Oleh: Prof. Bustami Rahman
Guru Besar Emeritus Universitas Bangka-Belitung
Dewandakwahjatim.com, Bangka-Belitung – Dulu, waktu masih sebelum tahun 80’an, derajat doktor itu adalah semacam hak istimewa atau ‘privilege’ para dosen dan peneliti. Hampir mustahil anda bisa memperoleh beasiswa untuk calon doktor di dalam dan luar negeri jika anda bukan berstatus dosen atau peneliti.
Orang harus memilih pekerjaan sebagai dosen atau peneliti jika ingin bergelar doktor. Jika pun anda telah bekerja sebagai teknokrat birokrasi atau pegawai di perusahaan swasta, hampir tidak mungkin anda memperoleh izin dan beasiswa untuk mengambil gelar doktor. Kecuali anda keluar dari instansi tempat semula anda bekerja dan melamar untuk menjadi dosen atau peneliti. Walhal, pada masa itu belum ada aturan jenjang S2, dan S3. Untuk menyebut jenjang S2 cukup master, untuk jenjang S3 cukup doktor.
Apakah gelar doktor pada waktu itu keren? Ya sangat keren. Tambah keren lagi, karena waktu itu studi program doktor belum tersedia di dalam negeri. Di UGM, UI, dan ITB pun belum ada. Dosen harus mencari dan melamar ke luar negeri. Beasiswa luar negeri cukup tersedia waktu itu. Sangat terkenal beasiswa dari Rockefeler Foundation dan Ford Foundation waktu itu misalnya.
Memperoleh beasiswa luar negeri juga tidak mudah. Bahasa Inggris adalah yang utama. Penguasaan TOEFL minimal di atas 500. Para dosen harus bersusah payah meningkatkan kemampuan TOEFL mereka. Beringsut dari level 400 ke level diatas 500. Di tiap Universitas dibentuk English Center, tempat para dosen menempa bahasa inggris mereka sampai ‘berdarah-darah’. Belum cukup lulus TOEFL, sang dosen ini harus pula mengikuti tes kemampuan akademik (sekarang disebut TKDA, Test Kemampuan Dasar Akademik).
Singkatnya, tidak semua dosen dan peneliti mampu mengambil gelar doktor di luar negeri. Jadi, gelar itu tambah bergengsi. Studi master dan doktor menjadi marak setelah Pemerintah menggalakkan studi lanjut melalui jenjang S2 dan S3. Gelar akademik S2 menjadi incaran para calon dosen, karena dosen harus minimal bergelar S2. Sedangkan, S3 menjadi incaran bagi dosen yang S2, karena capaian gelar doktor menjadi syarat utama untuk memperoleh jabatan fungsional akademik Profesor dan jabatan struktural Rektor.
Kapankah orang-orang di luar profesi dosen dan peneliti ‘merambah’ wilayah pencapaian gelar doktor? Ini hal yang menarik. Di luar negeri, gelar akademik itu lebih spesifik untuk para dosen dan peneliti atau yang bergelut di dunia pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk gelar doktor HC. Gelar yang spesifik untuk kaum akademisi dan ilmu pengetahuan. Mereka dikenal sebagai kaum ilmuwan. Cara berpikir para doktor seharusnya telah berbeda. Mereka seharusnya, mampu berpikir filosofis, komprehensif, dan holistis. Mereka tidak boleh hanya sekedar mengandalkan kompetensi teknis. Mereka juga seharusnya tidak boleh lagi hanya bersandar pikir semata-mata pada apa katanya ahli lain. Mereka harus punya pandangan mandiri yang kritis dan mendalam. Oleh sebab itu, di Amerika, sebagian Eropa dan turunannya, para doktor bisa disebut dengan Ph.D, seorang doktor filosofi. Dari situ ukuran akademis seorang doktor bisa dinisbahkan menjadi seorang profesor.
Mungkin sekali awalnya, sebelum dibentuknya lembaga pendidikan Pascasarjana, tata tertib program doktor itu belumlah rapi dan tegas. Di masa awal itu, yang namanya seorang profesor benar-benar memiliki hak istimewa di dalam kampus. Apatah lagi jika sang profesor juga merupakan salah seorang pendiri yang berjasa kepada universitas. Pengangkatan seorang dosen misalnya melalui penunjukan asisten oleh senior atas pertimbangan pribadi. Demikian juga senior mempunyai hak prerogatif untuk menawarkan dan menetapkan siapa saja yang ia kenal dan dianggap layak menjadi calon doktor. Sejak itu terjadi transaksi oleh orang dalam dan orang luar kampus. Mungkin saja orang luar kampus itu berstatus akademisi atau juga bukan akademisi. Dimulailah kemudian tradisi yang berkembang biak dan menjadi kontroversial seperti sekarang ini. Gelar doktor telah menjadi komoditas.
Apakah tidak boleh orang yang di luar profesi akademisi untuk memperoleh gelar doktor? Ya, tentu saja boleh. Tidak ada aturan sementara ini yang melarang. Apatah lagi gelar doktor yang diperoleh itu dijadikan alasan untuk menambah ilmu pengetahuan dan untuk meningkatkan kompetensi pekerjaan. Dengan cara itu dapat meningkatkan paras potensi seseorang atau lembaga mencapai titik equilibrium yg diharapkan dapat mengimbangi dunia akademik. Maklum sekarang dikenal pola kerja Pentahelix yang harus melibatkan pula dunia akademik. Meskipun demikian, tentu gelar doktor itu tidak menjamin anda untuk menjadi hebat dalam kompetensi teknokratis, manajerial, dan apalagi sosial.
Agar gelar itu ‘deserve’, menjadi berpatutan di mata publik, maka dapatkanlah ia secara wajar. Tidak boleh pihak luar kampus yang disalahkan. Semua bersumber dari dalam kampus. Jika kampus mampu menghargai dirinya, memelihara tetap dalam ‘high esteem’, menjaga jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga.
Bagi semua orang di luar dunia akademis yang tergila-gila kepada gelar doktor dan profesor, ingatlah bahwa gelar doktor itu merupakan beban berat. Gelar profesor lebih berat lagi. Janganlah anda memberatkan diri anda dengan segala gelar, yang sebenarnya pula mungkin tidak perlu.
*Bustami Rahman
Pensiunan Profesor
(211024)
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS