Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Sejak digulirkan oleh Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti pada awal masa jabatannya sebagai menteri, istilah “deep learning” segera viral. Masyarakat pendidikan kemudian berbondong-bondong membahasnya. Kita berharap kebijakan ini akan memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, meskipun belum mendasar.
Pada 9 November 2024, situs https://pendidikan-sains.fmipa.unesa.ac.id menurunkan artikel berjudul: “Mengintegrasikan Deep Learning Dalam Kurikulum Sekolah: Peluang Dan Tantangan.” Disebutkan bahwa pembelajaran deep learning dalam pendidikan modern tidak hanya terbatas pada teknologi kecerdasan buatan (AI) tetapi juga mencakup cara belajar mendalam untuk memahami dan menerapkan pengetahuan.
Dalam konteks kurikulum sekolah, metode ini berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, analisis mendalam, dan pengaplikasian ilmu dalam berbagai situasi. Dengan menggunakan pendekatan ini, siswa diharapkan dapat menghubungkan konsep antar mata pelajaran, menggali akar masalah, dan memecahkan persoalan dengan pendekatan analitis yang mendalam.
Deep learning di bidang pendidikan merujuk pada model pembelajaran yang mendorong siswa untuk menggali pengetahuan lebih dalam, berbeda dengan sekadar pembelajaran hafalan. Metode ini berorientasi pada pembelajaran aktif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Siswa diajak untuk memahami konteks, menganalisis informasi secara kritis, serta menciptakan solusi inovatif berdasarkan pemahaman konseptual yang kuat.
Artikel itu menyimpulkan: “Deep learning membawa angin segar bagi kurikulum sekolah, menciptakan pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan abad ke-21. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga mengasah keterampilan analitis, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi. Untuk mengoptimalkan potensi ini, diperlukan dukungan penuh dari seluruh ekosistem pendidikan, termasuk guru, siswa, dan pemangku kebijakan.”
*****
Jadi, inti dari gagasan deep learning adalah soal “metode pembelajaran”. Dalam dunia pendidikan pesantren, gagasan deep learning ini sebenarnya sudah sangat akrab dan sudah dipraktikkan beratus-ratus tahun. Kita mengenal mahfudhat pesantren yang sangat masyhur: “Metode lebih penting daripada materi ajar; guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.”
Metode pembelajaran lebih penting dari pada bahan ajar! Itu benar! Tapi, bukan berarti bahan ajar itu tidak penting. Bahan ajar amat sangat penting. Jika bahan ajarnya salah, deep learning justru membahayakan pemikiran dan akhlak para pelajar. Sebab, para pelajar akan memiliki pemahaman yang salah.
Misalnya, dalam buku Panduan Guru “Ilmu Pengetahuan Alam Dan Sosial” (untuk SD/MI kelas VI), terbitan kemdikbud, disebutkan tentang enam karakter/kompetensi Profil Pelajar Pancasila: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) bergotong-royong, (4) mandiri, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif.
(https://static.buku.kemdikbud.go.id/content/pdf/bukuteks/kurikulum21/IPAS-BG-KLS-VI.pdf).
Bahan ajar buku ini perlu disempurnakan agar sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Sebab, ketika menjelaskan tentang fakta atau gejala alam dan tubuh manusia, Tuhan sama sekali tidak disebut. Sebagai contoh, ditulis: “Untuk dapat bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari, tubuh kita dilengkapi dengan sistem gerak yang terdiri atas kerangka, otot, dan sistem saraf. Kerangka manusia tersusun atas tulang.”
Alangkah baiknya, jika redaksi itu disempurnakan menjadi: “Untuk dapat bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari, tubuh kita dilengkapi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan sistem gerak yang terdiri atas kerangka, otot, dan sistem saraf. Kerangka manusia tersusun atas tulang.”
Dalam buku Sejarah untuk SMK kelas X, misalnya, ditulis studi kasus berjudul: “C. Th. Van Deventer, Politik Etis, dan Prinses Juliana School di Yogyakarta Tahun 1919-1950.” Ditulis, bahwa: “Politik Etis, yang berlangsung sejak 1901 hingga akhir pemerintahan Hindia Belanda pada 1942, memiliki tiga program utama. Pertama, irigasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan pembangunan waduk dan sarana transportasi. Kedua, edukasi untuk meningkatkan angka melek huruf dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli. Ketiga, emigrasi melalui pemindahan penduduk Jawa ke Sumatera untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Politik Etis ini memicu kelahiran dan perkembangan sekolah bagI Bumiputera pada masa kolonial Belanda.”
Uraian semacam itu memberi gambaran yang tidak utuh kepada pelajar. Seolah-olah Politik Etis adalah program yang baik bagi penduduk Indonesia. Padahal, Politik Etis memiliki tujuan untuk melemahkan perjuangan kemerdekaan umat Islam Indonesia. Sekolah-sekolah Belanda itu didirikan – salah satunya – untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Politik Etis adalah penjajahan dalam pemikiran dan pendidikan. Ini sangat berbahaya, karena dapat merusak keimanan dan akhlak bangsa. Karena itulah, melalui Keppres no. 657/1961, Kiai Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai pahlawan nasional, dengan pertimbangan utama: “KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.”
Salah satu perancang Politik Etis adalah Snouck Hurgronje. Dalam bukunya, Kawan dalam Pertikaian : Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan, 1995), Karel Steenbrink mencatat bahwa Snouck membuat ringkasan teoretis tentang ‘’politik Islam’’ dalam empat kali kuliah yang ditujukan kepada Dutch East Indian Academy for Administrative Studies pada tahun 1911. Menurutnya, hanya melalui organisasi pendidikan yang berskala luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat ‘’membebaskan’’ atau melepaskan muslimin dari agama mereka.
Menurut Dr. Yudi Latif, atas saran Snouck Hurgronje dan JH Abendanon, dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk mentranformasikan kalangan elite pribumi dari kalangan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat. Pendidikan Barat berusaha melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, memangkas biaya-biaya administratif, dan menghambat ”fanatisme” Islam. (Lihat: Yudi Latif, Pendidikan Yang Berkebudayaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020).
Tentu, masih sangat amat banyak bahan-bahan ajar di sekolah-sekolah yang perlu ditelaah dengan cermat, agar tidak memberikan ilmu yang salah kepada para pelajar. Kasihan jika Pak Menteri Pendidikan dan para para guru sangat hebat dalam metode pembelajarannya, tetapi bahan ajarnya salah! Semoga Allah SWT membimbing kita semua senantiasa berada dalam jalan yang lurus. Amin! (Depok, 24 Januari 2025).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono