Artikel ke-1.662
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok - Beberapa kali berkunjung ke Kota Pelembang dan juga beberapa kota lainnya di Provinsi Sumatera Selatan, saya belum menemukan jalan bernama “Jalan Syekh Abdus Samad al-Palimbani”. Begitu juga belum saya temukan gedung bernama “Gedung Syekh Abdus Samad Al-Palimbani”. Mungkin ada, tapi saya belum berjumpa dan belum dapat kabar.
Padahal, di Pesantren At-Taqwa Depok, ada satu gedung yang kami beri nama “Gedung Syekh Abdus Samad al-Palimbani”. Beberapa kitab karyanya juga dikaji oleh para santri. Sayang sekali jika generasi muda muslim tidak mengenal pemikiran dan perjuangan ulama hebat ini.
Karena itu, artikel yang ditulis oleh Mahasiswa STID Mohammad Natsir berikut ini penting untuk ditelaah. Artikel itu ditulis oleh Fatih Madini dan dimuat di FB-nya. Kita berharap, makin banyak anak-anak muda muslim yang menelaah dengan serius pemikiran dan perjuangan para ulama di Nusantara yang telah meletakkan landasan penting dalam perkembangan dakwah di alam Melayu-Nusantara ini.
Berikut kutipan artikel yang berjudul: “Abdul Samad al-Palimbani: Ulama Pejuang Asal Palembang.” Dikisahkan, bahwa pada akhir abad ke-18, kemasyhuran seorang ulama asal Palembang bernama Abdul Samad al-Palimbani sulit untuk dinafikan, khususnya bagi masyarakat Timur Tengah, Melayu-Nusantara dan sekitarnya.
Meskipun menetap di Timur Tengah, Syekh Abdul Samad memiliki kepedulian tinggi terhadap Nusantara. Bahkan, ia berhasil meluaskan semangat jihad kepada masyarakat Muslim Nusantara untuk kemudian memerangi para penjajah melalui media-media tulis, khususnya karyanya sendiri. Hal ini dapat ia lakukan usai terlibat langsung dengan Komunitas Jawa di Haramayn. Ia mengetahui dan tanggap terhadap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara.
Tak hanya itu, Syekh al-Palimbani juga terjun langsung ke dalam peperangan fisik. Lebih-lebih ketika mengetahui semasa hidupnya ia pernah belajar ilmu beladiri dari jalur keluarganya yang mewarisi tradisi silat dan keterampilan berperang Keraton Palembang. Dua hal itulah yang membuat namanya menjadi besar di mata masyarakat Melayu-Nusantara dan sekitarnya.
Fakta sejarah menunjukkan, melalui kitabnya, Nashihatul Muslim wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhaail Jihad fi Sabiillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah, Syaikh Abdus Samad mampu membuat masyarakat Aceh sadar bahwa mereka sedang dijajah kemudian bergerak menentang gerakan tersebut. Kitab ini selesai ditulis pada 23 Agustus 1772 M saat perjalanannya menuju Palembang.
Menurut ulama Palembang, Mal An Abdullah, “Dalam risalah ini Syaikh Samad mengkhususkan pemaknaan jihad sebagai qital, perang suci. Karya ini diakui oleh para pengkaji modern sebagai karya pertama jenis ini dari kalangan ulama Jawi, dan dikenal luas di Nusantara … dalam banyak tulisan ia sering disebut sebagai masterpice Syaikh Samad tentang jihad” (Lihat: Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani: Biografi dan Warisan Keilmuan, 2018: 73)
Karya Syekh Abdus Samad itu juga ditulis dalam bahasa Melayu dengan judul: Nashihat lil-Muslimin wa Tadzkirat lil-Mu’minin fi Fadhlil Mujahidin fi Sabilillah wa Ahkamil Jihad fi Sabilillah Rabbil Alamin. Dalam kitab ini dituliskan bahwa: “Di dalam risalah ini nasihat faqir ila Allah Ta’ala umum kepada sekalian Muslimin dan khusus kepada saudara hamba yang alim-alim dan orang yang shalih-shalih dan orang yang haji-haji yang di bawah angin, maka seyogianya bagi mereka itu memberi nasihat bagi raja-raja, dan juga bagi orang yang besar-besar dan bagi orang yang kaya-kaya itu, supaya mendirikan mereka itu akan ibadat, dan setengah daripada ibadat yang terlebih afdhal mendirikan akan perang sabilillah” (Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani…, 2018: 74-75)
Syaikh Samad juga mengirimkan beberapa surat kepada para pejabat Muslim dan para pangeran Jawa untuk segera memulai perang melawan Belanda. Seorang orientalis Belanda, Drewes, mengira bahwa surat-surat itu tidak terlihat sebagai desakan yang sungguh-sungguh untuk melakukan jihad, sekalipun ia mengakui bahwa jihad adalah keunggulan Syaikh Abdus Samad. Tapi ternyata semua sangkaan Drewes itu keliru. Sebab, nantinya, Syaikh Abdus Samad justru sengaja datang dari Haramayn ke Patani dan Kedah, untuk membantu melawan penjajah Siam.
Setelah menyelesaikan karya terakhirnya, menurut Mal An Abdullah, Syaikh Abdus Samad juga sering pulang pergi Arab- Nusantara. Perjalanan berulang kali ke negeri-negeri Jawi tentu saja membuat beliau semakin mengerti masalah-masalah konkret yang dihadapi umat Islam di Nusantara. Ia kemudian memberikan respon yang tidak hanya berwujud tulisan, tapi juga melibatkan diri dalam peperangan fisik.
Kabar ini ia buktikan melalui disertasi doktoral Bradley mengenai Daud al-Patani yang mencatat kedatangan seorang “Shaick” yang berpengaruh dari Makkah bernama “Abdool Samatt” pada tahun 1791, untuk ikut mendukung perjuangan jihad rakyat Patani. Francis Light, kepala koloni British East India Company di Pulau Pinang, juga mencatat pergerakannya dengan detail dan melaporkannya secara tertulis kepada Governor-General di Calcutta pada 24 Agustus 1792 (Mal An Abdullah, …. 2018: 101-102).
Prof. Azyumardi Azra menulis tentang Syekh Abdus Samad: “Mengenai hubungan dan koneksi ilmiahnya, al-Palimbani, tak pelak lagi, adalah ulama Melayu-Indonesia paling menonjol dalam jaringan ulama abad ke-18. Namun peranan pentingnya dipandang dari sudut perkembangan Islam di Nusantara tidak hanya keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya, yang dibaca secara luas di wilayah Melayu-Indoenesia. Dalam karya-karyanya, al-Palimbani menyebarkan bukan hanya ajaran-ajaran para tokoh neosufi, tetapi juga mengimbau kaum muslim melancarkan jihad melawan orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang terus menggiatkan usaha-usaha mereka menundukkan entitas-entitas muslim di Nusantara.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, 2013: 318).
Mal An Abdullah menduga kuat Syaikh Abdus Samad wafat dalam kondisi syahid. Kemungkinan besar ia wafat pada 17 Dzulqa’dah 1832 Masehi di usainya yang ke 95 tahun atau 1247 Hijriyah di usianya yang ke 97 tahun. “Maka tepatlah kalau dia disebut oleh Al-Patani sebagai salah satu ulama besar Melayu Nusantara yang berumur panjang (mu’ammar),” ujarnya.
*
Kita berharap, sosok ulama hebat asal Palembang ini semakin banyak dikaji pemikiran dan perjuangannya, agar generasi muslim Melayu-Indonesia memiliki kebersihan jiwa dan semangat juang yang tinggi dalam menghadapi penjajahan dalam segala bentuknya! Setidak-tidaknya, namanya diabadikan menjadi salah satu jalan penting di Palembang dan kota-kota lainnya di Nusantara. (Depok, 23 September 2023).
Admin: Kominfo DDII Jatim/SS