Artikel ke-1.301
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok - Manusia kinihidup di satu zaman yang dihegmoni peradaban Barat yang memuja syahwat dan membuang Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan. Ilmu pengetahuan, seni, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya, didorong untuk “bersih” dari campur tangan Tuhan. Ujungnya, manusia kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai Tuhan; merasa berhak mengatur diri dan alam semesta. Jadilah syahwat sebagai tujuaan utama.
Karena itu, pada hakekatnya, secara kejiwaan, orang-orang sekuler tidak pernah mengalami proses kemajuan. Sebab, kehidupan dan jiwa mereka hanya berputar-putar seputar syahwat. Mereka tidak pernah maju dalam arti sebenarnya. Sebab, mereka tidak ada tujuan dalam hidup. Mereka tidak pernah mencoba mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Al-Quran menggambarkan perikehiduan orang-orang kafir: “Orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan sebagaimana makannya binatang-binatang, dan neraka adalah tempat mereka.” (QS 47:12).
Orang mukmin juga makan-makan dan bersenang-senang menikmati makanan serta kesenangan hidup lainnya. Tetapi, orang mukmin tidak menjadikan makan dan segala kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidup dan kenikmatan tertinggi, sebab mereka memiliki tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yaitu mengenal dan beribadah kepada Allah. Itulah kebahagiaan yang sejati. Zikir kepada Allah adalah menentramkan jiwa.
Betapa banyak manusia tertipu dengan kenikmatan duniawi. Ia menyangka akan bahagia saat mereguk segala syahwat dunia. Ternyata kesenangan dunia itu menipunya. (QS 3: 185). Lihatlah, betapa banyak manusia tersohor dan bergelimang harta serta kebebasan, akhirnya hidup dalam keresahan dan berujung kepada obat-obatan terlarang bahkan berakhir dengan bunuh diri.
Lihatlah bagaimana manusia berebut kekuasaan. Kadangkala, segala cara dipakai untuk menyingkirkan lawannya. Untuk menjadi rektor, misalnya, ada yang melakukan berbagai cara yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang berilmu. Padahal, ia tahu, banyak calon rektor lain yang lebih baik dari dirinya.
Orang kafir memang tampak merajalela; bisa berbuat sekehendaknya, tanpa batas-batas hukum dan akhlak. Dan kita diingatkan, agar jangan terkecoh dan terpedaya oleh kebebasan yang dinikmati oleh orang-orang kafir di dunia ini. “Janganlah kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir di negeri(nya). Itu kesenangan yang sedikit, kemudian tempat mereka adalah Jahannam. Alangkah buruknya tempat itu!” (QS 3:196-197).
Jadi, sangat keliru sebenarnya, menyebut negara-negara sekuler-liberal dan orang-orang kafir sebagai “negara maju” atau “orang yang maju”, sebab secara kejiwaan mereka tidak pernah maju; tidak pernah mendekat (taqarrub) kepada Allah SWT; mereka hanya berputar-putar seputar syahwat dan ilusi.
Islam memandang, budaya kemajuan bukan dicapai dengan cara melampiaskan syahwat duniawi, sebebas-bebasnya. Kebehagaiaan dan kemenangan justru akan tercapai dengan proses pembersihan jiwa. Ibn Qayyim al-Jauziyah (Ibnul Qayyim) membuat rumusan penting tentang jiwa yang cerdas, yakni jiwa yang kenal Tuhannya, Cinta Tuhannya, dan Taat pada Tuhannya. Jiwa cerdas semacam itu hanya bias diraih melalui proses perjuangan yang berat, yang dalam Islam dikenal dengan istilah “tazkiyyatun nafs” (pembersihan jiwa). “Sungguh telah meraih kemenangan, orang yang mensucikan (jiwa)nya, dan merugikan orang yang mengotorinya.” (QS 91:9-10).
Nabi Muhammad saw bersabda: “Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif, kemudian datanglah setan kepada mereka, maka kemudian setan pun menyelewengkan mereka dari agama mereka.” (HR Muslim).
Jiwa manusia memang diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih yang baik dan yang buruk. (QS 91:8). Maka, beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan, bahwa maksud mensucikan jiwa adalah menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.
Ada doa khusus yang dibaca Rasulullah saw saat membaca ayat ini: “Allahumma Ẩti nafsiy taqwâhâ Anta waliyyuhâ wa-mawlâhâ wa khayru man zakkâhâ.” (Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaannya, Engkaulah wali dan Tuannya; dan Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya).
Manusia adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga. Keduanya merupakan satu kesatuan yang unik dalam membentuk sosok bernama “manusia”. Islam tidak mengenal pemisahan yang ekstrim antara tubuh dan jiwa, sehingga ibadah dalam Islam juga memadukan dimensi jiwa dan raga.
Shalat, haji, puasa, dan sebagainya, merupakan paduan yang harmonis dan unik antara aspek jiwa dan raga. Dalam shalat, orang diwajibkan suci lahir dari hadats dan najis. Secara batin, dia pun harus suci dari penyakit jiwa, seperti riya’ dan ujub. Semua ibadah dalam Islam merupakan proses pembersihan jiwa dan proses menuju kemajuan. Yakni, maju untuk semakin dekat dengan Allah (taqarrub).
Maka, manusialah yang harus mengendalikan syahwatnya; dan bukan sebaliknya, manusia dikendalikan oleh syahwatnya. “Adapun orang yang durhaka, dan mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka Jahim-lah tempat dia. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sorgalah tempat dia.” (QS 79:37-41)
Nabi saw bersabda: “al-mujaahid man jaahada nafsahu” (HR Tirmidzi). Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan nafsunya. Menundukkan nafsu adalah jihad yang besar, sehingga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dengan segala macam latihan ibadah yang sungguh-sungguh (mujahadah), kita berharap menjadi mukmin yang bahagia, memiliki nafsu yang tenang (nafsul-muthmainnah). “Wahai nafsul-muthmainnah (wahai jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai.” (QS 89:27-28).
Imam Ibn Katsir menyatakan, bahwa saat sakaratul maut, dan saat di akhirat nanti, hamba Allah dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) akan mendapatkan seruan: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu,” dengan hati yang ridha dan diridhai, yakni “dia rela menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan Allah pun ridha menjadikan dia sebagai hamba yang dikasihi-Nya. Ibnu Katsir mengutip sebuah doa Rasulullah saw: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan jiwa yang tenang yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu dan merasa puas dengan pemberian-Mu.” (Allahumma inniy as’aluka nafsan muthmainnatan tu’minu bi-liqâika wa-tardha bi-qadhâika wa-taqnau bi-‘athâika).
Semoga hidup kita senantiasa diwarnai dengan budaya ibadah, budaya pengendalian syahwat, sehingga kita menjadi manusia yang berkemajuan. Yakni, kita semakin dekat dengan Allah SWT. Aamiin. (Depok, 23 September 2022).