APAKAH PENDIDIKAN NASIONAL KITA MENGIKUTI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA, KH HASYIM ASY’ARI, DAN KH AHMAD DAHLAN?


Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok - Mungkin kita sering mendengar pejabat Kementerian Pendidikan yang mengaku kebijakan pendidikannya telah mengikuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara. Tapi, tidak ada salahnya kita bertanya: benarkah konsep pendidikan nasional kita sekarang mengikuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara? 

Saat ini, pejabat pendidikan kita juga mulai rajin mengutip pendapat KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikan atau pembelajaran. Tentu saja ini patut kita syukuri. Tapi, mohon dipikirkan dan ditelaah: benarkah konsep pendidikan kita sejalan dengan pemikiran pendidikan kedua ulama dan tokoh pendidikan yang hebat itu? 
Dalam beberapa tahun ini, saya sempat menguji beberapa disertasi doktor pendidikan Islam tentang pemikiran pendidikan KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan Ki Hajar Dewantara. Saya menyimpulkan, bahwa jiwa dan konsep pendidikan ketiga tokoh itu adalah konsep pendidikan yang memerdekakan manusia dari berbagai bentuk penjajahan. 

Diantara dasar penetapan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional (Keppres no. 657/1961) adalah bahwa: “KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.”


Pendirian Muhammadiyah adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan melalui pendidikan. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah ada kaitannya dengan penyadaran umat Islam Indonesia, “sebagai bangsa terjajah”!
Dalam disertasi doktornya di Universitas Ibn Khaldun Bogor yang berjudul “Konsep Pendidikan Guru Menurut KH Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara”, Dr. Syahrul – dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta — mengungkap strategi KH Ahmad Dahlan dalam menjalankan misi besarnya dengan cara mendidik para guru yang hebat sebagai pelanjut perjuangannya.


K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah teladan sebagai guru dan teladan pula dalam pendidikan guru. Ia hidup pada zaman yang ditandai dengan kondisi sosial masyarakat yang terjajah dan terpuruk, di mana pendidikan kolonial berusaha melemahkan perjuangan bangsa Indonesia dengan sekulerisasi dan godaan materi.
Dr. Abdul Hakim menulis disertasi doktor berjudul “Konsep Pendidikan KH Hasyim Asy’ari dalam perspektif konsep jihad Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.” Ia menyimpulkan bahwa sebenarnya, konsep dan praktik pendidikan KH Hasyim Asy’ari merupakan aplikasi pendidikan jihad (tarbiyah jihadiyah) secara praktis dan komprehensif. Karena itu, bisa dipahami, jika fatwa Jihad beliau disambut dengan gegap gempita oleh para kiai dan santri, serta seluruh kaum muslimin.


Jihad – menurut kedua ulama besar itu – mencakup jihad dalam pengendalian hawa nafsu (mujahadah ‘alan nafs), jihad melawan setan, jihad melawan kaum kuffar, dan jihad melawan kaum munafiqin. Ibn Qayyim al-Jauziyah membagi jihad terhadap hawa nafsu dalam empat bentuk, yaitu jihad mencari ilmu, jihad mengamalkan ilmu, jihad mendakwahkan ilmu, dan sabar menerima akibat dalam berdakwah.
Dr. Muthoifin, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, menulis disertasi doktor di UIKA Bogor dengan judul: “Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Perspektif Pendidikan Islam.” Disertasi ini cukup memberikan gambaran yang memadai tentang konsep pendidikan Ki Hajar dalam perspektif konsep pendidikan Islam.


Kita saat ini bisa dengan mudah memahami pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara, karena pemikiran beliau telah dihimpun dalam satu buku berjudul: “Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2013).


Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang berkali-kali harus masuk penjara pemerintah kolonial. Konsep pendidikannya memberikan kritik keras terhadap pendidikan Barat yang menurutnya tidak menekankan aspek adab dan budi pekerti.


Karena itulah, Ki Hajar mengritik tindakan kaum elite masyarakat yang senang dengan pendidikan kolonial tersebut. Ia menulis: “Banyak priyayi atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”


Padahal, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan kolonial itu TIDAK membangun manusia dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan merdeka lahir-batin. “Pendidikan dalam semangat kolonial telah mencegah terciptanya masyarakat sosial mandiri dan merdeka lahir batin, hanya menghasilkan suatu kehidupan yang tergantung kepada bangsa-bangsa Barat,” tulis Ki Hajar Dewantara.
Sistem pendidikan Eropa, menurut Ki Hajar, sangat mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan. “Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat,” tulisnya.


Konsep pendidikan KH Hasyim Asy’ari dijelaskan dengan sangat rinci dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim. KH Hasyim Asy’ari menguraikan konsep adab dan ta’dib (pendidikan) dengan cukup rinci. Ta’dib adalah proses penanaman adab dalam diri seseorang, sehingga ia menjadi manusia beradab. Digambarkan, betapa pentingnya adab ini, sehingga suatu ketika Imam Syafii ditanya oleh seseorang tentang perhatiannya terhadap adab. Imam Syafii menjawab: ”Aku senantiasa mencarinya seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”


Menurut Kiai Hasyim, ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.” Begitulah pentingnya kedudukan adab dan ta’dib dalam pembentukan manusia unggul. Adab adalah pondasi pembangunan manusia mulia dan juga asas untuk mewujudkan peradaban mulia.


Karena itu, silakan kita menelaah dengan serius, apakah pendidikan nasional kita benar-benar telah mengikuti pemikiran pendidikan ketiga tokoh pendidikan tersebut? Wallahu A’lam bish-shawab! (Depok, 27 Februari 2025)

Admin: K9minfo DDII Jatim

Editot: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *