KHUTBAH JUMAT TENTANG PERADABAN

Artikel ke-1.529
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada 12 Mei 2023, saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Agung Al-zhar Kebayoran Baru, Jakarta. Temanya tentang “Membangun Peradaban”. Kepada ribuan jamaah shalat Jumat, saya menyampaikan pentingnya kita memiliki keyakinan, bahwa Islam memiliki konsep dan sejarah yang gemilang dalam membangun peradaban mulia.


Bahwa, misi Rasulullah saw untuk mewujudkan “rahmatan lil-alamin” telah terbukti mampu diwujudkan dalam sejarah. Peradaban Islam yang mulia pernah terwujud dalam kehidupan umat manusia, selama beradab-abad.


Rasulullah saw membangun peradaban yang agung dimulai dengan membangun pribadi-pribadi manusia yang agung. Itulah generasi sahabat. Itulah generasi yang disebut sebagai “sebaik-baik manusia” (khairun naas). Generasi ini adalah produk pendidikan terbaik, yang dididik langsung oleh guru terbaik (Rasulullah saw) dan dididik dengan kurikulum terbaik.


Rasulullah saw dan para sahabatnya berhasil membangun satu model peradaban terbaik di Madinah. Madinah sejatinya merupakan embrio peradaban besar, yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ada sejumlah ciri Madinah sebagai model peradaban terbaik.


Pertama, masyarakat Madinah memiliki budaya literasi yang tinggi. Para sahabat Nabi sangat mencintai ilmu dan sangat bersemangat dalam mengamalkan ilmu. Mereka berlomba-lomba menghafal, mencatat, dan juga mengamalkan ilmu-ilmu yang merekadapat dari Rasulullah saw.
Aktivitas keilmuan mendapatkan tempat dan perhatian utama dalam sistem kehidupan di Madinah. Orang yang mencari ilmu diberikan pahala yang sangat besar, sebagai jihad fi-sabilillah. Bahkan, Rasulullah saw menyampaikan adanya konsep “amal jariyah”. Yakni, ilmu yang terus dimanfaatkan, dan terus mengalirkan pahala kepada orang yang mengajarkannya.
Rasulullah juga membuat kebijakan yang menempatkan baca tulis sebagai hal yang sangat berharga dalam kehidupan umat manusia. Beliau membebaskan tawanan perang yang bisa mengajarkan membaca dan menulis. Beliau juga memerintahkan mencatat surat-surat dan perjanjian.


Budaya literasi seperti inilah yang perlu ditumbuhkan di tengah masyarakat kita, jika kita ingin membangun satu peradaban yang mulia. Tetapi, bukan sekedar budaya literasi. Yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya adalah budaya literasi yang beradab, yang berbasis kepada nilai-nilai Tauhid kepada Sang Maha Pencipta dan menempatkan manusia di tempat yang mulia, sebagai hamba Allah dan khalifatullah fil-ardh; bukan sebagai hamba setan atau hamba sesama manusia.


Kedua, masyarakat Madinah adalah model terbaik dalam hal persaudaraan dan tolong-menolong antar warganya. Perintah Allah “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa” benar-benar terwujud di tengah masyarakat. Banyak diantara sahabat Nabi yang lebih mengutamakan kepentingan saudaranya, dibandingkan dengan kepentingan dirinya sendiri. Sejak awal kehidupan di Madinah, Rasulullah membuat kebijakan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar.


Cinta dan kasih sayang menjadi nafas kehidupan masyarakat. Inilah model gotong royong yang ideal. Tolong menolong dilakukan dalam kebaikan dan tidak memberikan kesempatan terjadinya tolong menolong dalam dosa dan kejahatan. Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dijalankan dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw menempatkan aktivitas “taushiyah” sebagai aktivitas penting di tengah masyarakat.
Ketiga, terwujudnya budaya taat hukum. Rasulullah saw memberikan teladan kedisplinan dalam penegakan hukum. Beliau tidak mentolerir terjadinya pelanggaran hukum, seperti korupsi, sekecil apa pun. Bahkan, beliau mengumumkan, andaikan putri beliau, Fatimah, mencuri, pasti akan dipotong tangannya. Para pemimpin sesudah beliau pun menerapkan hukum secara tegas dan adil, walaupun terhadap keluarganya sendiri.


Keempat, masyarakat Madinah bersikap tegas terhadap budaya miras. Islam memberikan sanksi tegas terhadap kejahatan miras, yaitu pelakunya dicambuk. Tetapi, proses pengharaman miras itu dilakukan secara bertahap, mengingat kuatnya tradisi “mabuk-mabukan” di tengah masyarakat.


Budaya miras atau alkoholisme merupakan penyakit yang sangat merusak kehidupan. Budaya “teler” ini merusak akal dan memicu permusuhan antar sesama. Berbagai negara modern saat ini masih belum berhasil mengatasi budaya miras ini. Islam memiliki konsep yang ampuh dalam menanggulangi masalah miras, dan sekaligus membuktikan bahwa konsep ideal itu pernah diwujudkan dalam kehidupan yang nyata.


Jadi, belajar dari peradaban Madinah di masa Nabi dan para pelanjutnya, umat Islam kemudian berhasil mengekspor peradaban yang mulia itu ke berbagai pelosok dunia. Peradaban Islam kemudian berhasil diwujudkan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, membentang dari Andalusia, Afrika, India, sampai Nusantara.
Peradaban Islam adalah peradaban ilmu, peradaban kedisplinan, dan peradaban kasih-sayang antar-sesama. Peradaban Islam membangun manusia dan masyarakat secara adil dan seimbang; tidak ekstrim.


Islam memiliki visi akhirat, tetapi tidak melupakan dunia. Islam membangun jiwa dan raga secara seimbang. Dengan prinsip keadilan itulah umat Islam menjadi umat pertengahan (ummatan wasatha), yakni umat yang unggul yang menjadi jangkar dan pemandu serta pemimpin umat manusia.


Peradaban Islam yang mulia itu insyaAllah akan terwujud kembali, jika umat Islam memahami dan mengikuti konsep yang pernah ditempuh oleh generasi awal. Konsep dan jalan itu masih terjaga dengan baik. Sebab, Islam adalah agama yang dijaga oleh Allah. Semoga kita menjadi bagian dari upaya kebangkitan peradaban Islam. Amiin. (Banjarmasin, 12 Mei 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *