggu pasca Aksi 212, Desember 2016. Beberapa kali masuk rumah sakit. Setiap kali dijenguk, para pembesuk selalu ditanya tentang perkembangan politik di tanah air.

Suatu siang di bulan September 2017, saya mendengar bahwa beliau baru keluar dari rumah sakit. Maka, saya bersama istri dan kerabat di Surabaya menjenguk beliau ke rumah. Dalam keadaan terbaring di tempat tidur, mata terpejam, Mbak Noer (istri Cak Tamat) berbisik, “Ini lho, Herry bersama keluarga datang dari Jakarta.” Spontan, dengan mata tetap terpejam, bibirnya terbuka, tersenyum, lalu berkata lirih, “Bagaimana perkembangan politik di Indonesia?” Dengan memegang erat tangan kanannya, saya menjawab lirih, “Indonesia aman, sing penting Cak Tamat sehat.” Dia lalu pelan-pelan membuka matanya, untuk memastikan yang datang itu benar-benar saya. Lalu tersenyum, dan matanya terpejam lagi. Tidur. Lalu melanjutkan perbincangan dengan Mbak Noer sampai 1.5 jam kemudian kami pamit, Cak Tamat dalam posisi tertidur.

Bulan-bulan berikutnya beliau sudah pulih, sehat dan beraktifitas kembali. Kami pun saling berkirim khabar melalui telepon dan WA. Dalam durasi September 2017 sampai 9 Oktober 2019, beberapa kali beliau masuk rumah sakit. Setelah 22 hari menjalani perawatan di RS Haji Surabaya, beliau wafat pada Rabu siang 9 Oktober lalu. Tugas dakwah Cak Tamat telah berakhir. Tamat. In-syaa Allah jannah sebagai tempat peristirahatannya. Doa kami menyertaimu, Cak.(sudono/red)

(Heri Muhammad, Jurnalis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *