Artikel ke-1.517
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah
Dewandakwahjatim.com, Depok - Hari Ahad (30/4/2023) kami ditinggal oleh seorang guru pejuang yang sangat senior. Namanya Hardi Muhammad Arifin. Umurnya 84 tahun. Namanya tidak banyak dikenal. Tetapi, sejatinya ia seorang pejuang sejak muda sampai akhir hayatnya; seorang pejuang dalam senyap.
Namanya tak dikenal di media massa. Di hari wafatnya, justru ucapan belasungkawa datang dari Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim. “Terima khabar duka dari negara jiran bahawa Bapak Haji Hardi M. Arifin telah wafat hari ini,” kata Anwar Ibrahim, seperti yang saya terima dari Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
“Almarhum Pak Hardi yang saya kenali merupakan pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama Pak Natsir serta terlibat dalam mengasaskan Universitas Ibnu Khaldun, Bogor,” tambahnya.
Sampai wafatnya, Pak Hardi Arifin – begitu kami biasa memanggil beliau – adalah pembina di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Ketua Pembina Yayasan Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Yayasan Rumah Sakit Islam Bogor.
Saya sempat mengikuti shalat jenazah di Masjid Al Hijri II, komplek Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dan mengantarkan jenazahnya ke komplek pemakaman Pesantren Darul Fallah, Ciampea, Bogor. Bertindak sebagai imam adalah KH Didin Hafidhuddin.
Dalam sambutannya, KH A. Cholil Ridwan memberikan kesaksiannya, bahwa Pak Hardi adalah seorang pejuang yang gigih sampai akhir hayatnya. Kyai Cholil mengaku pernah menjadi murid Pak Hardi, saat aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Di kalangan aktivis dakwah, Pak Hardi dikenal sebagai “arsip berjalan”. Beliau adalah orang yang tekun mendokumentasi peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah. Beliau banyak dipercaya oleh Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada pihak-pihak tertentu.
Bagi saya pribadi, Pak Hardi Arifin adalah guru dakwah dan politik sejak tahun pertama kuliah di IPB, tahun 1984. Ketika itu hubungan antara umat Islam dan pemerintah Orde Baru berada dalam fase antagonis. Kebijakan de-Islamisasi, sekulerisasi, dan depolitisiasi Islam dipaksakan.
Tahun 1978, MPR mengeluarkan ketetapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penataran P4 menjadi program indoktrinasi bagi seluruh warga negara. Di awal masa kuliah, saya harus mengikuti Penataran P4 selama 100 jam.
Muncullah aksi-aksi protes dari para tokoh umat Islam. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melakukan aksi walkout, menolak ketetapan MPR tentang P4 dan pengesahan Aliran Kepercayaan.
Orde Baru memaksa partai politik dan organisasi massa Islam untuk meninggalkan asas Islam. Ormas-ormas Islam resah. Beberapa Ormas memilih bubar daripada membuang asas Islam. Pelajar Islam Indonesia (PII) menolak mengubah asas Islamnya, dan akhirnya dibubarkan. HMI pecah dua. Sejumlah organisasi Islam menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah tersebut.
Dalam situasi seperti itu, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia – khususnya Mohammad Natsir – menjadi rujukan penting dalam memahami situasi dan mengambil langkah-langkah dakwah di kampus. Sebab media massa berada dalam kendali pemerintah. Sangat sulit mencari informasi yang memadai tentang perkembangan politik dan keislaman secara nasional.
Di tahun 1984 itu pula terjadi peristiwa “Tanjung Priok”. Ratusan umat Islam diduga menjadi korban – baik tewas maupun luka-luka — dalam peristiwa tersebut. Tetapi ketika itu, sumber informasi media hanya berasal dari pemerintah, dan umat Islam sulit mempercayainya.
Di masa-masa seperti itulah sosok-sosok seperti Pak Hardi Arifin menjadi sumber informasi dan rujukan kami. Biasanya kami mendatangi rumah beliau di malam hari, dan selama berjam-jam mendengarkan berbagai informasi penting dari “Jakarta”. Rumah Pak Hardi di Bogor menjadi tujuan para aktivis untuk mendapat informasi penting dan aktual.
Tak hanya itu. Pak Hardi juga memberikan penjelasan tentang sejarah. Misalnya, menjelaskan sejarah NII dan gerakannya di kampus. Ketika itu ada beberapa mahasiswa yang “terjebak” dalam pemikiran “takfiri”. Ada mahasiswa yang menikah tanpa memberitahukan orang tuanya. Sebab, orang tuanya dianggap belum “bersyahadat” secara resmi di depan imam jamaahnya. Jadi, syahadatnya dianggap belum sah.
Pak Hardi Arifin bisa menjelaskan kepada kami siapa-siapa saja tokoh kelompok seperti itu, dan meminta kami tidak terjebak di dalamnya. Informasi-informasi semacam itu menjadi panduan penting bagi aktivis dakwah di kampus. Sebagai “orang dekat Pak Natsir”, Pak Hardi menjadi penyambung lidah dan pemikiran Pak Natsir.
Demikianlah, Allah memberikan kesempatan kepada Sang Guru Pejuang, Pak Hardi Arifin, untuk membimbing kami, selama puluhan tahun. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya. Aamiin. (Depok, 30 April 2023).
Admin: Sudono Syueb