MEMAHAMI KEMBALI GAGASAN ”THEISTIC DEMOCRACY” MOHAMMAD NATSIR

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Depok – Beberapa hari lalu, di bulan Ramadhan 1444 H, saya kedatangan tamu seorang aktivis dakwah. Kami berbincang tentang berbagai hal. Salah satunya menyinggung pemikiran Mohammad Natsir tentang demokrasi. Sang tamu itu menilai, bahwa Mohammad Natsir adalah seorang penganut paham sekuler yang setengah-setengah, sehingga kalah melawan tokoh-tokoh yang sekulernya total, tidak setengah-setengah.

Tentu saja saya terkejut dengan pandangan tamu tersebut. Padangan itu jelas tidak didasari dengan satu kajian yang mendalam, tetapi hanya merupakan hasil pengamatan atau mungkin pendengaran yang sekilas. Ternyata, ia pun belum membaca pidato Mohammad Natsir yang mengritik sekulerisme secara komprehensif, di Majelis Konstituante, pada 12 Nobember 1957.

Dalam pidatonya di Majlis Konstituante itu, Mohammad Natsir mengkritik sistem pemerintahan sekuler dan juga pemerintahan teokratis.
”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” (Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).

Partai Islam Masyumi ketika itu juga menegaskan dalam anggaran dasarnya, bahwa tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di Indonesia: “Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Pasal III).
Gagasan dan perjuangan Mohammad Natsir dan para ulama serta tokoh Islam di Indonesia di Majelis Konstituante itu merupakan gagasan dan perjuangan yang idealis dan sekaligus realistis. Sebab, dakwah bukan berangan-angan. Tapi, dakwah harus dirumuskan tujuan dan langkahnya berdasarkan kondisi riil, dan tujuan umum dari diutusnya Rasulullah saw, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang rahmatan lil-alamin.
Ketika itu para ulama dan tokoh Islam Indonesia sudah bersepakat untuk menerima sistem demokrasi dan mekanisme perumusan dasar negara dan pergantian kekuasaan ditentukan melalui jalan pemilihan umum. Sistem inilah yang berlaku dan diterima oleh bangsa Indonesia, setelah merdeka dari penjajah.

Sebelumnya, para tokoh Islam di BPUPK, sudah mengajukan gagasan negara ideal menurut ajaran Islam. Tetapi, gagasan itu tidak diterima oleh sebagian besar anggota BPUPK. Maka, atas inisiatif Bung Karno, dirumuskanlah gagasan kompromi maksimal, berupa Piagam Jakarta.
Pada dasarnya, Piagam Jakarta adalah konsep kompromi dan otonomi ideologis, khususnya untuk umat Islam. Sebagai perwujudannya, umat Islam Indonesia diberi otonomi untuk menjalankan pendidikan Islam, ekonomi Islam, sistem peradilan Islam, dan lain-lain.
Mohammad Natsir memiliki pemikiran kenegaraan ideal, sebagaimana diajarkan dalam Islam. Tetapi, ia pun memahami kondisi faktual masyarakat dan khususnya elite bangsa yang belum menerima ajaran-ajaran Islam. Jumlah mereka ini tidak sedikit. Terbukti, jumlah anggota Konstituante dari seluruh partai Islam, sekitar 44 persen.

Para tokoh Islam ketika itu sangat paham bahwa sistem demokrasi memang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran Islam. Karena itulah muncul gagasan “demokrasi Islam”. Yakni, mengupayakan agar konsep-konsep kenegaraan yang tidak sejalan dengan Islam, dilakukan proses Islamisasi.
Proses Islamisasi semacam ini kini sudah berlaku dalam bidang pendidikan dan ekonomi Misalnya, ada istilah sekolah Islam, universitas Islam, dan sebagainya. Dalam bidang ekonomi dikenal istilah: bank Islam, asuransi Islam, pasar modal syariah, dan sebagainya.

Sebuah analisis yang serupa dengan pemikiran Mohammad Natsir diberikan oleh Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, pakar hukum Islam, melalui bukunya yang berjudul, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Buku ini ditulisnya tahun 1969. Menurut Prof. Hasbi, antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan. Tapi, tulisnya, “segi-segi perbedaan, lebih banyak daripada segi-segi persamaan.”

Diantara perbedaan konsep demokrasi dan Islam, menurut Prof. Hasbi adalah tujuan bernegara. Dalam demokrasi ala Barat, baik yang modern, ataupun demokrasi kuno, tujuan bernegara sebatas pada maksud keduniaan, atau tujuan material belaka. Tujuannya hanya mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi.
Ini berbeda dengan tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah itu, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan akhirat.”

Contoh perbedaan lain, misalnya, tentang konsep kekuasaan rakyat. Dalam demokrasi Barat kekuasaan atau kedaulatan rakyat bersifat mutlak. Di Barat, rakyat yang menentukan dan membuat Undang-undang. Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada al-Quran dan Sunnah.

Karena perbedaan-perbedaan antara konsep Islam dengan konsep demokrasi Barat, Prof. Hasbi menyebutkan, bahwa konsep Islam itu tidak sama dengan sistem teokrasi di zaman pertengahan Eropa, yang menjadikan Paus (wakil Tuhan) sebagai pemegang otoritas tunggal keabsahan suatu pemerintahan; tidak sama pula dengan sistem demokrasi Barat yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan mutlak, yang menafikan kedaulatan Tuhan. Karena itulah, Prof. Hasbi juga mengajukan konsep “Demokrasi Islam”.

Jadi, jika ditinjau dalam perspektif Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer, gagasan “demokrasi Islam” atau “theistic democracy” adalah gagasan yang benar, tepat, dan praktis. Dengan konsep inilah dakwah Islam di berbagai bidang dapat diperjuangkan secara konseptual dan berkesinambungan.

Jadi, tidak benar, bahwa Mohammad Natsir adalah seorang sekuler yang tanggung. Sampai menjelang akhir hayatnya, Mohammad Natsir tetap mengingatkan bahaya sekulerisme yang disebutnya sebagai paham “la-diniyah” – paham yang menolak agama.

Sekulerisme itu bukan hanya dipraktikkan dalam tataran kemasyarakatan dan kenegaraan, tetapi yang justru sangat berbahaya adalah sekulerisme dalam pikiran seseorang. Seorang menjadi sekuler ketika ia membuang dimensi Ilahiyah dan dimensi ukhrawiyah dalam memandang realitas.
Sekulerisme dalam tataran pemikiran ini pun sudah dikritik tajam oleh Mohammad Natsir. Jadi, sangat keliru jika Mohammad Natsir disebut sebagai seorang sekuler yang tanggung. Semoga akan semakin banyak para ilmuwan muda yang mengkaji gagasan-gagasan penting Mohammad Natsir dalam tataran kenegaraan dan penerapannya di Indonesia. Aamiin. (Depok, 20 April 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *