Artikel ke-1.866
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Ratusan guru besar dan dosen Perguruan Tinggi menyampaikan kritik terbuka terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Khususnya, sejumlah praktik nepotisme dan demokrasi yang dianggap terlalu mahal dan mudah diselewengkan. Kita berharap, para guru besar itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tapi, harus sampai kepada Perumusan Demokrasi yang cocok untuk Indonesia.
Saat ini kita memiliki banyak guru besar di bidang politik dan tata negara. Banyak diantara mereka yang juga dikenal sebagai cendekiawan muslim dan aktif dalam organisasi Islam.
Di Muhammadiyah adalah Mahutama (Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah). Kita mengenal nama Prof. Mahfud MD, Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Aidul Fitriciada Azhari, Dr. Yudi Latif, dan banyak lagi yang lainnya.
Pasca Pilpres 2024 merupakan saat yang tepat untuk merumuskan konsep demokrasi yang cocok untuk Indonesia. Sebab, kita sudah merdeka 78 tahun dan sudah banyak konsep demokrasi yang diterapkan. Semua itu bisa dijadikan sebagai bahan kajian yang berharga. Perdebatan tentang konsep demokrasi ini sudah berlangsung berpuluh tahun di Indonesia.
Para ulama dan cendekiawan muslim pun sudah banyak yang menulis tentang konsep tata negara yang baik. Para ulama dan tokoh Islam pernah dan masih ada yang berkecimpung dalam pemerintahan Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Pada pemilu tahun 1955, misalnya, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, dan banyak ulama lainnya menjadi anggota parlemen yang menerapkan sistem demokrasi.
Para ulama itu memahami bahwa demokrasi memang bukan berasal dari Islam. Bahkan, filosof Yunani, Plato, pun sudah mengritik sistem demokrasi. Tetapi, faktanya, dunia internasional saat ini menggunakan sistem demokrasi. Di situlah para ulama dan pemikir muslim mencoba menyikapi masalah ini dengan sebijak-bijaknya.
Sistem demokrasi dalam pemerintahan, sama kedudukannya dengan sistem-sistem lain yang berasal dari peradaban Barat, seperti kedudukan bank dalam sistem ekonomi, sekolah atau universitas dalam sistem pendidikan, juga rumah sakit dalam sistem kesehatan. Kita saat ini sudah mengenal istilah ”bank Islam”, ”sekolah Islam”, ”Universitas Islam”, ”rumah sakit Islam” dan sebagainya.
Dalam pidatonya di Majlis Konstituante, tahun 1955, tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengritik sistem pemerintahan sekular dan juga pemerintahan teokratis. Natsir menyatakan: ”Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” (Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).
Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam menjelaskan persamaan dan perbedaan Islam dan demokrasi. Ada sejumlah perbedaan yang diungkap Prof. Hasbi. Pertama, dari segi konsep “rakyat”. Bagi demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas geografi yang hidup dalam suatu negara, anggota-anggotanya diikat oleh persamaan darah, jenis, bahasa, dan adat-istiadat. Bagi Islam, yang pokok ialah kesatuan akidah.
Kedua, tujuan demokrasi Barat, baik yang modern, ataupun demokrasi kuno, adalah maksud keduniaan, atau tujuan material belaka. Tujuannya hanya mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi. Ini berbeda dengan tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah itu, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan akhirat.”
Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak. Di Barat, rakyat yang menentukan dan membuat Undang-undang. Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada al-Quran dan Sunnah. (TM Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Nah, pemikiran dan kajian para ulama dan cendekiawan muslim, seperti Mohammad Natsir, Hasbi as-Shiddieqy, dan sebagainya, perlu segera dikaji ulang, dikembangkan, dan dikontekstualkan lagi dengan situasi saat ini. Debab, saat ini sedang banyak yang mengusulkan bahwa konsep dan praktik berdemokrasi di era reformasi ini perlu dikaji ulang dan diperbaiki. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 April 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim/ss
Editor: Ainur Rafiq Sophiaan