Artikel ke-1.514
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah
Dewandakwahjatim.com, Depok – Sejak kasus pamer kekayaan yang dilakukan seorang pejabat Kantor Pajak mencuat, kemudian kasus-demi kasus bermunculan, satu demi satu. Terakhir, seorang polisi di Medan berpangkat AKBP ditahan dan dibebastugaskan. Kasusnya juga terkait dengan penganiayaan yang dilakukan anaknya dan kepemilikan harta yang tidak wajar.
Kedua kasus itu sedang ditangani aparat penegak hukum (APH). Tapi, masyarakat paham, bahwa gaya hidup hedon yang dipertontonkan oleh sebagian pejabat negara, sebenarnya sudah hal biasa. Bahkan, jika ditelusuri dengan jujur, tidak sedikit yang sejak awal berebut menjadi aparatur sipil negara (ASN) sudah berharap bisa hidup kaya dengan berbagai cara. Jika perlu menyuap.
Itu tuntutan dan gaya hidup. Yang menyedihkan, masalah korupsi bukanlah hal yang dibenci oleh masyarakat secara luas. Budaya materialisme dan hedonisme yang melanda masyarakat telah mendorong banyak orang melakukan berbagai aktivitas yang tidak benar, demi meraih harta. Sebab, keluarga dan masyarakat, biasanya akan menghargai anggota keluarganya yang berharta.
Pendidikan dianggap sukses jika berhasil menghasilkan lulusan yang berhasil menduduki jabatan tinggi atau menghasilkan harta yang berlimpah. Para asesor yang melakukan visitasi ke kampus-kampus bertanya kepada sejumlah lulusan suatu jurusan atau program studi: “Berapa lama masa tunggu sejak lulus sampai dapat pekerjaan!”
Pemeringkatan perguruan tinggi didasarkan semata-mata urusan managerial dan industrial, serta tidak dikaitkan dengan prestasi dosen dan mahasiswa dalam soal akhlak. Jangan heran, jika peringkat suatu universitas tetap tinggi, meskipun rektor dan sejumlah pejabat kampusnya ditangkap KPK, karena menerima suap penerimaan mahasiswa baru. Ini terjadi di sebuah kampus negeri (PTN).
Menyedihkan sebenarnya. Para orang tua pun mungkin tidak peduli bahwa anak-anaknya berlomba-lomba memasuki bangku kuliah yang sejumlah dosennya terlibat korupsi atau penyebaran paham yang menyesatkan. Yang penting kuliah di tempat yang dianggap bergengsi.
Jika soal akhlak tak dipandang penting dalam kehidupan dunia akademik Perguruan Tinggi, maka tak perlu heran jika akan terjadi kondisi yang lebih parah di berbagai bidang kehidupan. Jangan heran, jika dunia politik dan ekonomi pun didominasi praktik-praktik yang tidak wajar secara moral.
Beberapa tahun lalu, kita dikejutkan dengan kasus korupsi yang dilakukan seorang menteri. Sang menteri dikenai sangkaan pidana yang sangat menjijikkan. Yaitu, mengkorup dana bantuan sosial (Bansos). Nilainya fantastis. Barang bukti yang disita KPK uang sekitar Rp 14,5 milyar, disimpan dalam 7 koper dan tas ransel.
Tampaknya, fenomena korupsi di Indonesia saat ini mirip penyebaran “vampir” di tengah masyarakat. Korban gigitan vampir terus bertambah. Sekilas, mereka seperti manusia biasa. Tapi, tubuhnya senantiasa haus darah, dan mencari korban-korban berikutnya. Uniknya, para vampir itu juga berkampanye agar masyarakat berhati-hati dari serangan vampir. Kalau sudah seperti ini, memang tidak mudah mengatasinya. Bahkan, mungkin ada yang sudah berputus asa, sebab korupsi dianggap hal biasa.
Akar masalah korupsi adalah jiwa manusia yang sakit. Orang korupsi itu memang sakit jiwanya. Apalagi, yang korupsi sampai bermilyar-milyar rupiah. Bagaimana tidak sakit jiwa! Harta sebanyak itu pun tidak dia nikmati, di dunia ini. Ia hanya menyimpan hartanya, seolah-olah ia memilikinya. Setelah ia mati, harta hasil korupsi itu akan menjadi ajang rebutan anak-anak dan istrinya.
Dari dua kasus penganiyaan yang dilakukan anak-anak, tampak ada keterkaitan dengan kekayaan orang tua dengan perilaku anak-anaknya. Pergaulan bebas anak-anak dengan pacar-pacarnya didukung oleh fasilitas mewah yang diberikan oleh orang tua mereka.
Cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pemujaan yang berlebihan terhadap harta, tahta, kecantikan, dan popularitas akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehancuran. Padahal, dunia adalah kesenangan yang menipu. Pemujaan yang berlebihan terhadap “kekuasaan” berdampak pada penggunaan segala cara untuk meraih kuasa. Tak peduli dosa dan balasan di hari akhirat nanti.
Lihat saja, saat ini, berbagai media sosial mulai dibanjiri dengan aneka tayangan yang menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Apa yang dikatakan Machiaveli menjadi kenyataan. Bahwa, siapa saja yang mau mempertahankan kekuasaan atau meraih kuasa, maka harus melakukan tindakan apa saja yang dianggap perlu, meskipun itu merupakan perbuatan jahat.
Untuk mencegah korupsi secara mendasar, maka perlu dilakukan pendidikan akhlak mulia, sedini mungkin. Khususnya, dari rumah. Al-Quran mengajarkan, agar orang tua menanamkan sikap cinta kebenaran dan benci kejahatan, kepada anak-anaknya sejak dini. (QS Luqman: 17). Sejak di rumah, anak-anak harus dididik menjadi pejuang amar ma’ruf nahi munkar. Korupsi, kecurangan, kezalian, adalah kemunkaran yang harus dibenci, dijauhi dan diberantas.
Jika generasi saat ini tampak begitu berat dalam memberantas korupsi, kita berharap, dengan pendidikan yang benar, akan lahir satu generasi ke depan yang membenci korupsi sejak dini. Semoga Allah mudahkan! (Depok 27 April 2023)
Admin: Sudono Syueb