Oleh: Dr. Adian Husaini
Dewandakwahjatim.com, Surabaya -:Pada hari Senin (12/9/2022), pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah) mengadakan diskusi internal tentang RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Hadir sebagai nara sumber adalah Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendkbud Ristek, Dr. Zulfikri Anas bersama dua stafnya.
Dari jajaran pengurus Dewan Da’wah hadir Ketua Umum, Sekjen, Wakil Ketua Umum Dr. Mohammad Noer, Ketua Bidang Polhukam Dr. Taufik Hidayat, dan beberapa pimpinan bidang pendidikan Dewan Da’wah, seperti Dr. Ujang Habibie, Dr. Dwi Budiman, Dr. Misbahul Anam, dan sebagainya.
Diskusi malam itu berlangsung menarik. Waktu dua jam terasa belum mencukupi. Banyak pertanyaan muncul. Jawaban dari pihak Kemendikbud juga cukup jelas dan tuntas. Namun, diusulkan, diskusi akan dilanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya.
Ada sejumlah “perbaikan” yang dijanjikan oleh RUU Sidiknas yang baru ini dibandingkan dengan tiga UU yang ada: yaitu UU Sisdiknas No 20/2003, UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, dan UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012.
Prinsipnya, RUU Sisdiknas ini mengacu pada asas fleksibilitas dan pemberian peran serta otonomi yang lebih besar kepada guru dan satuan pendidikan. Tentu saja ada juga janji untuk lebih meningkatkan kesejahteraan guru.
Soal kesejahteraan guru ini sudah banyak menyita polemik di media massa. Sebagian kalangan menolak rencana penghapusan sertifikasi guru dan dosen sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan tambahan dari pemerintah.
RUU Sisdiknas yang baru ini mengubah sistem tunjangan guru. Semua guru seharusnya dapat tunjangan, tanpa harus menunggu mendapat sertifikasi. Sertifikasi akan diberlakukan untuk para calon guru. Diskusi tentang ini masih terus berlanjut.
Apakah kita patut berharap pada RUU Sisdiknas sebagai alat untuk melakukan perbaikan pada pendidikan kita? Jawabnya, harapan itu masih ada. RUU ini masih dalam fase menghimpun respon dari masyarakat. Bahkan, siapa saja dipersilakan memberikan masukan-masukan untuk perbaikan. Hanya saja, semakin banyak masukan, akan semakin sulit bagi Tim penyusun RUU Sisdiknas untuk menyelaraskan semua pendapat.
Pada taraf awal ini, kita telaah dulu Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas ini. Disebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi Pelajar dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif.”
Sedangkan Tujuan Pendidikan Nasional disebutkan: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk Masyarakat yang religius, menjunjung kebinekaan, demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta menyejahterakan umat manusia lahir dan batin.”
Kita garisbawahi bahwa fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi pelajar dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Rumusan fungsi pendidikan ini sudah cukup bagus. Tetapi, akan lebih jelas operasionalnya jika ditambahkan dengan kata agama di dalamnya, sehingga menjadi:
“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi Pelajar dengan ajaran agama dan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif.”
Karena itulah, dalam kurikulum di RUU Sisdiknas ini, ada tiga mata pelajaran wajib, yaitu: Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia. Pada pasal 11 ayat (b) disebutkan, bahwa hak warga negara adalah: “mendapatkan Pendidikan Agama yang dianutnya dan diajarkan oleh Pendidik yang menganut agama yang sama.”
Pasal ini perlu dipertegas dengan penjelasan: “serta diarahkan untuk menguatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.” Penjelasan ini diperlukan untuk memberi batasan dan arah yang jelas dari Pendidikan Agama, agar tidak mengarah kepada ekstrimisme, baik ekstrim sekularisme maupun ekstrim berlebihan dalam agama (ghuluw/tatharruf).
Sementara itu, untuk Tujuan Pendidikan, sebaiknya mengacu kepada Tujuan Bernegara, sebagaimana disebutkan pada sila kelima: “Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Sebaiknya, rumusan Tujuan Pendidikan menjadi: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk Masyarakat yang religius, adil dan makmur, menjunjung kebinekaan, demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta menyejahterakan umat manusia lahir dan batin.”
Dalam beberapa bulan ke depan, RUU Sisdiknas ini masih terus menjadi perbincangan masyarakat luas, khususnya para pakar, pemerhati, dan pelaku pendidikan. Semoga para perumus RUU Sisdiknas diberikan kesabaran dan bimbingan oleh Allah SWT agar mampu menghasilkan rumusan RUU sebaik-baiknya. Aamiin. (Depok, 12 September 2022).
Admin: Sudono Syueb