Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Hingga kini, lazimnya, suatu perguruan tinggi dianggap hebat dan sukses jika memiliki banyak mahasiswa. Hal itu terkait dengan cara pandang yang menempatkan pendidikan sebagai satu bentuk industri. Jika omset penjualannya besar, maka disebut sukses. Semakin banyak mahasiswa dianggap semakin sukses pendidikannya, karena banyak peminat.
Berikutnya, dibuatlah konsep-konsep pendidikan yang menggunakan konsep bisnis. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen atau pelanggan (customer), sehingga harus dituruti kemauannya. Dulu ada istilah “pembeli adalah raja”.
Tentu saja, pendidikan berbeda dengan bisnis. Sebab, inti pendidikan adalah penanaman nilai-nilai keadilan (inculcation of justice). Itu rumusan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Proses penanaman nilai keadilan itu bukan hal yang mudah. Perlu keikhlasan, kesungguhan, keteladanan guru, dan kesabaran yang terus-menerus.
Karena itu, semakin BANYAK mahasiswa, maka akan semakin TIDAK MUDAH pula proses penanaman nilai tadi berlangsung. Apalagi jika sejak awal sudah tidak paham akan makna pendidikan. Lebih parah lagi jika salah paham akan makna pendidikan, dimana pendidikan hanya dimaknai sebagai sekedar penyampaikan informasi pengetahuan atau pelatihan keterampilan tertentu.
Jika pendidikan tinggi hanya dimaknai sebagai proses melahirkan manusia-manusia yang bisa bekerja – tanpa penanaman nilai-nilai keadilan – maka hal itu jelas bertentangan dengan amanah Konstitusi. Tak henti-hentinya kita mengingatkan pemerintah, bahwa UUD 1945 pasal 31 (c) memerintahkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan.
Mahasiswa muslim yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, konstitusi kita mengamanahkan pembentukan akhlak mulia.
Peringatan Allah SWT dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS ash-Shaf:2-3).
Untuk menjalankan tugas mulia dalam pendidikan tinggi – yakni melahirkan sarjana-sarjana yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri – maka model kampus yang unggul adalah yang kecil-kecil, seperti minimarket. Dan kampus itu sebaiknya menerapkan sistem pesantren (boarding).
Syarat utama untuk berjalannya proses pendidikan yang baik di kampus mini tersebut adalah keberadaan seorang “kyai” yang bisa menjadi teladan, motivator, pengajar, inspirator bagi para mahasiswanya. Bentuk pesantren, menjadi sangat ideal untuk menerapkan konsep kampus mini unggul. Sejak tahun 1928, Ki Hadjar Dewantara sudah mencitakan pesantren sebagai bentuk pendidikan yang ideal. Sebab, di situ bisa terjadi interaksi antara guru dan murid secara intensif.
Mendidik adalah tugas yang sangat mulia. Pahalanya sangat besar dan terus mengalir kepada pendidik. Apalagi jika para mahasiswanya kemudian menjadi guru-guru yang mendidik lagi para muridnya dengan pendidikan yang baik. Jika dosen digaji kecil maka perjuangan dosen menjadi semakin berat dan pahalanya semakin besar pula. Bahkan, insyaAllah, doa-doanya juga semakin mudah terkabul. Karena posisinya sedang “terzalimi”.
Jadi, tugas besar kita – umat Islam – adalah menyiapkan para dosen yang mampu menjadi pendidik sejati. Ia mampu menjadi kyai untuk memimpin sebuah kampus mini. Kampus mini itu bisa dalam bentuk pesantren, masjid, ruko, atau bahkan di rumah sendiri. Pemerintah, orang-orang kaya, dan masyarakat wajib mendukung pendanaan untuk pendidikan yang baik dan benar.
Saat ini, banyak gedung supermarket, perkantoran, atau ruko yang kosong dan ‘nganggur’. Itu kesempatan besar untuk mengubah gedung-gedung yang kosong itu menjadi kampus-kampus mini yang benar-benar menerapkan konsep pendidikan tinggi yang unggul. Ijin formalnya bisa diurus. Tetapi, yang penting, ijin prinsipnya dari Allah dan statusnya diridhai oleh Allah SWT.
Saat ini kita memasuki era serba internet dan kecerdasan buatan. Informasi tentang sains dan teknologi begitu melimpah ruah. Yang diperlukan adalah guru-guru atau dosen yang bijak dan mampu menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri para mahasiswa. “Proses penanaman nilai” itulah yang tidak bisa digantikan oleh robot, secerdas apa pun sang robot itu! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 31 Oktober 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: ARS & SS