ISLAMOFOBIA MEMASUKI FASE BARU

Oleh: Ust. Bagus Masyroni
Bidang Pemikiran lslam, Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – lslamofobia adalah suatu fobia atau ketakutan, prasangka terhadap muslim secara umum, terutama dipandang dari sudut pandang Islamisasi dan sumber terorisme. Dalam perkembangannya Islamofobia telah berubah menjadi kebencian terhadap Muslim (Hatred of Islam).

Islamofobia terus menyebar secara masif dan merangsek ke dunia global. Telah terdokumentasi dengan baik bahwa Islamofobia sudah menjadi posisi ideologis utama yang mempengaruhi kebijakan domestik dan internasional negara-negara barat beserta sekutu mereka, serta menggiring persepsi negatif yang menyesatkan terhadap Islam dan para pemeluknya.
Menurut Alain Gabon, seorang pemerhati Islam dari Univeritas Virgina Wesleyan Amerika Serikat, bahwa Islamobia saat ini telah memasuki fase baru yang dikenal dengan fase Islamofobia Ilmiah (Scientific Islamophobia) yang ditandai dengan peningkatan secara dramatis munculnya berbagai strategi untuk menyebarkan kefanatikan anti-Islam ke seluruh penjuru dunia. Bukti-bukti itu dapat ditemukan di berbagai media, dari data resmi dan independen, data-data LSM, kesaksian pribadi, serta penelitian akademis yang berlimpah selama 3 dekade terakhir.

Islamofobia di dunia Barat, khususnya yang memiliki akar sejarah sangat dalam, sebagian komentator mengatakan bahwa Islamofobia bermula dari kekalahan perang salib dan kesukaran dalam penaklukan-penaklukan kolonial terhadap negara muslim. Sementara para peneliti yang lain mengatakan Islamofobia berawal dari ketakutan masyarakat barat terhadap populasi muslim yang meningkat pesat dari waktu ke waktu.
Ketakutan ini terwariskan selama berabad-abad dan mengakar menjadi fobia dalam masyarakat barat saat ini. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, fobia terhadap Islam dan umat Islam, serta ketidakpercayaan terhadap umat Islam, pada akhirnya berubah menjadi kebencian yang fundamental terhadap Islam itu sendiri. Permusuhan ini semakin parah dipicu oleh serangan 9/11, kebangkitan kelompok militan seperti ISIS, dan juga serangan teror yang dilakukan oleh beberapa oknum yang mengaku kelompok Islam di berbagai tempat di beberapa negara.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa Islamofobia yang terjadi saat ini adalah dampak dari propaganda “War on Terror” yang dipromosikan secara global dan simultan oleh Bush Jr yang pada gilirannya membawa implikasi buruk terhadap muslim, khususnya yang menyangkut kebijakan domestik dan internasional Amerika Serikat dan negara barat lainnya yang sejak awal menyimpan dendam kesumat terhadap Islam.

Narasi “Kontra-radikalisasi”, “Deradikalisasi”, “Kontra Ekstrimisme”, “Katakan tidak pada Fanatisme” (Say No to Fanaticism) segera bertebaran sporadis di seluruh penjuru dunia dan tanpa kecuali menjalar pula ke negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang memiliki ketergantungan ekonomi dan politik kepada barat.

Lebih dari 2 dekade kemudian teori “Benturan Peradaban” (Clash of Civilization), teori “Penggantian Besar” (Great Replacement), dan EURABIA pada akhirnya menjadi agenda / tema utama yang terus digembar-gemborkan secara bombastis. Sehingga tidak mengherankan jika pada perkembangannya fase baru Islamofobia bergerak mengalahkan isu diskriminasi, yang termanifestasikan dengan adanya negara-negara yang melakukan penganiayaan secara langsung terhadap Muslim, tanpa kecuali meskipun muslim itu adalah warga negaranya sendiri. Lonjakan Islamofobia ini tidak dapat dilepaskan dari “tangan” negara barat, bahkan negara barat yang paling moderat sekalipun,yang konon katanya menganut asas terbuka, toleran, multikultural, demokratis, dan bahkan yang paling memuja liberalism.

FASE BARU ISLAMOFOBIA

Belakangan ini Islamofobia telah memasuki fase baru yang dicirikan oleh 3 proses :

  1. Konvergensi dan Kristalisasi : Pemerintah, partai politik, gerakan dan kekuatan Islamo-paranoid, media massa besar, yang semula bergerak “diam-diam” dan sendiri-sendiri kini bersatu dan bekerja secara terang-terangan mempropagandakan Islamofobia.
  2. Perluasan horizontal / geografis. Propaganda Islamofobia yang terus-menerus disebarluaskan dengan berbagai cara, dilakukan dengan sangat masif melampaui batas wilayah sebuah negara, menyebar ke wilayah / negara yang paling terpencil sekalipun.
  3. Intensifikasi / penetrasi vertikal : Penetrasi negatif Islamofobia secara intensif dan massif yang menyasar ke lebih banyak bidang kehidupan, tanpa kecuali ranah sosial yang paling inti (keluarga), institusi pendidkan (sekolah & peruruan tinggi), termasuk kebebasan berkeyakinan, dll.

Salah satu contoh adalah kebijakan bersama antara Perancis, Mesir, dan negara-negara teluk tentang “Islamisme” dan kriminalisasi Ikhwanul Muslimin. Narasi kengerian tentang Islamisme dan Ikhwanul Muslimin direproduksi di negara-negara tersebut dan digunakan untuk mengikis fanatisme terhadap Islam. Implikasinya adalah terbelah dan tercabik-cabiknya umat Islam menjadi golongan-golongan kecil yang tak punya kekuatan dan tak punya posisi tawar.

BEBERAPA STRATEGI POPULER ISLAMOFOBIA

Dampak buruk dari merebaknya virus Islamofobia tak terbantahkan lagi. Untuk itu sangat penting untuk mengidentifikasi strategi para pengusung Islamofobia untuk lebih memahami dan mereduksi fenomena ini. Meskipun terlalu banyak untuk dibahas secara lengkap, berikut ini adalah beberapa strategi populer dalam mempropagandakan Islamofobia.

  1. Menjadikan Muslim sebagai Tantangan & Muslim sebagai Problem. Strategi utama Islamofobia adalah pembangunan narasi “Hantu Islam” (Bogeyman Islam) yang imajiner dan esensial, dimana media massa, para politisi, intelektual publik terkemuka, bahkan artis-artis besar (termasuk dari dunia arab yang mayoritas muslim) menampilkan Islam dan Muslim sebagai sebuah problem besar atau ancaman yang benar-benar eksis. Persepsi bahwa Islam menentang demokrasi, Islam anti pluralitas, Islam berbenturan dengan budaya, Islam anti peradaban barat, dsb terus-menerus digaungkan demi mendegradasi Islam. Hasilnya adalah kehadiran Islam dan orang Muslim ke negara barat dan negara-negara lain menciptakan suasana ketakutan dan ketidakpercayaan yang permanen terhadap Islam dan komunitasnya. Hal ini dilanggengkan lewat kreasi tanpa henti, rekayasa-rekayasa palsu yang kontinyu, atau “bahaya Islam” yang terus dibesar-besarkan secara dramatis seolah-olah Islam hendak mengancam peradaban dan kebebasan.

2, Patologi Konspirasi terhadap Normalitas Islam. Di sini fenomena yang sangat lumrah dan normal seperti pakaian Islami di jalan-jalan, masjid yang dibangun di samping gereja Katolik, atribut jenggot dan kebiasaan berbaju gamis, dsb akan dianggap sebagai “penyakit” yang sangat mengganggu. Semua pemandangan islami yang tampak lumrah itu akan dinarasikan sebagai provokasi Islam atau gerakan “jihadisme diam-diam”, gerakan terselubung “Islamisasi Eropa”, dan pada akhirnya akan dianggap sebagai proyek ideologis penaklukan eropa oleh Islam –untuk mengganti sistem demokrasi Eropa / Barat dengan sistem kekhalifahan yang luas.
Bahkan aktifitas budaya yang normal dan tidak berbahaya, seperti peresmian masjid, pembukaan toko buku Islam, pembukaan toko daging halal di lingkungan non muslim pada akhirnya akan dianggap sebagai bukti invasi terstruktur dan terencana oleh Islam melalui pembangunan “Ekosistem Islam”.

  1. Sekuritisasi Islam & Muslim. Narasi Islamofobia imajiner menimbulkan konsekuensi politik yang sangat serius. Jocelyne Cesari menyebutkan bahwa Sekuritisasi Muslim adalah tindakan politik yang luar biasa represif, dimana Umat Islam mengalami pembatasan sosial sangat ketat yang bahkan melibatkan aparat militer, polisi, dan aparatur sipil negara lainnya. Bukan sesuatu yang mengherankan jika sekuritisasi Islam ini pada prakteknya menyasar kepada kegiatan keagamaan umat Islam dan terutama pengawasan secara sistematis terhadap masjid-masjid. Semua itu berangkat dari persepsi Islam sebagai ancaman yang pada gilirannya mendorong penguasa lokal dan pusat untuk memperlakukan Islam dan penganutnya sebagai suatu populasi beresiko tinggi yang butuh pengawasan dan disiplin ketat.
  2. Keadaan Pengecualian (Etat D’exeption). Keadaan pengecualian yang melucuti hak-hak fundamental pemeluk Islam dengan dalih keamanan nasional, telah menjalar ke setiap aspek kehidupan dan tak bisa dielakkan mempengaruhi komunitas lainnya juga, sehingga pada akhirnya pembentukan kebijakan publik, kehidupan berbudaya, aktifitas akademik dan intelektual selalu dibarengi kecurigaan terhadap Islam.
  3. Persenjataan Prinsip-prinsip Demokrasi. Kelompok Islamofobia mempersenjatai dirinya dengan persepsi “Islam menentang Demokrasi”. Cara ini cukup efektif untuk mendiskreditkan Islam.

Untuk menutupi kekeliruan dan kebohongan nyata dari Islamofobia ini, para anti-islam sering berpura-pura berpihak kepada Islam dengan cara yang bermacam-macam, beberapa di antaranya adalah seringnya kunjungan ke masjid-masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, kunjungan kepada pemuka agama Islam, dsb, dengan mencitrakan empati terhadap Islam dan muslim. Cara ini sedikit berbeda dengan metode yang digunakan oleh kelompok anti Islam barat yang getol menyebarkan kelemahan dan keburukan rezim politik barat yang secara rutin mendiskriminasi umat Islam, sehingga beberapa orang Islam yang terpengaruh akan melakukan tindakan perlawanan terhadap pemerintah.

  1. Legalisasi Islamofobia. Prasangka dan stereotip Islamofobia semakin dikodikasi dan termanifestasi ke dalam hukum yang represif. UU Perancis tahun 2004 yang melarang pakaian / atribut keagamaan (Islami) di sekolah umum atau RUU “Separatisme Anti Islam” baru-baru ini, atau UU Penguatan prinsip republic berfungsi lagi di sini sebagai prototip dan model untuk negara-negara lain seperti Kanada, Swiss, atau Belgia.
  2. Menarasikan Islam sebagai pelopor radikalisme / ekstrimisme, kilafahisme, dan pengusung fanatik politik identitas.
  3. Membagi & Menghukum. Strategi memecah Muslim menjadi 2 Kelompok : Muslim yang baik vs Muslim yang buruk. Kelompok yang loyal kepada pemerintah, yang moderat, yang pasif dan menunjukkan kepatuhan besar kepada pemerintah, mereka itulah “Muslim yang baik” dan “Sah”. Kelompok pertama ini pada akhirnya akan diarahkan untuk menyerang kelompok Islam lain yang kritis terhadap pemerintah, yang lantang menyuarakan keadilan hukum, ekonomi, dan tentu saja politik. Kelompok kedua ini dinisbatkan sebagai “Muslim yang buruk” dan diberi label “radikal”, “ekstremis”, “fundamentalis”, “Islamis’. Organisasi mereka dilarang dengan dalih palsu, dan pemimpin serta panutan mereka dihukum serta dianiaya secara semena-mena.. Fakta-fakta di lapangan bicara bahwa justru pelabelan radikal, anti-toleransi, anti-pluralitas, jihadis, dll justru lebih banyak dipropagandakan oleh “kelompok Muslim yang baik” ketimbang pemerintah maupun kalangan Non Muslim.
  4. Hukuman yang Keras (Hard Power). Jika tidak ada satupun dari metode Islamofobia tersebut berhasil, maka pemerintah terbukti bersedia menggunakan bentuk kontrol, represi, disiplin, dan hukuman yang keras yang sering dikenal sebagai “Hard Power” terhadap kelompok Islam atau individu yang ingin mempraktekkan nilai-nilai Islami secara sungguh-sungguh.
  5. Hukuman Kolektif. Tiap kali ada serangan “Jihadis” yang dilakukan oleh individu di suatu tempat di manapun saja, kejadian itu akan dikait-kaitkan dengan Islam, dan semua Muslim akan dimintai pertanggungjawaban dan Muslim akan diminta (disuruh) untuk mengecamnya secara keras di muka umum.

Apa yang terjadi dengan Islamofobia saat ini sejatinya adalah manajemen neo-kolonial terhadap Islam dan muslim yang makin mengglobal. Tidak pernah terjadi Hukuman Kolektif untuk komunitas agama lain yang melakukan tindakan teror maupun genosida yang dilatari oleh sentimen rasis.

Mengingat logika ini tidak mengherankan bahwa masjid-masjid yang memiliki ribuan jamaah atau organisasi massa yang berafiliasi Islam yang memiliki ribuan pendukung dapat ditutup hanya melalui keputusan eksekutif semata-mata hanya karena 1 orang oknum pelaku anarki / teror yang bahkan tidak terkait dengan masjid atau organisasi Islam itu sendiri.

STANDAR GANDA.

Dampak dari Islamofobia ini, ada beberapa negara yang berupaya menundukkan Islam dengan kebijakan standar ganda. Salah satunya adalah Perancis dengan presidennya Emanuel Macron beserta mendagrinya Gerald Darmanin. Pada tahun 2021 mereka melansir Piagam prinsip Islam Perancis, yang tujuannya adalah untuk mengatur dan menentukan struktur representasi muslim di Perancis & fungsi internal masjid. Tapi dalam prakteknya piagam itu bahkan menyasar kepada akidah dan teologi Islam. Ketika Macron dan Darmanin mencoba untuk memaksa para pemimpin muslim, organisasi Islam, dan Imam-imam masjid di Perancis untuk menandatangani piagam ini, mereka (Macron & Darmanin) secara terbuka mengancam akan menindak tegas siapapun yang menolaknya. Hanya Islam dan muslim yang diperlakukan keras seperti itu, dan ini tidak berlaku untuk golongan lain seperti Katolik, Yudaisme, Kristen, atau golongan agama lainnya. Islam benar-benar dianggap sebagai momok dan ancaman serius, oleh karenanya harus “dikendalikan” dan “diamankan”, termasuk oleh para muslim yang telah “direformasi” sesuai selera mereka.

Sumber Pustaka : How Islamophobia Has Entered a New Phase Using 10 Strategies (Alain Gabon) & Sumber lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *