Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – lmam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: wa-lastu araa al-sa’adata jam’u maalin – wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa’iidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, taqwa kepada Allah itulah bahagia).
Jadi, taqwa kepada Allah itulah sebenar-benarnya bahagia. Orang yang bertaqwa telah menyiapkan dirinya lahir-batin untuk tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Ketika seorang manusia telah menyerahkan dirinya kepada Allah, maka ketika itulah ia akan meraih kebahagiaan.
Karena itulah, Prof. S.M. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai: ”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Muhammad Zainy Uthman).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Kita bisa melihat pada kisah para Nabi. Misalnya, Nabi Ibrahim a.s. yang hidup dengan bahagia, meskipun harus menjalani ujian demi ujian hidup yang sangat berat. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk, karena menolak jadi pejabat.
Nabi Ibrahim mengajak kaumnya agar hidup dengan berlandaskan Tauhid, hanya menyembah Allah semata; hanya menghambakan diri kepada Allah. Bukan menghambakan diri kepada setan, atau menjadi budak sesama manusia. Sebab, hanya dengan bertauhid, manusia akan meraih bahagia.
Inilah adab pertama yang ditanamkan Luqman al-Hakim pada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13)
Karena itu, kita patut sangat mewaspadai segala macam tipu daya setan – jenis manusia dan jin – yang selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Setan selalu berusaha membisikkan keraguan dan ketakutan dalam diri manusia. Akibatnya, manusia hilang keyakinan dan senantiasa galau dalam kehidupan.
Pendidikan dalam Islam harusnya menanamkan keyakinan dan keimanan. Inilah yang akan membuahkan kebahagiaan. Sebaliknya, pendidikan modern justru menanamkan keraguan. Penyair besar Pakistan Mohammad Iqbal menulis: “Oh you the victims of modern civilization, loss of conviction is worse than slavery!” (Wahai anda yang menjadi korban dari peradaban modern, hilang keyakinan itu lebih buruk daripada perbudakan!).
Dampak dari pendidikan yang melupakan dan menjauhkan manusia dari Tuhan ini sangat parah. Manusia akan menjadi hamba hawa nafsu. Tuhannya adalah hawa nafsunya. Hawa nafsunya harus diikuti. Akhirnya ia tersesat dan kehilangan jalan pulang untuk kembali kepada Tuhannya. Hidupnya hina dan sengsara. (Lihat: QS al-Jatsiyah: 23, al-A’raf: 179, Muhammad: 12).
Dengan pola hidup yang menuhankan syahwat, akan sama dengan binatang. Bahkan lebih sesat dan lebih rendah martabatnya dari binatang. Akibatnya, manusia akan mudah stress dan depresi. Kesenangan materi dan pelampiasan syahwat tidak membuat mereka bahagia. Kehidupan mereka tidak bisa lepas dari budaya alkohol dan obat penenang.
Semua fenomena itu tampak nyata di hadapan kita. Manusia menjadi srigala terhadap manusia lainnya (homo homini lupus). Individualisme, egoisme, dan materialisme merajalela. Kondisi semacam ini akan merusak ketenteraman masyarakat kita.
Karena itu, pendidikan yang melahirkan manusia-manusia seperti ini harus dirombak secara mendasar. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari semua ini. Amin. (Depok, 19 Maret 2025).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Admin: Sudono Syueb