Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Menteri Pendidikan telah bergonta-ganti, dari presiden ke presiden. Semuanya sepakat bahwa pendidikan karakter sangat penting bagi kesuksesan pendidikan. Hanya saja, seperti program pemberantasan korupsi, kita sadari betapa beratnya menjalankan program mulia ini. Tak salah jika kita menyebutnya sebagai “mission impossible”; misi yang nyaris mustahil keberhasilannya.
Maksudnya, bisa saja pendidikan karakter untuk para siswa di sekolah itu sukses, tetapi perlu terobosan baru dan kerja cerdas, kerja ikhlas, kerja keras, serta kerja tuntas! Jika tidak ada pemikiran dan kerja yang “luar biasa”, sulit dibayangkan pekerjaan raksasa ini akan melahirkan manusia-manusia mulia dan unggul.
Selama ini, pendidikan karakter masih mengulang-ulang program-program sebelumnya. Yakni, terlalu mengandalkan sekolah sebagai tempat pendidikan karakter. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter”. Dalam pengantar buku tersebut, ditulis: “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.”
Sedangkan tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Tahun 2017, dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 87 tahun 2017
tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”. Disebutkan, bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Juga ditegaskan, bahwa penguatan pendidikan karakter sebagaimana dimaksud dalam huruf b merupakan tanggung jawab bersama keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Sekarang, kita bisa menilai, apakah pendidikan karakter itu sudah berhasil? Sebut saja, misalnya, apakah kejujuran dan budaya kerja keras telah menjadi tradisi masyarakat kita? Dalam hal kejujuran dan etos kerja, silakan bandingkan karakter masyarakat kita dengan masyarakat Finlandia, Jepang, Korea Selatan, dan sebagainya.
Dalam sebuah survei di Kota Helsinki, Finlandia, disebarkan 14 dompet. Hasilnya, 12 dompet kembali ke pemiliknya. Silakan dilakukan uji coba di Jakarta dan kota-kota besar lainnya! Sebarkan 14 dompet berisi uang di tempat-tempat umum. Lalu, tunggulah, berapa dompet yang kembali kepada pemiliknya?
Jika Menteri Pendidikan ingin agar pendidikan karakter sukses, maka perlu konsep yang integral yang tidak hanya melibatkan institusi sekolah. Tetapi, pendidikan karakter integral ini melibatkan sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Menurut pakar pendidikan Islam Prof. Ahmad Tafsir (alm.), ada empat langkah yang diperlukan untuk kesuksesan pendidikan karakter, yaitu: dicontohkan, dibiasakan, dimotivasikan, dan ditegakkan aturan.
Khusus bagi umat Islam, ada tambahan konsep doa. Guru dan orang tua harus rajin dan ikhlas mendoakan anak-anak dan murid-muridnya agar memiliki karakter yang baik. Lebih dari itu, jika karakter dimaknai sebagai akhlak, maka diperlukan proses tazkiyyah an-nafs.
Pembersihan jiwa inilah kunci dari segala kunci kesuksesan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’ti sangat memahami konsep ini.
Karena itu, jika mau pendidikan karakter ini sukses, sebaiknya Menteri Pendidikan melakukan kerjasama erat dengan majelis-majelis agama dan ormas-ormas keagamaan. Serahkan saja konsep dan pelaksanaan pendidikan karakter ini kepada masing-masing institusi atau satuan pendidikan, bahkan kepada institusi keluarga, masjid, dan sebagainya.
Pemerintah perlu membuat model dan contohnya di beberapa sekolah. Pemerintah tidak perlu capek-capek merumuskan dan menyeragamkan konsep pendidikan karakter untuk semua masyarakat.
Serahkan saja pembentukan karakter anak-anak Muslim pada orang tua dan para guru yang muslim; menggunakan konsep pendidikan akhlak dalam Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan yang agung.
Didiklah anak-anak Muslim agar mereka memiliki karakter mulia dalam Islam, seperti pemberani (syajaah), disiplin, kreatif, mandiri, cinta pengorbanan, bermartabat, jujur, cinta kebersihan, cinta ilmu, cinta kerja keras, punya rasa malu, cinta sesama, dan sebagainya.
InsyaAllah, dengan program yang “luar biasa” dan dilaksanakan dengan kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, dan kerja tuntas, pendidikan karakter kita akan sukses. Ke depan akan lahir anak-anak kita yang berakhlak mulia. Merekalah generasi unggul yang mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Semoga Pak Menteri Pendidikan dan jajarannya diberikan bimbingan dan perlindungan oleh Allah SWT dalam menjalankan amanah yang sangat mulia. Amin. (Depok, 29 Oktober 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim