MENGENAL BIBEL DAN PROBLEMATIKANYA SECARA ILMIAH

MENGENAL BIBEL DAN PROBLEMATIKANYA SECARA ILMIAH

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat (www.adianhusaini.id)

dewandakwahjatim.com – Beberapa waktu lalu, media massa di Indonesia diramaikan dengan berita tentang surat Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) kepada Menteri Agama RI. Isinya mempersoalkan buku ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menyinggung soal “Injil” kaum Kristen. Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi siswa kelas 8 SMP dan kelas 11 SMA itu dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 2014.
Memang, dalam buku PAI SMP kelas 8 disebutkan antara lain: “Al-Qur’ān merupakan kitab suci dari Allah yang terjamin kemurniannya. Maksudnya, sejak awal diturunkan sampai sekarang bacaan al-Qur’ān dan isinya tidak mengalami perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Sedangkan kitab-kitab sebelumnya yang ada sekarang sudah tidak murni lagi.”


Bagaimana kita memahami masalah ini secara ilmiah? Untuk lebih memahami tentang Kitab Suci kaum Kristen itu (Bibel), ada baiknya kita mengkaji masalah ini secara singkat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, bahwa “Bibel” adalah Kitab Suci Agama Kristen. Disebut juga Alkitab, yang mencakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.


KBBI menulis tentang “Injil” sebagai berikut: “(1) Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Isa; (2) salah satu bagian dari kitab suci agama Kristen; Perjanjian Baru. Injil Sinoptik (Kat) adalah Injil karangan Matius, Markus, dan Lukas yang bermiripan gaya penyajiannya. Begitu penjelasan KBBI.


Istilah Bibel digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya – meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah – berbagi irisan dalam soal Bibel. Hingga kini “Bible” (Latin: Biblia, artinya ‘buku kecil’; Yunani: Biblos) biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi.


Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan dengan “Perjanjian Baru” (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia. (Lihat, CM Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., 2003).


Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bibel adalah 39 Kitab dalam ‘Perjanjian Lama’-nya kaum Kristen, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bibel, yang didalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital. Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: “A Judaism without God is no Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism.” Yang disebut Torah adalah lima kitab pertama dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluaran), Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan), dan Deuteronomy (Ulangan).


Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara dic dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. (Lihat,
Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989).

Perjanjian Baru

Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985) menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bibel, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bibel yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.


Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani (Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit. Banyaknya manuskrip menyebabkan keragaman versi Bibel teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya.


Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bibel untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. (Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard: United Bible Societies, 1975), Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, (Oxford: Clarendon Press, 1977), Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”.
Memang bahasa asli Bibel menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bibel dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525).

Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bibel bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bibel dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). (Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987). juga lihat, Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”.
Jadi, begitulah kajian orang-orang Barat tentang Bibel dan problematikanya. Silakan direnungkan! (sudono/red)

(Depok, 18 Maret 2021).

Dapatkan artikel-artikel lainnya di:
https://adianhusaini.id/category/artikel-terbaru

Pojok 1000 Artikel Pilihan: Wujudkan Komunitas Cerdas dan Bijak
Bantu share
Info berlangganan,
Kirim via WA/Telegram/Signal/BIP ke 0858 8293 0492
ketik: Daftar

Atau akses langsung ke: http://member.adianhusaini.id/register

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *