BAHASA AL-QURAN ITU MUKJIZAT,ORIENTALIS TAK MAU PAHAM

Artikel Terbaru ke-1.921
Oleh: Adian Husaini dan Bana Fatahillah

Dewandakwahjatim.com, Depok - Tuduhan bahwa al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad saw sudah sering disampaikan oleh para orientalis dan misionaris. Salah satu contohnya, adalah John of Damascus (m. 750 M). Ia menyatakan, “Muhammad, sebagaimana telah disebutkan, menulis banyak cerita bodoh…” (Lihat: Adnin Armas, Metode Bible dalam Studi al-Quran, Jakarta: GIP, 2005, hal. 6).

Peter The Venerable (1094-1156) menyatakan: “Al-Quran tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture). (Ibid, hal. 23).
Dalam buku Kebenaran Diungkapkan: Pandangan Seorang Arab Kristen tentang Islam, karya Dr. Anis Shorrosh, ditulis: “Tidak ada sesuatu yang baru yang ditambahkan Muhammad. Mungkin beberapa dari padanya memang baru bagi para pengikutnya, tetapi bangsa Yahudi dan Kristen mengetahui jauh lebih banyak dari kitab suci mereka.” (hal. 199).
Al-Quran adalah Mukjizat Nabi Akhir zaman. Sifatnya Mukjizat Ilmi. Sejak awal mula diturunkannya al-Quran, banyak tokoh kafir Quraisy yang memeluk Islam karena mendengar bacaan al-Quran. Para penyair Arab yang hebat mengakui bahwa bahasa al-Quran bukan bahasa manusia. Al-Quran bukan karya penyair dan bukan pula mantra-mantra para dukun. 
Mereka paham bahwa al-Quran bukan karangan Nabi Muhammad saw. Mereka tahu bahwa Nabi Muhammad bukanlah penyair. Dan umat Islam pun tidak pernah berselisih masalah ini. Umat Islam paham, mana yang Kalamullah dan mana yang kalam Nabi Muhammad. Tetapi, sepanjang zaman, ada saja yang mencoba untuk merendahkan al-Quran, termasuk bahasanya.  
Menurut Syekh Musthafa Al-Sibai, ada saja orientalis  yang terus berupaya memojokkan dan meruntuhkan Islam.  Al-Quran dikaji. Hadis diteliti. Bahasa Arab dikuliti. Tidak sedikit dari mereka yang bersikap objektif bahkan masuk Islam. Namun tidak sedikit juga yang dengan niatan buruknya sengaja menutup-nutupi kebenaran tersebut. Dan yang lebih parah saat mereka gagal paham yang disebarkan ke umat Islam, lalu ada yang mengikutinya pula. Itulah yang membahayakan. Salah satunya permasalahan qiraat atau bacaan al-Quran.  
Ignaz Goldziher, salah satu Orientalis ternama asal Hongaria yang banyak dijadikan rujukan oleh orientalis lainnya, merupakan korban ke-gagalpahaman ini. Dalam kitabnya berjudul Mazaahib fi al-Tafsiir Al-Islaamiy ia menganggap bahwa penyebab timbulnya perbedaan dalam al-Quran adalah karakteristik bentuk tulisan Arab yang dipakai dalam Mushaf al-Quran yang tidak ada titik dan harakatnya.

Kealpaan tersebut akhirnya membuka lebar-lebar kemungkinan timbulnya bermacam qiraat, sehingga setiap qari dapat dengan bebas memilih bacaan yang baik menurut pandangannya dan meninggalkan yang tidak sesuai dengannya.


Jika ingin diringkas sejatinya yang disampaikan oleh Goldziher adalah: (i) penyebab perbedaan bacaan dalam al-Quran adalah karakteristik tulisan dalam mushaf yang tidak ada titik dan harakat (ii) Para Ulama Qiraat-lah yang memilih dan menentukan bacaan al-Quran sesuai kemauannya.


Terkait tuduhan pertama, sejak awal harus dipertanyakan kepada Goldziher –yang katanya– pengkaji al-Quran adalah: Apa sumber al-Quran itu? Apakah tulisan atau bersumber dari Nabi Muhammad saw? Umat Muslim di seluruh penjuru dunia tentu meyakini bahwa al-Quran bersumber dari Nabi saw, yakni para sahabat membaca dari Nabi dan meriwayatkannya kepada sejumlah Imam hingga sampai kepada kita saat ini.
Artinya, sekalipun ada perbedaan dalam qiraat, itu semua bersumber dari Nabi. Namun Goldziher tidak demikian. Menurutnya itu semua karena tulisan dalam mushaf. Disinilah letak kesalahannya.


Ia menguatkan pendapatnya dengan contoh. Lafadz فتثبتوا (fa-tatsabbatuu) dan فتبينوا (fa-tabayyanuu) muncul disebabkan karena tidak adanya titik pada kata tersebut. Anda bisa membayangkan tulisan itu tanpa titik. Maka kedua bacaan tersebut bisa ditampung oleh tulisan tanpa titik itu. Nah, menurut Goldziher, tulisan itulah yang menyebabkan perbedaan dalam qiraat.


Abdul Fattah Al-Qadhiy, seorang ulama ahli Qiraat asal Mesir secara tegas membantah pendapat ini. Menurutnya, andai semua bacaan ini bersumber dari tulisan di Mushaf, kenapa terdapat sejumlah bacaan (qiraat) yang semua ulama sepakat untuk membacanya seperti itu. Padahal, jika dilihat dari tulisannya, bisa saja dibaca dengan bacaan lainnya.
Contohnya: Kalimat مَلِك (Malik) di Surat Al-Fatihah dan surat An-Nas. Para ulama qiraat bersepakat bahwa dalam surat Al-Fatihah ada yang memanjangkan huruf mim dan ada yang memendekkannya (ada yang membaca “maaliki” dan “maliki”. Namun di surat An-Naas, tidak ada satu pun qari yang memanjangkan huruf mim tersebut. Padahal secara tulisan, yang di surat an-Naas sama dengan yang ada di Al-Fatihah.


Pertanyaannya, seandainya qiraat itu bersumber dari tulisan maka tentunya kata ملك di surat Al-Nas bisa dibaca panjang. Namun tidak ada demikian. Dan masih ada 15 contoh lainnya yang diberikan Abdul Fattah yang pada intinya ingin mengatakan, kalau seandainya bacaan bersumber dari tulisan, maka sungguh harusnya ada banyak perbedaan bacaan. Tetapi, nyatanya tidak demikian. Para ulama qiraat itu bersepakat, karena memang bacaan al-Quran berdasarkan riwayat; bukan berdasarkan spekulasi tulisan. (lihat Abdul Fattah Al-Qadhi, Al-Qira’at fi Nazhr al-Mustasyriqiin, hal. 46-64).


Masih ingin membuktikan kesalahan Goldziher, Abdul Fattah menambahkan, bahwa memang benar kalimat dalam al-Quran yang tanpa titik dan harakat itu menjadikannya reserve untuk dibaca dengan berbagai macam bacaan. Namun uniknya, di al-Quran ada kalimat yang disepakati bacaannya seperti ini, padahal – sekali lagi padahal— secara bahasa ia bisa dibaca dengan bacaan lainnya, sebab bahasa membolehkan menggantinya dengan harakat lain.


Misalnya, bacaan خَطِفَ-يَخْطَفُ yang bisa dibaca dengan kasrah huruf Tha ataupun Fathah di Fi’il Madhi-nya. Namun kendati bahasa mengafirmasinya, semua qari sepakat bahwa kata itu dibaca dengan menggunakan kasrah. Dan masih ada lagi kata lainnya, yang semuanya ingin menunjukan bahwa sekali lagi sumber dari qiraat bukanlah tulisan di Mushaf, melainkan riwayat dari Nabi Muhammad Saw. (Al-Qira’at fi Nazhr al-Mustasyriqiin, hal. 65)
Goldziher benar-benar gagal paham dalam masalah ini. Ia terlihat tidak menguasai soal qiraat secara dalam, alias hanya kulitnya saja. Pada intinya, sebuah ayat dikatakan bagian dari al-Quran adalah ketika ia diriwayatkan secara mutawatir. Dan Qiraat Sab’ah dan Asyrah yang ada saat ini, sebagaimana kata ulama, merupakan bacaan yang sudah mutawatir (pasti benar), yang bisa dipakai dalam shalat, dan karenanya harus diimani.


Jadi, begitulah contoh-contoh bagaimana seorang orientalis terkenal bisa gagal paham dan memang tidak mau paham terhadap masalah qiraat al-Quran. Karena itu, meskipun sudah ratusan tahun berlalu, serangan-serangan terhadap alQuran yang dilakukan oleh orientalis atau para pengikutnya akan berujung kepada kegagalan. Al-Quran adalah mukjizat yang abadi sampai akhir zaman. (Depok, 12 Juli 2024).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *