JANGAN SALING CACI SESAMA KITA

Artikel ke-1.504
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam Khutbah Jumat di Masjid Andalusia, Sentul City, Bogor, (14/4/2023), saya sampaikan pesan Rasulullah saw, yang artinya: “Jika umatku sudah saling caci-maki satu sama lain, maka jatuhlah harga jual mereka di hadapan Allah!” (HR at-Tirmidzi).

Bulan Ramadhan merupakan bulan penyucian jiwa (tazkiyyatun nafs) yang sangat optimal. Sebulan penuh kita dilatih jiwa dan raga untuk merasakan denyut nadi kekurangan dan kelemahan diri kita. InsyaAllah, dari proses perjuangan jiwa ini akan lahir jiwa yang lebih bersih dan penyayang pada sesama.

Dari jiwa yang semakin sehat, akan lahir pula hikmah dan adab. Kita lebih memahami kondisi kita dan juga saudara-saudara kita lainnya. Tak mudah kita mencelanya. Jika ada perbedaan, upaya dialog dan saling sapa lebih dikedepankan.
Sesama muslim diwajibkan saling mengasihi, saling menasehati, bukan saling mencaci-maki. Para dai sering berkhutbah, menyampaikan hadits Nabi, bahwa tidak beriman seorang diantara kamu, sampai ia mencintai apa yang baik untuk dirinya, juga baik untuk saudaranya.

Katanya, sesama mukmin itu saudara, laksana satu tubuh. Jika saudaranya tertimpa musibah, ia ikut merasa sakit. Jika saudaranya senang, ia pun turut senang. Itulah indahnya persaudaraan dalam Islam. Bahkan, kita diajarkan doa yang indah, yang selalu mendoakan saudara-saudara kita yang telah wafat, dan semoga Allah menghilangkan perasaan dendam atau dengki kepada sesama Muslim.

Maka, patutlah kita prihatin, jika masih ada di sebagian daerah, adanya perpecahan dan saling jegal di antara sesama aktivis dakwah. Mungkin mereka beda kelompok atau jamaah, tetapi memiliki tujuan yang sama. Mungkin mereka punya manhaj yang berbeda dalam mencapai tujuan.

Padahal, jika sama-sama memahami, para aktivis dakwah dari berbagai kelompok itu sedang menghadapi tantangan yang sangat besar. Andaikan mereka bersatu pun, belum tentu mereka menang. Tantangan itu adalah gerakan sekulerisme dan materialisme global yang mendominasi hampir seluruh kehidupan kita.

Anak-anak kita yang sedang belajar di berbagai perguruan tinggi pun sedang menghadapi tantangan perusakan iman dan akhlak. Maraknya informasi yang mengajak kepada kekufuran dan kerusakan akhlak telah memberikan dampak besar kepada perilaku anak-anak muda muslim.

Semua itu memerlukan perhatian besar dari orang tua, guru, dan pemerintah. Memang, pada akhirnya, perjuangan Islam akan memetik kemenangan – dengan izin Allah – jika mereka mampu melakukan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas.

Tetapi, keikhlasan memerlukan dasar keimanan yang kokoh, keyakinan akan kehidupan akhirat yang sangat mendalam, dan juga latihan-latihan jiwa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Kita perlu keikhlasan dalam mengkritik dan juga sekaligus keikhlasan dalam menerima kritik. Dua hal itu tidaklah mudah. Sekali lagi, itu tidaklah mudah!

Tapi, kita tidak punya pilihan, jika ingin mendapatkan kemenangan dari Allah SWT. Rasa-rasanya pertolongan Allah tidak mungkin akan datang jika di dalam hati kita — para aktivis dakwah — masih diselimuti perasaan iri hati, dengki, kebencian, dan kesombongan. Di sinilah pentingnya latihan tazkiyyatun nafs (pensucian jiwa).

Kita pasti memiliki perbedaan dengan banyak pihak. Tetapi, perbedaan itu tidak sepatutnya menanamkan sikap kebencian pada sesama. Betapa indahnya jika antar jamaah atau kelompok mau saling menjaga silaturrahim, menanamkan sikap saling memahami perbedaan, tanpa menghilangkan budaya taushiyah dalam kehidupan mereka. Sikap kritis tidak harus berdampak pada saling benci dan dendam, sehingga untuk saling tukar senyum dan tegur sapa pun terasa mahal.

Itulah pentingnya puasa Ramadhan dan semua ibadah yang kita jalani di bulan mulia ini! Dan itulah sebenarnya tujuan hidup kita; bagaimana dengan ibadah yang kita lakukan, kita semakin dekat dengan Allah, semakin mencintai ajaran-ajaran Nabi-Nya, rindu untuk beramal shalih, dan menjauhi kemaksiatan dan kemunkaran, serta semakin merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan dunia.


Jika seorang pejuang Islam ingat akhirat, dia tidak akan bersikap tamak dan rakus dalam menumpuk kekayaan atau kejayaan kelompoknya; sebab di akhirat, yang dinilai oleh Allah bukan banyaknya jamaah. Yang dinilai adalah kebenaran dan keikhlasannya dalam berjuang.


Para pejuang yang ikhlas justru akan berpikir keras untuk menambah sebanyak-banyak pengikut, demi bermegah-megahan dan berbangga-bangga dengan banyaknya anggota, jika dengan iyu justru akan semakin memberatkan amanahnya di dunia, dan tanggung jawabnya di akhirat.

Ada kisah indah, seorang mahasiswa S-3 Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor, menceritakan hasil kunjungannya ke sebuah pesantren, dimana Sang Kyai menolak bantuan materi yang diberikannya, dengan alasan takut santrinya akan bertambah dan ia tidak mampu lagi mengajarnya!

Kisah semacam ini cukup langka. Tapi, bisa menjadi bahan introspeksi kita semua. Bahwa yang kita tuju sebenarnya keridhaan Allah, di dunia dan akhirat; bukan berbangga-bangga di dunia, apalagi dengan menebar kebencian pada sesama Muslim. Keridhaan Allah itulah yang mengantarkan kita pada hidup bahagia.

Mungkin, catatan Ramadhan kali ini terasa begitu indah dan utopis. Mudah ditulis dan diucapkan. Tapi, berat untuk dilaksanakan. Memang begitu adanya. Untuk meraih sorga perlu perjuangan berat. Kata Nabi, sorga diselimuti hal-hal yang tidak diskuai manusia.

Syukurlah kita diberi kesempatan menjalani ibadah Ramadhan. Semoga kita sukses meraih cita-cita utama menjadi insan bertaqwa dan meraih bahagia di dunia dan akhirat. Tak ada gunanya kita iri dengki pada sesama saudara kita. (Depok, 17 April 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *