Money Politics dan Marginalisasi Etika Politik

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Bidang MPK DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Kalau politik uang (money politics) dipandang sebagai pelanggaran dalam politik, namun kali ini justru diusulkan untuk dilegalisasi. Hal ini menunjukkan adanya marginalisasi etika politik dan berganti menjadi pragmatisme politik. Usulan politik uang ini disampaikan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P), Hugua dalam rapat kerja KPU dengan Komisi II DPR di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). Ketika politik uang dilegalkan, bukan saja merusak mentalitas masyarakat, tetapi merusak sistem kenegaraan, karena pelanggaran etika-moral akan semakin meluas.

Legalisasi Politik Uang

Kalau selama ini politik uang menjadi musuh Bersama, namun dalam realitas politik, justru ditemukan di berbagai level sosial. Hal inilah yang mendorong anggota DPR dari PDI-P, Hugua, mengusulkan legalisasi politik uang. Dia mengatakan bahwa “Karena money politics ini keniscayaan, kita juga tidak money politics tidak ada yang memilih. Menurutnya, money politics tersebut harus dipertegas batasannya. Sebab, kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan pemenang ke depan adalah para saudagar,”

Usulan ini bukan hanya menunjukkan menurun dan rusaknya demokrasi tetapi juga menunjukkan hilangnya etika-moral dalam berpolitik. Terlebih lagi ketika penegakan hukum yang lemah, sehingga akan cenderung melegalilisasi dan membiarkan praktek pelanggaran dalam Pemilu.

Namun legalisasi politik uang dinilai absurd karena menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Pandangan ini dikatakan oleh Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP). “Ini absurd dan terlihat anggota DPR RI tersebut ingin menang dengan menghalalkan segala cara,” Hal ini dia katakan kepada Media Indonesia, Rabu (15/5) sebagai bentuk respon negatif dari pemantau pemilu. Indonesia Neni Nur Hayati menyebut pernyataan Hugua sebagai hal absurd.

Menurut Neni, anggota legislatif, khususnya kader PDI Perjuangan, dapat menjadi agen untuk memberantas politik uang pada Pilkada 2024 sehingga praktik yang terjadi di lapangan tidak brutal. Di samping itu, mereka juga seharusnya dapat memperkuat peran Bawaslu di daerah agar setiap dugaan pelanggaran pemilu dapat diproses secara serius dengan meluaskan peran penerima dan pemberi politik uang. Alih-alih mengurangi brutalisasi politik, tetapi yang terjadi justru memperburuk situasi dengan mengusulkan legalisasi politik uang.

Di sisi lain, legalisasi politik uang menunjukkan frustrasi politik dari elite politik, dan hal ini akan melemahkan spirit publik dalam menyuburkan praktek politik yang beretika dan bermoral. Legalisasi politik uang ini menunjukkan pragmatisme politik yang akan merusak moralitas masyarakat. “Ini merusak rasionalitas publik. Bagaimana mungkin tindakan politik uang yang bertentangan dengan nilai universal dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas justru mau dilegalkan ?”

Politik Nir-Etika

Upaya untuk melegalisasi politik uang menunjukkan frustrasi dari elite politik dan lemahnya perjuangan ideologi dari wakil rakyat. Bahkan menjadi indikator berkurangnya etika-moral dan politik. Dikatakan frustrasi dari elite politik karena politik uang telah menjadi gejala umum, sehingga pihak manapun yang ingin mencalonkan jadi pemimpin harus mengeluarkan uang. Masyarakat pun mengalami frustrasi karena melihat elite politik sudah menghalalkan segala cara dengan menghalalkan politik uang guna meraih kekuasaan. Ini merupakan indikasi kuat lemahnya perjuangan ideologi dari wakil rakyat yanag didominasi oleh syahwat politik sehingga mengubur perjuangan ideologi.

Yang menjadi kekhawatiran bersama ketika merebaknya penghilangan etika-moral dalam berpolitik. Hilangnya etika-moral dalam berpolitik itu bisa dilihat oleh adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan institusi negara. Secara kelembagaan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan pelanggaran etik-administrasi karena menerima pendaftaran calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat. Hal ini karena aturan teknis yang berlaku belum diubah sehingga semestinya Gibran tidak diterima sebagai cawapres. Secara individu, ketua KPU telah melakukan pelanggaran etik namun tidak dicopot.

Adapun pelanggaran etika-moral yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena memutuskan perkara yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai institusi paling bersih ternyata melakukan pelanggaran etik karena menyidangkan perkara yang mengandung conflict of interest. Hal itu ditunjukkan dengan keluarnya Keputusan No 90 yang melibatkan paman Anwar Usman dalam persidangan. Sementara Usman yang memiliki hubungan keluarga dengan Gibran telah ikut memutuskan perkara penting ini.

Usulan untuk melegalisasi politik uang merupakan pelanggaran etik, dan apabila hal itu dibiarkan akan semakin menambah daftar hilangnya etika dalam berpolitik. Politik uang yang seharusnya bersih tetapi diusulkan untuk dilegalkan. Hal ini jelas akan memperburuk politik karena berupaya untuk memarginalkan etika dalam bernegara.

Surabaya, 16 Mei 2024

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *