Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok - Banyak pesantren dan sekolah Islam yang menebarkan poster tentang pelajar SMA-nya yang diterima di berbagai Perguruan Tinggi Negeri. Tapi, hampir saya tidak melihat, diantara mereka yang mengambil kuliah sejarah atau pendidikan sejarah. Tampaknya, kesadaran tentang pentingnya belajar sejarah masih perlu terus digaungkan.
Saat ini begitu banyak pesantren atau sekolah Islam yang belum menyiapkan secara khusus guru-guru sejarah yang hebat. Guru sejarah harus pintar, memiliki ilmu yang luas, dan yang lebih penting harus memiliki ilmu sejarah yang benar. Jangan sampai guru sejarah memiliki pemahaman yang salah tentang Islam dan sejarahnya, sehingga ia justru akan merusak pemikiran para muridnya sendiri.
Pendidikan sejarah inilah yang menjadi perhatian besar Pesantren At-Taqwa Depok sejak kali pertama didirikan tahun 2015. Mengikuti konsep pendidikan Prof. Naqub al-Attas tentang adab, Pesantren At-Taqwa Depok menempatkan pendidikan sejarah sebagai ilmu yang fardhu ain. Pelajaran sejarah ini sangat penting dalam membangun pemikiran yang benar tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Karena itu, pendidikan sejarah diajar oleh guru-guru sejarah yang serius. Para guru itu juga menulis artikel dan buku-buku sejarah untuk diajarkan kepada para santri. Ini untuk memacu kesadaran para santri agar mencintai pelajaran sejarah dan bersemangat meneladani budaya ilmu yang ada pada guru-gurunya.
Sebagai contoh, pada tahun 2020, Pesantren At-Taqwa Depok menggelar Kuliah Umum dengan tema “Bagaimana Cara Mengajarkan Sejarah yang Benar kepada Anak”. Pada saat itu juga dibedah buku “Sejarah Nasional Indonesia untuk Pelajar” karya Dr. Suidat, guru pesantren At-Taqwa Depok.
Dr. Suidat menulis disertasinya tentang Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi Islam. Ia menelaah buku ajar tentang Pancasila di satu organisasi Islam. Banyak usulan yang ia sampaikan dalam disertasinya itu, bagi perbaikan pendidikan Pancasila di kampus-kampus Islam lainnya.
Guru sejarah lain di Pesantren At-Taqwa Depok adalah Ahda Abid al-Ghifari. Ia lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Lulus S-1, Ahda mengikuti pendidikan intensif di Ma’had Aliy Imam al-Ghazali (MAIG) Solo.
Di MAIG inilah Ahda al-Ghifari – kelahiran tahun 1991 — menjalani pendidikan intensif selama setahun bersama para guru yang baik. Ia nyantri di MAIG dengan serius, dan mengasah kemampuan intelektualnya bersama para dosen sejarah di MAIG, seperti Arif Wibowo MPI, Dr. Muhammad Isa Anshari, Dr. Susianto, dan sebagainya. Meskipun tidak memberikan gelar akademik, tetapi mahasantri MIG harus menulis Tesis yang kualitasnya setingkat Tesis S-2.
Ahda sudah menerbitkan bukunya yang berjudul: “Bunga Rampai Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia” (Depok: YPI at-Taqwa, 2020).
Membaca buku karya Ahda al-Ghifari, tampak bahwa ia bukan sekedar seorang guru sejarah biasa. Tapi, ia telah menjadi seorang sejarawan. Buku itu menunjukkan keluasan wawasannya tentang sejarah umat Islam Indonesia, dan juga kecintaan dan semangatnya untuk melakukan proses Islamisasi sejarah Nusantara.
Guru sejarah lainnya di Pesantren At-Taqwa Depok adalah Dina Farhana. Ia lulusan S1 Pendidikan Sejarah Uhamka dan lulusan S2 Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia. Selain pendidikan formal, Dina Farhana sangat aktif mengikuti kajian-kajian sejarah dan Siroh Nabawiyah yang diisi oleh pakarnya.
Dari keaktifan dan kesungguhannya dalam belajar dan mengajar sejarah, Dina Farhana kemunian mengembangkan kurikulum yang khas di Pesantren At-Taqwa, yaitu Pendidikan Siroh Nabawiyah untuk tingkat SMP dan SMA, yang diberikan selama 12 sementer.
Guru sejarah lainnya adalah Dr. Alwi Alatas, yang kini mengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM). Di awal-awal pendirian Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Alwi sudah mengajar sejarah kepada para santri tingkat SMP. Bahkan, ia kemudian bersedia tinggal di pesantren dan menjadi Kepala Sekolah SMA yang pertama.
Jadi, pelajaran sejarah ini perlu mendapatkan perhatian sangat serius dari kita semua. Di dalam Tafsir al-Azhar, saat menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63, Buya Hamka, membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Caranya adalah dengan mengajarkan sejarah yang salah.
Hamka, antara lain mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah le bih mencintai Gajah Mada daripada Ra den Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”.
Ingatlah pesan Buya Hamka ini! Anak-anak kita dirusak pemikirannya – antara lain – melalui pembelajaran sejarah yang salah! Sudah bukan saatnya selalu menuding-nuding pemerintah agar menyusun kurikulum sejarah yang benar, tetapi kita sendiri enggan mengarahkan anak-anak kita agar mereka dengan bangga menjadi guru sejarah.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, salah satu musibah besar yang menimpa para santri dan pelajar kita adalah mereka dicekoki dengan pelajaran sejarah yang salah, sehingga mereka tidak bangga dengan sejarahnya sendiri. Wallahu A’lam adminbish-shawab. (Depok, 20 Maret 2025).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono Syueb