PENDIDIKAN BANGSA KITA DULUMELAHIRKAN PEJUANG PERADABAN

Artikel Terbaru (ke-1.602)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusiani.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Depok – Fakta sejarah menunjukkan bahwa para tokoh dan pejuang kemerdekaan kita adalah mereka yang menempuh pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi-pribadi pejuang kemerdekaan, dan sekaligus pejuang peradaban. Para tokoh kita bukan hanya mencitakan negara merdeka secara politik dan militer, tetapi negara yang punya karakter sendiri, yang berbeda dengan negara lain.


Karena itulah, mereka merumuskan Tujuan Kemerdekaan yang “khas Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa, Indonesia merdeka adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Dan bahwasanya tujuan bernegara adalah terciptanya negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Karena itulah, meskipun pemerintah kolonial berusaha meredam semangat perjuangan bangsa melalui tawaran-tawaran pendidikan yang unggul, tetapi para pejuang kemerdekaan kita lebih memilih model pendidikan sendiri. Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa model pendidikan Barat hanya akan mendidik anak-anak kita menjadi buruh.


Ketika itu, tahun 1922, saat pendirian Perguruan Taman Siswa, di Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara menyatakan: “Pendidikan yang selama ini diterima orang Indonesia dari Barat jauh dari kebal terhadap pengaruh-pengaruh politik kolonial; singkatnya, ialah pendidikan yang ada hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial.”
Hanya saja, Ki Hajar mengaku heran, karena banyak priyayi atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini. Mereka kemudian mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.
Tentu, bukan berarti Ki Hajar Dewantara meremehkan pekerjaan sebagai buruh. Bagi Ki Hajar, pendidikan itu lebih menekankan pembentukan manusia yang baik, yang disebutnya sebagai “pamong” (orang yang bisa ngemong/mengasuh). Ki Hajar mengingatkan, bahwa pendidikan model kolonial tidak membangun manusia dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan merdeka lahir-batin. Tapi hanya mengarahkan menjadi buruh dan bangsa yang bergantung kepada Barat.
“Pendidikan dalam semangat kolonial telah mencegah terciptanya masyarakat sosial mandiri dan merdeka lahir batin, hanya menghasilkan suatu kehidupan yang tergantung kepada bangsa-bangsa Barat,” tulis Ki Hajar Dewantara.
Sistem pendidikan Eropa, menurut Ki Hajar, sangat mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan. “Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat,” tulisnya.
Sedangkan hakikat pendidikan dikatakan sebagai: “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.”


Sepuluh tahun sebelum Ki Hajar mendirikan Taman Siswa, KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. KH Ahmad Dahlan pun mendirikan lembaga pendidikan dengan semangat perjuangan melawan hegemoni peradaban Barat.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 November 1912. Menurut Alwi Shihab, dalam bukunya Membendung Arus, Muhammadiyah didirikan sebagai respon terhadap (1) praktik keagamaan yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam, (2) gerakan Kristenisasi dan (3) gerakan Free Mason. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).


Dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, disebutkan: “Muhammadiyah berasas Islam” (pasal 4), dan “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” (pasal 6).


Diantara dasar penetapan KH Ahmad Dahlan – pendiri Muhammadiyah — sebagai Pahlawan Nasional (Keppres no. 657/1961) adalah. bahwa: “KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.”


Jadi, patut kita camkan, bahwa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah ada kaitannya dengan penyadaran umat Islam Indonesia, “sebagai bangsa terjajah”! Dan salah satu penjajahan oleh bangsa Barat – kolonialis Belanda – waktu itu adalah penjajahan melalui pendidikan. Karena itulah, KH Ahmad Dahlan melakukan perlawanan terhadap penjajahan melalui amal nyata, yaitu melalui pendidikan.


Jadi, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika itu memang memberikan peluang dan harapan untuk meraih kesuksesan materi. Banyak tokoh pergerakan nasional yang mengikuti proses pendidikan Barat tersebut, namun kemudian mereka sadar, bahwa pendidikan Barat itu banyak mengandung ranjau-ranjau yang membahayakan.
Menurut Mr. Mohammad Roem menceritakan: “Haji Agus Salim menerangkan, bahwa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur”, akibat pelajaran kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan serupa dan akan memberi pelajaran sendiri kepada anak-anaknya.”


Patut dicatat, bahwa tantangan peradaban di zaman kini masih sama dengan era Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, dan Haji Agus Salim. Hegemoni peradaban Barat yang sekuler-liberal masih mendominasi berbagai bidang keilmuan dan kehidupan. Inti dari peradaban Barat modern – menurut Muhammad Asad -- adalah “irreligious in its very essence”. 

Lawrence E. Cahoone, dalam bukunya, The Dilemma of Modernity, New York, State University of New York Press, 1988, mengingatkan: “Most of the people of this earth are born into the world as children or step children of modernity, whether they like it or not.”


Penyair besar Pakistan Mohammad Iqbal mengingatkan, bahwa Peradaban Barat modern membawa dampak kepada hilangnya keyakinan. “Loss of conviction is worse than slavery,” tulis Iqbal. Jadi, hilang keyakinan itu lebih buruk daripada perbudakan. Manusia yang hilang iman, ia akan menjadi budak nafsu dan budak setan!
Karena itu, sudah sepatutnya lembaga-lembaga pendidikan kita di Indonesia, terus menanamkan semangat perjuangan melawan hegemoni peradaban yang mengajarkan semangat melawan Tuhan Yang Maha Esa. Allahu Akbar! (Jakarta, 24 Juli 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *