Oleh: M. Anwar Djaelani
dewandakwahjatim.com – Perawakannya relatif kecil, tapi spirit dakwahnya sangat besar. Posturnya relatif pendek, namun nafas perjuangannya sangat panjang. Maka, ketika dia -Tamat Anshory Ismail- meninggal pada 09/10/2019 pukul 11.55 di RS Haji Surabaya setelah 22 hari dirawat, banyak yang berduka. Tak sedikit yang merasa kehilangan. Jika begitu, siapakah dia, aktivis yang –tua dan muda- akrab memanggilnya Cak Tamat itu?
Gairah Ghirah
Setelah disucikan di RS Haji, lelaki yang lahir di Jombang pada 15/05/1947 itu lalu dibawa ke Masjid Al-Hilal Surabaya – Markas Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jatim. Banyak yang bertakziyah dan menyolati. Terlihat, misalnya, Dr. dr. Fuad Amsyari – dosen FK Unair yang juga aktivis, Ismail Nachu – Ketua ICMI Jatim, Daniel M. Rosyid –Guru Besar Teknik Kelautan ITS, Taufik AB – Cendekian Muslim, Sulthon Amin – pengusaha dan aktivis Muhammadiyah, dan Ustadz Abdul Rahman – aktivis Hidayatullah.
Dari Masjid Al-Hilal, jenazah dibawa ke Rumah Duka di Jalan Demak Surabaya. Arif Affandi -mantan Wakil Walikota Surabaya, terlihat hadir. Juga, Ustadz Nur Hasan, alumni PII Kediri dan mantan anggota DPRD Kediri. Sementara, di malam harinya, hadir beberapa pengurus DDII pusat, salah satunya Avid Sholihin – Sekretaris Umum.
Cak Tamat –panggilan akrab Tamat Anshory Ismail- adalah orang pergerakan tulen. Berawal dari berkegiatan di Pelajar Islam Indonesia (PII), lalu di Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Selain itu, dia menjadi Ketua IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Jatim 2013-2015. Juga, sebagai pendiri YPJHI (Yayasan Persaudaraan Jamaah Haji Indonesia).
Beliau juga dikenal sebagai pengusaha. Usahanya, di bidang alat-alat kesehatan, alat-alat laboratorium sekolah, dan bergiat pula di dunia percetakan.
Terutama setelah Cak Tamat berpulang, ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Ada banyak ”semangat” yang bisa terus kita hidup-hidupkan.
Pertama, ”Semangat selalu peduli kepada masalah keumatan”. Bahkan, sampai di hari-hari terakhir di Rumah Sakit, dalam kondisi payah dia masih aktif mengikuti perkembangan. ”Bagaimana dengan progran ini, bagaimana dengan rencana itu,” tanya beliau. Jika dijawab belum rampung, beliau memberi semangat untuk menyelesaikannya. Hal yang demikian itu dilakukannya sampai sekitar H-5 sebelum meninggal ketika hidupnya sudah sangat tergantung dengan alat-alat bantu kesehatan.
Kedua, ”Semangat untuk tak menonjolkan diri”. Saat akan dibuat buku biografi beliau, berdasar hasil Raker DDII Jatim, beliau menolak dengan alasan belum patut karena masih hidup. Justru, beliau usul agar dibuatkan buku yang berisi kumpulan kisah-kisah Da’i DDII yang berjuang di berbagai daerah pedalaman Indonesia. Sebuah ide yang langsung dimulai proses pengerjaannya.
Ketiga, ”Semangat menjaga amanah”. Tom Mas’udi, pernah aktif di PII dan HMI, berkesaksian. Bahwa, ketika Cak Tamat menjadi anggota DPRD Jatim (1999-2004) dari PBB, beliau (mungkin satu-satunya) yang tegas menolak program naik haji gratis bagi anggota Dewan. Argumentasinya, ayat Allah, bahwa ibadah haji itu hanya “Bagi orang yang sanggup nengadakan perjalanan ke Baitullah”. Intinya, beliau tak setuju jika anggota Dewan naik haji dengan uang rakyat.
Keempat, ”Semangat menularkan ’nilai’ ke adik-adiknya”. Jamal Al-Katiri, yunior Cak Tamat di PII berkisah. ”Cak Tamat sering menasihati adik-adiknya ketika terjun di politik. Ketika saya jadi anggota DPRD Jatim (2004-2009, dari PPP), beliau datang dan memberi pesan agar hati-hati. Jangan melakukan yang macam-macam. Jangan takut menyuarakan kebenaran. Hal itulah yang membuat saya vokal,” tutur Jamal.
Kelima, ”Semangat untuk berbagi”. Lihat kisah Agus Maksum –mantan aktivis JMMI ITS dan mantan Ketua Senat Mahasiswa ITS (di saat dia di posisi ini, terjadi Gerakan Mahasiswa 1998). Sesaat setelah Cak Tamat wafat, Agus Maksum menulis: ”Kabar duka ini, menyesakkan dada. Perasaan seperti ini, sangat mungkin menghinggapi banyak orang lainnya yang pernah mengenalnya. Tamat Anshory adalah mentor sesungguhnya bagi saya. Beliau yang menjemput saya dari aksi jalanan di 1990-an kepada pendidikan politik Islam. Dari beliaulah saya mengenal Sejarah Perjuangan Ummat Islam Indonesia.”
Saya punya pengalaman serupa, betapa Cak Tamat bersemangat untuk tranfer ilmu dan pengalaman. Pada 2016, lima hari setelah beliau keluar dari Rumah Sakit, saya ke rumahnya untuk menjenguk sekaligus pinjam buku. Sekitar pukul 10.00 saya datang. Saya dipersilakan memilih sendiri buku-buku yang saya perlukan. Pas dhuhur, saya ke Masjid di dekat rumah beliau. Kembali ke rumah Cak Tamat, terjadi pembicaraan hangat dengan aneka topik keumatan sambil sesekali kilas balik ke sejarah masa lalu. Rupanya, pembicaraan yang lama itu mengkhawatirkan istri Cak Tamat. Kami lalu diingatkan, bahwa beliau perlu istirahat karena baru saja keluar dari RS. Tentu saja saya merasa bersalah, karena ”Tak sadar situasi”. Meski demikian, saya tetap punya apologi: Saya hanya melayani Cak Tamat yang sangat bersemangat berbagi ilmu dan pengalaman bagi yuniornya.
Keenam, ”Semangat untuk tak mudah menyerah”. Di Aksi 411 Jakarta, dia hadir. Berikutnya, di Aksi 212 hadir, meski secara umum kondisi kesehatannya kurang bagus. Akibatnya, hanya sehari sebelum aksi, dia pingsan dan dilarikan ke RS Tjipto Mangunkusumo Jakarta. Di sana, dirawat 12 hari.
Ketujuh, ”Semangat merawat dan memertahankan persahabatan”. Kata Cak Tamat, ”Hilang satu sahabat itu menyedihkan, sebab yang satu tersebut sama saja dengan kehilangan seribu teman. Maka, meski seseorang punya kekurangan, janganlah dia dilepas sebagai sahabat”. Kalimat ini diingat Ustadz Sudarno Hadi – Ketua DDII Jatim pengganti almarhum. Terkait ini, tak aneh jika skala pergaulan dia luas. Dia bergaul hangat dengan (almarhum) KH Zaki Ghufron, Prof. Muhammad Nuh, dan Prof. Ahmad yang NU sehangat saat bergaul dengan (almarhum) KH Anwar Zain, Prof. Fasichul Lisan, dan Prof. Muhadjir Effendi yang Muhammadiyah. Dia bergaul dekat dengan Dr. Wahid Hasyim SH yang aktivis Syarikat Islam sedekat kala bergaul dengan KH Aunur Rofiq – Mudir Pesantren Al-Furqan Sedayu – Gresik yang bermanhaj salaf.
Kedelapan, ”Semangat mengorbankan harta”. Tentang ini, Prof. Daniel M. Rosyid berkisah. Saat dia menjadi aktivis mahasiswa di paro pertama 1980-an, maka di kalangan aktivis yang sedang butuh dana untuk berkegiatan dakwah, Cak Tamat menjadi salah satu jujugan utama untuk dimintai bantuan.
Kesembilan, ”Semangat mengader dan memotivasi generasi penerus”. Herry M. Yoesoef, jurnalis senior, punya kesaksian. Bahwa, ”Dalam hal perjuangan, Cak Tamat adalah sosok motivator dan pengkader yang ngopeni dan telaten. Itu sebabnya, di sekitaran beliau selalu ada kader-kader muda yang suatu saat diorbitkannya,” tutur Herry yang pernah aktif di Remaja Masjid Al-Falah Surabaya di paro pertama 1980-an sebelum akhirnya ”hijrah” ke Jakarta sampai sekarang.
Kesepuluh, ”Semangat mendahulukan kepentingan Allah”. Terkait ini, Ustadz Fathur Rohman –Pengasuh Pesantren eLKISI Mojokerto-, punya cerita. Bahwa, Cak Tamat pernah menyampaikan pengalamannya sendiri. Alkisah, pernah beliau sedang dalam aktifitas keumatan di luar kota. Lalu, si istri menelpon, mengabarkan bahwa putra mereka sakit. Kemudian Cak Tamat bilang, “Andai saya pulang, apakah dia akan sembuh?” Dijawab oleh si istri, “Ya, tidak tahu”. Lantas, kata Cak Tamat, “Kalau begitu bawa ke Rumah Sakit. Kalau urusan umat selesai, saya akan segera pulang”.
Semoga, Semoga!
Selamat jalan, Cak Tamat! Kanda, semoga engkau bahagia di Sisi Allah. Kanda, semoga engkau termasuk yang dipanggil mesra oleh Allah di QS Al-Fajr [89]: 27-30) ini: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
*M. Anwar Djaelani
Penulis buku ”50 Pendakwah Pengubah Sejarah”