(Bagian 1)
Oleh: Ust. Muhammad Habib Ichsan
Ketua Dewan Dakwah Kab. Jember
Dewandakwahjatim.com, Jember –
I. PENDAHUUAN
Al-Qur’an mengajak ke berbagai prinsip dan tujuan, yang hanya dengan itulah kehidupan manusia akan menjadi baik. Masalah tujuan-tujuan Al-Qur’an dibagi menjadi tujuh bagian, sesuai dengan apa yang ditegaskan Al-Qur’an dan yang diperhatikannya :
1. Meluruskan aqidah dan persepsi tentang Uluhiyah, risalah dan pembalasan.
- Menetapkan kemuliaan manusia dan hak-haknya, terutama orang-orang yang lemah.
3. Mengarahkan manusia untuk beribadah dan bertaqwa kepada Allah.
4. Mengajak kepada pensucian jiwa manusia.
5. Membentuk keluarga yang baik dan berbuat adil terhadap wanita.
6. Membangun umat yang menjadi saksi atas seluruh manusia.
7. Mengajak ke alam manusia yang saling bahu-membahu.
“Ini adalah sebuah Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad / 38 : 29)
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rachmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nachl / 16 : 89)
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar / 54 : 17)
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada rasul yang mu’jizatnya adalah Al-Qur’an, yang imannya adalah Al-Qur’an, yang achlaknya adalah Al-Qur’an, yang Al-Qur’an menjadi musim semi di dadanya, yang menjadi cahaya hatinya, yang mengenyahkan kesedihan hatinya, dialah Muhammad bin Abdullah.
Orang-orang Mu’min telah dimuliakan Allah dengan sebuah kitab yang diturunkan, sebagaimana Allah telah memuliakan Mu’min dengan seorang nabi yang diutus.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat 10:
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagi kalian. Maka apakah kalian tidak memahami?” (QS. Al-Anbiyaa’ / 21 : 10)
Hanya muslim yang memiliki perjanjian yang kuat dengan langit, yang di dalamnya tertera kalimat-kalimat Allah yang terakhir untuk menuntun manusia, yang terjaga dari segala bentuk penyimpangan dan penggantian, lafazh maupun maknanya, karena memang Allah telah memberikan jaminan perlindungan terhadap kitab ini dan tidak menyerahkan perlindungan ini kepada manusia siapa pun.
Di dunia ini tidak ada satu kitab pun, dalam bidang keagamaan maupun keduniaan yang terjaga dari penggantian dan penyimpangan seperti yang terjadi pada Al-Qur’an ini.
Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihafal, persis seperti apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad lewat perantaraan Ar-Ruchul-Amin. Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, yang semuanya diawali dengan “basmalah”, kecuali Surat At-Taubah. Namun begitu tidak seorang pun berani menambahkan basmalah di awal surat ini, baik berupa tulisan atau lafazh, karena di dalam Al-Qur’an tidak ada tempat untuk pendapat manusia.
Umat ini mempunyai beberapa sifat yang membedakannya dengan umat lain mana pun, yang terpenting adalah lima sifat seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu:
II. SALAH SATU SIFAT TERPENTING YANG TERTUANG DI DALAM AL-QUR’AN ADALAH SIFAT RABBANIY
Karena besarnya muslim terhadap Al-Qur’an, hingga ada di antara mereka yang menghitung jumlah ayat-ayatnya dan bahkan kata-katanya. Maka bagaimana mungkin seseorang bisa menambahi atau mengurangi satu huruf di dalam Al-Qur’an, yang bilangan ayat dan kalimat-kalimatnya sudah dihitung.
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, menyatakan bahwa Rabbaniyah itu sumbernya dan juga arahnya, yaitu suatu umat yang ditumbuhkan wahyu Allah, dikembangkan ajaran dan hukum-hukumnya, hingga Allah menyempurnakan agama itu bagi mereka, yang diiringi dengan kesempurnaan ni’mat-Nya (QS. Al-Maa-idah / 5 : 3).
“Dicharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu yang sempat menyembelihnya, dan (dicharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (dicharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan mengundi anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maa-idah / 5 : 3)
Allah-lah yang membangun umat ini. Karena itu kita mendapatkan Al-Qur’an menyatakan (QS. Al-Baqarah / 2 : 143),
“Dan demikian (Kami) telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kalian (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. Al-Baqarah / 2 : 143)
Ungkapan, “Kami menjadikan kalian”, memberikan pengertian bahwa Allah-lah yang membangun umat ini dan menciptakannya. Tidak jauh berbeda dengan ayat berikut (QS. Aali Imraan / 3 : 110).
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orng fasik” (QS. Aali Imraan / 3 : 110)
Ungkapan, “Menjadikan” menunjukkan bahwa di sana ada yang menjadikan, hingga umat ini pun dijadikan. Yang demikian ini tidak sama dengan benih atau tumbuhan yang tumbuh sendiri tanpa ada orang yang menanamnya. Umat ini serupa dengan tanaman yang memang harus disemai, ditanam, dan diurus.
Yang mengeluarkan umat ini, menanam, dan mengurusnya adalah Allah. Ini merupakan umat yang sumbernya adalah Rabbani (orang yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah SWT) pula, ia hidup karena Allah, untuk menyembah Allah dan mewujudkan minhaj Allah di muka bumi. Ia berasal dari Allah dan kembali kepada Allah pula, sebagaimana firman Allah kepada Rasul-Nya (QS. Al-An’aam / 6 : 162 – 163)
“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’aam / 6 : 162 – 163).
Di sisi lain,bahwa Rabbaniy membarikan mot5ivasi yang paing mendasar kan setiap umat yang beriman dan ber-Islam,sebagai mana diungkapkan di dalam Al-Qur’an:
“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi Kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah”, tetapi dia berkata, “Jadilah kamu rabbaaniy (pengabdi-pengabdi Allah), karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya” (QS. Aali ‘Imraan / 3 : 79).
Menurut Muhammad Qurais Shihab dalam tafsirnya “Al-Misbaah”, menyatakan bahwa sekelompok pemuda agama Yahudi dan Nasrani menemui Rasulullah Muhammad Saw. Mereka bertanya, “Wahai Muhammad, apakah engkau ingin kami menyembahmu?” Salah seorang di antara mereka bernama Ar-Rais mempetegas, “Apakah untuk itu engkau mengajak kami?” Nabi Muhammad menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari penyembahan selain kepada Allah atau yang meyruh yang demikian. Allah tidak sama sekali menyuruh aku demikian, tidak pula mengutus kamu aku untuk itu”. Dermikian jawaban Rasul Saw yang diperkuat dengan turunnya ayat 79 dari surat Aali Imraan ini.
Dari segi hubungan dengan ayat-ayat sebelumnya bahwa penjelasan tentang kebenaran yang disembunyikan oleh Bani Israa’il dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan berakhir pada penegasan bahwa mereka tidak segan-segan berbohong terhadap Allah, dan ini juga berarti berbohong atas nama nabi dan rasul, karena tidak ada informasi pasti dari Allah kecuali melalui mereka, maka di sini ditegaskan bahwa hal tersebut tidak wajar bagi seorang nabi pun. Bahwa yang dinafikan oleh ayat ini adalah penyembah kepada selain Allah, sangat pada tempatnya, karena apa pun yang diampaikan oleh seorang nabi atas nama Allah adalah ibadah, baik pada pengertiannya yang khusus, yakni ibadah murni maupun dalam pengertiannya yang umum, yakni segala aktivitas yang dilakukan dengan motivasi mengikuti rasul dan mendekatkan diri kepada Allah.
Tidak wajar dan tidak dapat tergambar dalam benak betapa pun keadaannya bagi seorang manusia siapa dia dan betapa pun tinggi kedudukannya, baik Muhammad Saw, dan hikmah yang digunakannya merupakan hukum putusan. Hikmah adalah ilmu amaliah dan amal ilmiah dan kenabian. Yakni informasi yang diyakini bersumber dari Allah yang disampaikan kepada orang-orang tertentu piihan-Nya yang mengandung ajakan untuk mengesakan-Nya. Tidak wajar bagai seorang yang memperoleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong kepada manusia: “Hendakah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Betapa itu tidak wajar, bukankan kitab suci Yahudi atau Nasrani, apalagi Al-Qur’an melarang mempersekutukan Allah dan mengajak mengesakan-Nya dalam Dzad, sifat, perbuatan, dan ibadah kepada-Nya? Bukankah nabi dan rasul adalah yang paling mengetahui tentang Allah? Bukankah penyembahan kepada manusia, berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, sedang mereka adalah orang yang memiliki hikmah, sehingga tidak mungkin meletakkan manusia atau makhluk apa pun di tempat dan kedudukan Allah, Sang Khaliq itru? Jika demikian, tidak mungkin ‘Iisaa as manusia ciptaan Alah dan pilihan-Nya itu, menyuruh orang lain menyembahnya, sebagaimna diduga oleh orang-orang Nasrani.
Selanjutnya mereka juga tidak akan diam, tidak mengajak kepada kebaikan atau mencegah keburukan. Tidak! Tetapi Dia akan mengajak dan akan berkata, “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, yang berpegang teguh serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi karena kamu selalu mengajarkan al-Kitaab dan disebabkan kamu terus menerus mempeajarinya”
Kata tsumma, yakni kemudian yang diletakkan antara uraian tentang anugerah-anugerah-Nya dan pernyataan bahwa mereka menyruh orang untuk menyembah manusia. Kata kemudian itu, bukan bermakna adanya jarak waktu, tetapi untuk mengisyaratkan betapa jauh ucapan demikian dari sifat-sifat mereka, dan betapa ucapan tersebut tidak masuk akal.
Jika nabi dan rasul demikian halnya, maka tentu lebih tidak wajar bagi manusia biasa untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Tidak wajar ada manusia yang dengan ucapan atau perbuatan memerintahkan atau ditemukan agar tidak disembah, dean dikultuskan. Karena itu, para diktator adalah orang-orang yang meras dirinya tuhan-tuhan yang harus disembah, ditaati, dan diagungkan.
Kata rabbaaniy terambil dari kata Rabb yang memiiki aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri, maka yang dimaksdud tidak lain kecuali Allah SWT. Jika kita bermaksud menisbahkan sesuatu, maka biasanya kata ini ditambah dengan huruf ya’ seperti kata insaan menjadi insaaniy atau nuur menjadi nuuriy. Dalam bahasa Indonesia, terkadang untuk memudahkan pengucapan terlebih dahulu dengan huruf “w” sehingga mislanya berbunya manusiawi. Jika kita ingin menjadi sifat itu, maka dalam bahasa Arab ditambah juga dengan huruf ya dengan huruf alif dan nuun, sehingga kata nuur menjadi nuraaniy dan kata rabb rabbaaniy,sebagaimana bunyi ayat di atas.
Seorang rabbaniy, menurut ayat ini, paling tidak melakukan dua hal. Pertama, terus menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua terus menerus mempelajarinya. Pengertian terus menerus itu, difahami dari bentuk kata kerja mudhaari’ yang digunakan ayat ini untuk kedua hal tersebut.
Bahwa seorang Rabbaaniy harus terus menerus mengajar, karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A telah tahu, maka si B dan si C boleh jadi belum, atau lupa, atau mereka adalah generasi muda yang selama ini belum mengetahui. Itu dari satu sisi. Di sisi lain, Rabbaniyy terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah demikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin bertambah banyak yang dapat diraih, walaupun dibaa adalah teks yang sama. Kitab Allah yang tertulis, tidak berubah dengan kitab-Nya yang terhampar, yaitu alam raya. Walaupun alam raya sejak diciptakan hingga kini, tidak berubah, namun rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak, rahasia-rahasia aam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan sebelum ini. Jika demikian, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti, dan membahas, baik obyeknya alam raya maupun kitab suci. Nah, yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu, diajarkan pula, sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. pesan, “Belajarlah dari buaian hingga lahat”, dan agama Al-Qur’an sesuai dengan kerugian orang-orang yang tidak saling mewaspadai tentang kebenaran dan ketabahan, yakni saling mengajar mengajar tentang ilmu dan petunjuk serta mengumpulkan tentang perlunya ketaqbahan dalam hidup ini. diajarkan pula, sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. pesan, “Belajarlah dari buaian hingga lahat”, dan agama Al-Qur’an sesuai dengan kerugian orang-orang yang tidak saling mewaspadai tentang kebenaran dan ketabahan, yakni saling mengajar mengajar tentang ilmu dan petunjuk serta mengumpulkan tentang perlunya ketaqbahan dalam hidup ini. diajarkan pula, sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. pesan, “Belajarlah dari buaian hingga lahat”, dan agama Al-Qur’an sesuai dengan kerugian orang-orang yang tidak saling mewaspadai tentang kebenaran dan ketabahan, yakni saling mengajar mengajar tentang ilmu dan petunjuk serta mengumpulkan tentang perlunya ketabahan dalam hidup ini.