Amanah

Oleh: Muhammad Hidayatullah, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Studi Al-Qur’an (PSQ) Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya
عَنْ أَبي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَلا تَسْتَعمِلني, فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلى مِنْكَبي, ثُمَّ قَالَ : يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ, وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Dari Abu Dzar berkata, aku berkata: Wahai Rasulullah, Mengapa engkau tidak member aku jabatan? Maka Rasulullah menepuk-nepuk pundakku lalu bersabda: “Wahai Abu Dzar, sungguh engkau ini lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah. Dan jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat, kecuali bagi mereka yang mengambilnya sesuai haknya dan ia dapat menunaikan amanah dalam jabatan tersebut.” [HR. Bukhari]

Amanah dari akar kata amana ya’manu yang berarti ithma’anna walam yakhaf yakni tenang tanpa rasa takut atau khawatir. Maka amanah juga didefinisikan tsabaatun ‘alal ‘ahdi teguh pada perjanjian. Jadi amanah meliputi keikhlasan, kesetiaan atau loyalitas juga bertanggung jawab.

Secara khusus dalam hadits di atas bahwa jabatan itu adalah amanah. Dan dapat menyebabkan seseorang menjadi hina dan menyesal di hari Kiamat nantinya, jika tidak dapat menjalankan amanahnya tersebut dengan sebaik-baiknya.

Dalam hadits yang lain Rasulullah juga berpesan secara khusus kepada seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” [HR. Bukhari]

Maka meminta jabatan sangat dilarang, karena dengan meminta jabatan tidak adanya jaminan akan adanya pertolongan Allah SWT. Dengan meminta jabatan maka akan terselip suatu keinginan bagi dirinya untuk mendapatkan kemuliaan dunia. Sehingga keikhlasan dalam rangka berbuat untuk kepentingan masyarakatnya tidak terwarnai dalam kehidupannya. Yang ada malah selalu ingin menunjukkan kebaikan demi kebaikan yang dilakukannya sehingga dengan harapan mendapat pujian dari orang lain.

Pengakuan menjadi orang baik itulah yang sekarang ini terjadi. Hampir semua calon pemimpin berusaha dengan membuat slogan dan kata-kata yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang hidupnya untuk kepentingan sesama. Slogan dan kata-kata manis itu hampir kita lihat pada semua baliho-baliho dan spanduk calon pemimpin tersebut. Dampak inilah jika jabatan sudah diperebutkan oleh orang-orang yang memintanya.

Masyarakat khususnya kaum muslimin mestinya memahami fenomena kepemimpinan seperti sekarang ini. Suatu keadaan dan kondisi di mana para pemimpin yang bukan lahir dari tengah-tengah masyarakatnya, tetapi berani berjanji berbuat untuk masyarakat tersebut. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah seharusnya sebelum menjadi pemimpin pun ia telah menunjukkan diri sebagai orang yang memang peduli terhadap nasib wong cilik? Bukan malah berjanji jika sudah menjadi pemimpin baru akan peduli.

Sehingga konsep dalam Islam sudah jelas, bahwa jabatan harus dipegang oleh orang yang memang memiliki kompetensi di dalamnya. Di antara anggota masyarakat itu siapa yang memang paling memiliki kompetensi dalam suatu hal tersebut maka dialah yang berhak atas jabatan itu. Sehingga hal ini sesuai dengan hadits nabi, yang bersumber dari Abu Hurairah:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Maka istilah the right man on the right place/job merupakan sesuatu yang memang sudah diajarkan oleh Rasulullah.

Salah Memilih Pemimpin, Hasilnya Penyesalan

Jabatan dan masyarakat, keduanya saling terkait dan terikat. Jika masyarakat tidak salah dalam memilih pemimpin, maka pasti tidak akan ada penyesalan bagi masyarakat tersebut, karena pemimpin yang dipilih akan dapat memenuhi harapan masyarakat itu sendiri. Tetapi sebaliknya jika masyarakat salah memilih pemimpin hanya karena mendapat seberapa rupiah saja, maka hal itu berarti justru mengorbankan banyak harapan masyarakat lainnya.

Apalagi jika sudah berkenaan dengan pemimpin puncak negeri ini, masyarakat wajib hati-hati karena kesalahan juga berakibat harapan menjadi sirna. Kriterianya harus benar-benar punya kapasitas yang mumpuni. Karena bukan hanya keahlian yang hanya bersifat satu dimensi, tetapi haruslah multi dimensi. Baik berkenaan dengan hubungan bilateral maupun multilateral.

Termasuk kebijakan-kebijakan yang menjadikan masyarakat menjadi berdaya saing, bukan malah hanya menjadi target konsumen bagi bangsa lain.

Integritas pribadi yang baik, karena faktor ketakwaannya kepada Allah SWT. Keberanian untuk bertindak tegas menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu. Serta keberanian tampil untuk tidak mudah bahkan menolak untuk didekte bangsa lain. Merupakan sederet kapasitas dan kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Oleh karenanya seorang pemimpin demikian haruslah telah teruji. Sehingga benar-benar bukan sekedar kebanggaan kelompok pendukungnya semata tetapi sekaligus menjadi kebanggaan seluruh bangsa ini.

Maka jadilah masyarakat yang idealis dalam memilih pemimpin, jangan hanya karena rayuan untuk kepentingan pribadi dan kelompok sudah memutuskan untuk mendukung. Tetapi jika untuk kepentingan atau demi kepentingan seluruh masyarakat, maka itulah yang memang harus didukung. Sehingga kemaslahatan bersama adalah hal yang terpenting dari adanya kepemimpinan tersebut. [*]

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *