Artikel ke-1.536
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah Pusat
Dewandakwahjatim.com, Lampung – Pertengahan Mei 2023, muncul berita berjudul: “Ratusan Guru di DIY Diterima jadi ASN, Muhammadiyah Protes ke Pemerintah.” Disebutkan, bahwa Kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang digulirkan pemerintah diprotes warga Muhammadiyah.
Sebabnya, program yang digulirkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen P3K yang merekrut guru-guru swasta menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut dinilai merugikan Muhammadiyah.
Sebagai contoh, di Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan data Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) DI Yogyakarta, ada lebih dari 200 guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang direkrut pemerintah menjadi P3K. Mereka merupakan guru-guru terbaik di Muhammadiyah yang selama ini mendidik siswa di berbagai sekolah swasta.
“Ada program P3K, yang bagi swasta ada masalah. Bukan kita tidak siap, tapi kan kita punya pandangan pendidikan kan tidak mengenal fragmentasi,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, Minggu (14/05/2023). (Lihat, https://jogja.suara.com/read/2023/05/15/110624/ratusan-guru-di-diy-diterima-jadi-asn-muhammadiyah-protes-ke-pemerintah).
Menyimak berita tersebut, tentu kita berharap Muhammadiyah dapat segera menemukan pengganti para guru yang keluar. Tapi, pemerintah pun patut mempertimbangkan keberadaan para guru swasta itu di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan lembaga pendidikan lainnya. Jadi, setelah direkrut menjadi pegawai negeri, mereka tetap ditempatkan di sekolahnya semula, untuk membantu perkembangan sekolah-sekolah swasta tersebut.
Berkaca pada kasus tersebut, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu melakukan perumusan kembali tentang makna dan kedudukan guru dalam lembaga pendidikannya. Sebagai komponen penting dalam pendidikan, guru perlu diutamakan. Kualitas atau kompetensi guru perlu terus mendapat perhatian serius dari lembaga pendidikan Islam – baik sekolah, pesantren, atau lainnya.
Bukan hanya soal kesejahteraan guru yang perlu diperhatikan. Tetapi, pendidikan guru juga perlu menjadi program lembaga pendidikan. Guru bukan hanya aktif mengajar dan membimbing pelajar. Tetapi, guru juga harus dibuatkan program peningkatan kualitas keilmuannya. Jangan sampai berpuluh tahun menjadi guru, tetapi kualitas keilmuannya tidak meningkat. Dari tahun ke tahun, guru mengajarkan materi yang sama. Hanya berganti murid.
Program peningkatan kualitas keilmuan guru ini memerlukan konsep yang tepat dan juga pendanaan yang memadai. Lembaga pendidikan Islam sebaiknya mengutamakan peningkatan kualitas guru, dibandingkan dengan peningkatan sarana bangunan yang tidak terlalu mendesak.
Betapa pun keikhlasan guru adalah hal utama, tetapi sebagai manusia biasa, guru juga memerlukan perhatian, jiwa dan raga. Gaji mungkin tidak terlalu besar, tetapi jika ada program peningkatan kualitas keilmuan, insyaAllah akan lebih menenteramkan jiwa guru. Ada harapan bahwa dia akan terus meningkat kualitas ilmu dan pribadinya sebagai manusia teladan.
Jadi, lembaga pendidikan Islam sepatutnya memandang dan membentuk guru sebagai aset vital dan pejuang intelektual. Jangan memandang guru sebagai “tukang ngajar bayaran” yang kurang dihormati. Sebab, pelajar tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, jika tidak mendapat ridha sang guru.
Istilah “guru tidak tetap” patut dipertimbangkan kembali. Orang yang mengajarkan ilmu dan mendidik akhlak pelajar adalah guru. Sekali guru, ia tetap guru. Hakikatnya, tidak ada bekas guru. Meskipun ia sudah tidak bertugas di lembaga pendidikan tersebut, tetap saja ia guru bagi si pelajar, dan wajib dihormati.
Itulah sejumlah pandangan ideal terhadap guru. Pada sisi sebaliknya, guru perlu menempatkan dirinya sebagai ilmuwan dan pejuang intelektual. Sebagai mujahid ilmu, guru merupakan manusia mulia dan terhormat. Kehormatan guru ini perlu dijaga oleh diri guru itu sendiri. Allah sudah menjamin, bahwa siapa saja yang menolong agama-Nya, maka pasti Allah akan menolongnya (Lihat, QS Muhammad: 7).
Tampaknya, dalam konteks seperti inilah KH Ahmad Dahlan menyampaikan pesan yang sangat masyhur: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Muhammadiyah adalah lahan perjuangan. Menjadi guru Muhammadiyah, artinya sudah menyiapkan dirinya menjadi pejuang amar ma’ruf nahi munkar, dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Dalam pasal 6 Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Jadi, betapa mulianya tujuan Persyarikatan Muhammadiyah. Para guru dan pimpinan lembaga-lembaga pendidikan di Muhammadiyah dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan tujuan Muhammadiyah tersebut. InsyaAllah, jika memiliki niat ikhlas dan tekad yang kuat dalam berjuang menegakkan kebenaran, pasti Allah akan menolong para guru Muhammadiyah tersebut, meskipun tanpa menjadi ASN. InsyaAllah! (Lampung, 18 Mei 2023).
Admin: Sudono Syueb