MASALAH YERUSALEM, AS DAN ISRAEL MAKIN TERPOJOK,
TAPI MASIH BANDEL

Artikel ke- 1.401
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah


Dewandakwahjatim.com, Depok - lnilah bukti bahwa AS (Amerika Serikat) tidak konsisten dengan pemikiran demokrasi yang digembar-gemborkannya.  Dan inilah bukti, betapa tidak adilnya sistem yang berlaku di PBB.  Situs Kompas.com (22/12/2022) memuat berita berjudul: “Voting di Majelis Umum PBB soal Yerusalem, 128 Negara Menentang AS.”

Disebutkan, bahwa pemungutan suara (voting) di sidang darurat Majelis Umum PBB, Kamis (21/12/2017), meraih hasil 128 negara menentang langkah Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hanya sembilan negara yang mendukung langkah AS itu dan 35 abstain. 

Kantor berita AFP menyebutkan, negara yang sama sikapnya dengan AS dan Israel adalah: Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall. Sedangkan negara-negara yang menyatakan abstain antara lain Filipina, Rumania, Rwanda, Australia, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, dan Meksiko.


Mayoritas negara anggota PBB dalam sidang darurat Majelis Umum ini menuntut semua negara mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem. Resolusi sebagai hasil pemungutan suara ini pun menyatakan “penyesalan mendalam” atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem. Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa status final Yerusalem hanya dapat diselesaikan melalui pembicaraan langsung antara Palestina dan Israel sebagaimana disepakati dalam sejumlah resolusi PBB sebelumnya.


Pemungutan suara di Majelis Umum PBB ini digelar setelah AS pada Senin (18/12/2017) menggunakan hak veto untuk menolak rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta negara itu membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dari 15 Anggota Dewan Keamanan, hanya AS yang menentang rancangan resolusi di sidang Dewan Keamanan PBB itu.


Meskipun didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena AS menggunakan hak vetonya. Adapun pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinyatakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (6/12/2017) dan langsung mendapat penolakan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Resolusi tersebut juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional seperti jika resolusi dikeluarkan Dewan Keamanan PBB. Namun, resolusi Dewan Keamanan PBB yang terbit pada 1980 terkait larangan bagi setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut.


Meskipun mendapat dukungan minoritas negara anggota PBB, AS mengaku tetap akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem. “Amerika akan menempatkan kedutaan kami (di Israel) di Yerusalem…. Tidak ada resolusi di PBB yang akan membuat perbedaan dalam hal itu,” ujar Haley di sidang Majelis Umum PBB tersebut, seperti dikutip AFP.


Palestina menyambut baik hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB tersebut. Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyebut hasil pemungutan suara 128 berbanding sembilan ini merupakan kemunduran besar bagi Amerika Serikat.


Kekalahan telak AS dan Israel dalam pemungutan suara di PBB itu menunjukkan bahwa dunia internasional – termasuk sekutu-sekutu dekat AS – tidak mau mengikuti kemauan AS begitu saja. Keputusan AS tentang status Kota Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ditetapkan tahun 2017, oleh Presiden Donald Trump. Keputusan itu jelas-jelas melanggar hukum internasional.


Sebagai Presiden yang didukung oleh kaum fundamentalis Kristen, Donald Trump harus menuruti kepercayaan kaum zionis dan kaum fundamentalis Kristen, bahwa Kota Yerusalem adalah ibu kota abadi kaum negara Yahudi Israel. Bahkan, tahun 2017 itu seolah-seolah dipaksakan menjadi salah satu tonggak penting peristiwa 50 tahunan, bagi gerakan zionis.


Tahun 1917, keluar Deklarasi Balfour yang menyetujui pendirian negara Yahudi Isreal oleh Inggris di tanah Palestina. Lima puluh tahun kemudian, tahun 1967, Kota Jerusalem – termasuk Masjid al-Aqsha — diduduki oleh Israel. Dan berikutnya, tahun 2017, AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Bagi bangsa Palestina, pendirian negara Palestina pun direncanakan beribu kota di Yerusalem. Dalam beberapa kali perundingan antara pihak Israel dan Palestina, ada tiga masalah yang sulit dicari titik temu antara kedua pihak. Pertama, masalah hak untuk kembali bagi jutaan pengungsi Palestina di berbagai dunia. Kedua, masalah pemukim Yahudi liar yang sudah mencaplok wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Ketiga, masalah status Kota Yerusalem.
Dengan naiknya Benyamin Netanyahu dari Partai Likud, pada November 2022 lalu, sebagai Perdana Menteri Israel, maka harapan untuk perdamaian di Palestina kembali menipis. Sebab, Partai Likud berkoalisi dengan Partai-partai agama di Israel yang menggunakan alasan teologis, bahwa Yerusalem dan juga Tepi Barat adalah termasuk wilayah yang dijanjikan Tuhan (the promised land) untuk bangsa Yahudi. Bangsa non-Yahudi menurut mereka tidak berhak mendiami wilayah itu.


Klaim-klaim teologis kaum Yahudi itu tidak bisa diterima oleh sebagian besar negara di dunia. Maka, kita tunggu saja, sampai seberapa jauh AS dan Israel bisa bertahan dalam ketidakadilan mereka terhadap Palestina. (Depok, 2 Januari 2023).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *