JANGAN ‘BUNUH’ MAHASISWA DAN UNIVERSITAS KITA

Artikel Terbaru (ke-1.642)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII

Dewandakwah.com, Depok -  Betapa sedihnya keluarga dan kita semua, saat mendengar berita-berita tentang kematian mahasiswa di sejumlah kampus. Ada yang mati karena bunuh diri. Ada yang dibunuh. Ada yang karena penyakit atau kecelakaan. Kematian seorang mahasiswa adalah kerugian besar bagi bangsa kita, karena mereka adalah kader-kader pemimpin bangsa.

Tapi, ada jenis “kematian” yang sepatutnya juga diratapi oleh para orang tua dan kita semua. Yakni, kematian jiwa. Tepatnya: kematian jiwa perjuangan. “Hidup tanpa perjuangan,  bukan hidup namanya,”  begitu pesan penting KH Imam Zarkasyi, pendiri pesanren Gontor Ponorogoro. 
Lebih jauh KH Imam Zaraksyi menyatakan, “Hidup ini tak lain adalah perjuangan dan mempertahankan akidah. Hidup ini perjuangan. Kita tidak bisa memilih antara berjuang atau tidak berjuang. Selama kita ingin hidup, perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan kita akan mati dalam kehidupan.” (Lihat buku: Ajaran Kiai Gontor: 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi).

Tragedi kematian jiwa perjuangan (jiwa dakwah) ini sudah lama diingatkan oleh para ulama.  Melalui kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali memberikan peringatan keras. Bahwa, pada hakikatnya ilmu-ilmu agama di zaman itu telah mati, dan perlu dihidupkan lagi. Padahal, saat itu banyak orang yang belajar ilmu-ilmu agama, tetapi mereka belakar hanya untuk meraih keuntungan duniawi.
Tertanamnya jiwa pejuang inilah yang seharusnya menjadi satu kompetensi penting dalam merumuskan kurikulum pendidikan kita. Al-Quran mencontohkan pendidikan yang dilakukan oleh Luqman al-Hakim kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan tegakkanlah kebaikan serta cegahlah kemunkaran. (QS Luqman:17). 

Maka, sangatlah berbahaya, jika seorang, api perjuangan telah mati dalam jiwa bangsa. Pada 17 Agustus 1951, tokoh integrasi NKRI, Mohammad Natsir menulis artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”  Pak Natsir mengkhawatirkan kondisi manusia Indonesia yang mulai dijangkiti penyakit bakhil; bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.

Karena itu, sangat berbahaya jika jiwa perjuangan ini dilucuti dari para guru. Para pendidik itu dipaksa untuk meninggalkan prinsip mendidik sebagai sebuah perjuangan. Mendidik dianggap sebagai kerja; dan kerja harus ada imbalan materinya. Guru bukan lagi dianggap atau menganggap dirinya sebagai pejuang, sebagai mujahid intelektual; tetapi guru ditempatkan atau menempatkan diri sebagai ”tukang ngajar bayaran!”

Maka, dari hari kehari, makin tak terdengar lagi untaian kata-kata indah dalam Hymne Guru: ”Engkau bagai pelita dalam kegelapan; engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan; engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.”
Kini, kehidupan masyarakat kita, seolah-olah dipenuhi dengan nuansa pemujaan materi secara berlebihan. Semua dianggap harus ada imbalannya di dunia ini, berupa materi. Dunia kampus pun sering diwarnai dengan perebutan jabatan secara berlebihan. Rebutan jabatan rektor, dekan, dan sebagainya.


Jabatan dipuja secara berlebihan. Demi meraih kabatan, kadang sampai terjadi upaya saling menjatuhkan antar sesama guru atau dosen. Lobi-lobi kelas tinggi dilakukan untuk menguatkan posisinya sebagai calon pemimpin, dengan cara menyingkirkan koleganya. Padahal, dunia perguruan tinggi harusnya menjadi model ideal bagi upaya pembentukan masyarakat dan negara ideal.


Perkembangan dunia perguruan tinggi yang semakin pragmatis dan materialis sudah dikeluhkan banyak pihak. Kampus tidak lagi menjadi “kawah candradimuka” untuk melahirkan para pejuang penegak kebenaran dan keadilan.


Bahkan, Peter Fleming – melalui bukunya Dark Academia; How Universities Die, telah
mengungkap sisi gelap universitas yang melenceng dari nilai-nilai perguruan tinggi. Korupsi, neoliberalisme yang kapitalistik telah terjadi di kampus-kampus Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Akibatnya, universitas cenderung sekedar berorientasi bisnis.
Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, mantan Dirjen DIKTI, dalam artikelnya yang berjudul Marginalisasi Perguruan Tinggi, menulis: “Perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.”


Karena itu, pikirkanlah dengan serius ketika akan memilih kuliah suatu di Perguruan Tinggi! Jangan sampai terjebak dalam perangkap kematian jiwa perjuangan! “Hidup tanpa perjuangan, bukan hidup namanya,” tegas KH Imam Zarkasyi. (Padang, 3 September 2023)

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *