Oleh M. Anwar Djaelani
Pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Di negeri ini, terutama di sekitar tanggal 2 Mei, masyarakat tampak antusias jika berbicara masalah pendidikan. Kemudian, hal yang sama terjadi lagi di sekitar Juni dan Juli, saat para orangtua banyak membicarakan tentang nasib atau kelanjutan pendidikan anak-anak mereka.
Di saat-saat seperti itu, telihat semangat para orangtua dalam mencarikan sekolah terbaik bagi putra-putrinya. Padahal, untuk keperluan itu, mereka harus banyak berkorban berupa tenaga, pikiran, dan —tentu saja— uang.
Investasi Berharga
Para orangtua itu sadar bahwa, pertama, mereka memang berkewajiban menyelematkan aqidah anak-anaknya, lewat pemberian pendidikan yang baik. Islam mengajarkan: ”Anak-anak itu terlahir suci. Orangtuanya-lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, dan Majusi”. Begitu juga, lihatlah nasihat atau ajaran Luqman ke anaknya: ”Duhai anakku, jangan sekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” Kedua, masa depan cerah sering lebih berpeluang dimiliki oleh anak-anak yang memiliki riwayat pendidikan terbaik.
Jika kesadaran orangtua sudah seperti dalam gambaran di atas, maka inilah awal yang baik bagi terwujudnya mutu kehidupan yang bermartabat. Perhatikanlah ayat ini: ”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).
Kita maklum, jika kemudian orangtua berusaha sekuat tenaga memilihkan pendidik dan Lembaga Pendidikan terbaik yang diyakini dapat menjadi katalisator tercapainya kondisi sebagai generasi yang shalih, cerdas, dan berakhlak mulia bagi anak-anak mereka. Orangtua yakin bahwa jika ”berinvestasi” sekarang dengan membelanjakan sebagian rizki dari Allah untuk biaya pendidikan anak-anaknya, ada harapan 20–30 tahun ke depan, benih yang ditanamnya itu akan berbuah manis.
Kita paham, dalam aktivitas hidup apa saja perlu pengorbanan, termasuk kala memberi pendidikan terbaik bagi anak-anak. Di dalam proses kependidikan, misalnya, dikenal sejumlah istilah yang terjemahnya terkait dengan pengeluaran uang. Misal, istilah ”Infaq untuk Pembangunan” atau ”Dana Pengembangan Gedung dan Perbaikan Fasilitas Sekolah”. Ada pula istilah ”Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP)”, dan lain-lain.
Agar keikhlasan tetap terjaga, di saat akan memberikan uang untuk biaya pendidikan anak-anak yang jumlahnya sering tak sedikit, ada baiknya uang itu ”ditahan” sejenak sambil melakukan perenungan: ”Uang ini rizki dari Allah setelah saya bekerja keras. Uang yang akan saya keluarkan ini relatif besar. Tap, mengingat ini untuk bekal anak saya dalam menata masa depannya, maka ’Bismillah’, semoga Allah memberkahi. Semoga bermafaat bagi anak saya dan sayapun mendapat ridha-Nya. Aamiin.”
Untuk apa segala pengorbanan itu kita lakukan? Agar kita dapat turut serta dalam gerakan menegakkan peradaban Islam yang agung. Untuk itu, sejenak kita buka sejarah. Terbaca bahwa peradaban Islam yang agung hanya akan terwujud jika gerakan itu dimulai —dan terus ditopang— oleh ilmu yaitu lewat proses pendidikan. Sementara, ilmu akan terus berkembang baik jika dibangun di atas tradisi membaca dan menulis yang kuat. Tradisi itulah yang bisa menjelaskan mengapa di tujuh abad pertama sejarah keislaman, umat Islam memimpin dunia ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.
Ada harapan, kita dapat juga memiliki catatan amaliyah laksana generasi awal umat Islam yang berprestasi gemilang lantaran ketat dalam menjaga tradisi keilmuan, yaitu tekun beraktivitas membaca dan menulis. Lihat saja, budaya itu mampu mengubah bangsa Arab yang jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu dan berakhlak mulia.
Tradisi membaca dan menulis, yang terutama berdasarkan kepada spirit QS Al-‘Alaq [96]: 1-5, begitu hidup di zaman Rasulullah Saw. Tiap ayat Al-Qur’an turun, Rasulullah Saw meminta kepada Sahabat seperti Zaid bin Tsabit Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, dan Sahabat-Sahabat lain untuk menuliskannya.
Ali bin Abi Thalib Ra —sebagaimana juga Abu Bakar Ra, Umar bin Khaththab Ra, Ibnu Abbas Ra, dan para Sahabat yang lain— lebih menyibukkan diri mencari ilmu, berdakwah, dan berjihad daripada mengumpulkan harta. Bahkan, Usman bin Affan Ra dan Abdurrahman bin Auf Ra —yang terkenal kaya— juga selalu ingin mendapat ilmu atau pendidikan langsung dari Rasulullah Saw.
Seperti diisyaratkan dalam QS Al-Mujaadilah [58]: 11, ilmu memang memiliki peran penting. Pemahaman seperti inilah yang insya-Allah bisa menjelaskan mengapa ada kisah berikut ini. Pernah, Ali bin Abi Thalib Ra ditanya tentang mana yang lebih mulia, ilmu atau harta. Ali bin Abi Thalib Ra menjawab, bahwa lebih mulia ilmu. Alasannya, sebagai berikut: 1).Ilmu menjaga kita, sementara kitalah yang harus menjaga harta. 2).Ilmu jika kita berikan ke pihak lain justru akan membuat kita lebih kaya ilmu, sementara harta akan berkurang jika kita berikan ke pihak lain. 3).Ilmu itu menjadikan kita bersatu, sementara harta bisa membuat kita berpecah-belah. 4).Ilmu itu warisan para Nabi, sementara harta warisan Fir’aun dan Qarun.
Kita harus bisa mewarisi semangat Ali bin Abi Thalib Ra (dan para Sahabat lainnya) serta generasi pelanjut Rasulullah Saw yang istiqomah mengembangkan ilmu dan peradaban lewat jalur pendidikan. Hal itu dapat dimulai dengan menguatkan tradisi membaca dan menulis. Yakini bahwa ilmu pengetahuan akan maju dan lalu berkontribusi positif bagi tegaknya peradaban Islam yang agung, hanya akan terjadi jika aktivitas membaca dan menulis telah menjadi keseharian umat Islam.
Spirit Mulia
Alhasil, mari, arahkan anak-anak untuk memilih pendidik dan Lembaga Pendidikan yang menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai identitas terkuat layanan kependidikan mereka. Semoga dengan cara itu, kita bisa menyiapkan anak-anak untuk bisa turut mengukir peradaban Islam yang agung, yang menebarkan rahmat bagi semesta raya. []
Admin: Sudono Syueb