Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Bidang MPK DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban dibangun di atas tatanan dan norma. Tatanan dan norma itu disepakati sebagai rujukan, dan menjadi panduan secara kolektif. Al-Qur’an menggambarkan bahwa wahyu merupakan petunjuk Allah untuk menjadi dasar kehidupan dan panutan bersama. Ketika Nabi Muhammad menawarkan panduan hidup berdasarkan Al-Qur’an, orang-orang Quraisy menolaknya. Allah pun mengancam membiarkan mereka hidup tanpa petunjuk (norma) sehingga akan hancur dengan sendirinya. Diancam hancur karena menolak petunjuk dan mendasarkan hidup pada nilai yang mengabdi pada hawa nafsu. Ketika mendasarkan pada hawa nafsu maka norma apa pun akan disingkirkan dan ditenggelamkan.
Fungsi Petunjuk
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang memuat berbagai petunjuk untuk mengarahkan manusia di atas jalan yang lurus. Kitab suci ini akan memandu arah kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan Al-Qur’an ini, Nabi Muhammad bertekad untuk memperbaiki tatanan sosial yang rusak, dan berikrar untuk menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman hidup bersama.
Alih-alih merespon positif, masyarakat Quraisy justru melawan dan ingin menyingkirkan Al-Qur’an ini. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menolak nilai-nilai ilahiyah ini. Bahkan orang-orang kafir Quraisy memilih binasa daripada menerima petunjuk Nabi Muhammad. Allah pun mengancam mereka dengan tidak menurunkan petunjuk, sehingga mereka dibiarkan hidup ta ganpa nilai. Ancaman ini disampaikan, karena mereka seolah-olah tidak mengenal karakter dan watak Nabi Muhammad yang terkenal amanah dan tak pernah berdusta. Al-Qur’an mengabadikan hal ini sebagaimana firman-Nya :
قُلْ لَّوْ شَآءَ اللّٰهُ مَا تَلَوْتُهٗ عَلَيْكُمْ وَلَاۤ اَدْرٰٮكُمْ بِهٖ ۖ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِّنْ قَبْلِهٖ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.” Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur’an). Apakah kamu tidak mengerti ?” (QS. Yunus : 16).
Memperoleh hadiah terbaik, berupa petunjuk Allah, orang-orang Quraisy seolah tidak kenal sosok Muhammad yang membacakan ayat-ayat-Nya. Padahal mereka sangat mengenalnya sebagai manusia terbaik dengan latar belakang yang jelas dan terpercaya. Mereka mengenal Nabi Muhammad dengan baik, sejak kecil hingga dewasa. Bahkan mereka memiliki pengetahuan tentang Muhammad jauh lebih mendalam daripada mengenal anak-anak mereka. Mereka pun tahu bahwa Muhammad memiliki gelar Al-Amin, sebuah reputasi yang sangat agung.
Pendustaan Kiamat
Penolakan terhadap risalah kenabian berakar pada pendustaan terhadap hari kebangkitan. Mereka berkeyakinan bahwa setelah kematian ini tidak akan ada kehidupan. Mereka menyatakan bahwa hari kebangkitan itu hanya khayalan para utusan yang mendatanginya. Konsekuensi dari keyakinan ini, mereka berbuat sekendaknya, termasuk bermaksiat dan melanggar norma dan kesepakatan bersama.
Mereka tidak takut adanya hari petanggungjawaban, berupa pembalasan atas berbagai tindak kejahatan yang telah dilakukannya saat di dunia. Para nabi dan rasul gigih mengingatkan adanya ancaman kepada para pendosa dengan balasan yang menyakitkan dan menghinakan. Al-Qur’an memaparkan hal itu sebagaimana firman-Nya :
وَا تَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah : 281)
Apa yang terjadi di negeri ini, tidak berbeda dengan narasi di atas, dimana tindak pelanggaran yang dilakukan oleh elite politik dengan menabrak kesepakatan bersama. Mereka tutup mata terhadap kecurangan, dan menganggapnya tidak ada. Oleh karenanya, mereka bertindak bebas dengan menabrak tatanan dan norma yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Praktek kecurangan secara kolektif dilakukan oleh penyelenggara negara hingga puncaknya muncul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK menolak permohonan para penggugat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan mengungkap praktek kecurangan Pilpres 2024. Implikasi dari penolakan MK atas permohonan itu, maka sahlah Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden. Padahal publik menilai bahwa Pilpres ini dilalui dengan menghalalkan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan massif.
Uniknya, pihak yang memenangkan Pilpres mencoba untuk merangkul dan mengajak pihak yang sebelumnya menggugat untuk masuk dan bergabung dalam satu gerbong pemerintahan. Lebih Ajaib lagi apabila pihak-pihak yang menuduh kecurangan itu mau bergabung, dan bersedia menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak demokratis.
Praktek kenegaraan seperti ini merupakan dagelan politik sekaligus praktek politik transaksional. Dikatakan dagelan politik karena sebelumnya berseteru hingga masyarakat akar rumput terpolarisasi, namun ujungnya para elite bersatu atas nama membangun kebersamaan. Dikatakan politik transaksional karena mereka yang menuduh kecurangan, tidak lain sebagai bentuk transaksional untuk mendapatkan nilai tawar berupa kue kekuasaan.
Ketika koalisi politik yang dibangun di atas pelanggaran etika-moral, maka tidak ada lagi proses saling mengingatkan (oposisi). Maka tidak lagi ada kontrol terhadap kekuasaan. Karena pihak yang seharusnya mengkritisi kebijakan telah larut menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Praktek politik seperti ini bukan hanya mempermainkan norma dan nilai tetapi menginjak-injaknya sesuai dengan kebutuhan.
Kaum Nabi Yunus telah membuktikan dirinya sebagai masyarakat yang agung dan mulia ketika keimanan mereka telah menghilangkan bencana besar. Mereka memegang teguh etika-moral dengan mengagungkan Allah, sehingga terselamatkan dari bencana. Sebaliknya Fir’aun telah menghempaskan etika-moral dengan menolak risalah Nabi Musa dan bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Allah pun menghinakan dirinya dan menghancurkan seluruh elite yang selama ini menopang kekuasaan Fir’aun.
Dua realitas itu merupakan permisalan dalam Al-Qur’an yang sangat jelas, dimana satu komunitas mengagungkan petunjuk yang dibawa Nabi Yunus, dan mereka pun terselamatkan dari bencana. Sementara Fir’aun mendustakan petunjuk Nabi Musa sehingga bencana besar menggulung dan menghempaskannya sehingga mati dalam keadaan terhina.
Surabaya, 26 April 2024
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Ainur Rafiq Sophiaan