Oleh: Zainal Arifin Emka
Pengurus Dewan Da’wah Bidang Kominfo, Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Isu menghilangnya Remaja Masjid dari aktivitas dakwah, mencuat di arena Rapat Kerja Dewan Dakwah Islamiyah Jawa Timur, 10 – 11 September 2022 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.
Lontaran keprihatinan pengurus dari Probolinggo dikuatkan peserta daerah lain. Kabar baik, besoknya pengurus wilayah segera merespon dengan menyodorkan beberapa program untuk menemukan dan menemukan kembali para remaja harapan ini.
“Pernyataan keprihatinan hilangnya Remaja Masjid itu benar. Tapi tidak sepenuhnya benar,” kata Yoyon dai Madiun ketika jedah makan malam.
“Di mana benar dan salahnya?” tanya Habib dari Jember.
“Sesungguhnya yang menghilang hanya Remaja Masjid sebagai organisasi. Namun kaum remajanya masih hadir di masjid. Untuk shalat berjamaah maupun jumatan. Bahkan banyak majelis taklim yang mayoritas penyimaknya anak-anak muda. Tentu saja ustadznya juga orang yang memahami karakter anak muda,” urai Yoyon.
“Analisis Sampeyan sebagian tepat, sebagian lainnya kurang pas!” sahut Habib singkat.
“Tepatnya dulu, di bagian mana?!” desak Yoyon.
“Banyak Dewan Kemakmuran Masjid, DKM yang tak lagi mencantumkan lembaga Remaja Masjid. Bahkan seperti sudah dilupakan. Kalau ada Remas, namun adanya sama dengan ketiadaannya.”
“Bagian yang kurang pas?!”
“Faktanya banyak masjid yang sepi dari kehadiran anak muda. Barisan shaf hanya dipenuhi orang tua bahkan sangat tua. Salah satu indikatornya banyaknya kursi untuk shalat,” kata Habib seraya terkekeh.
“Benar! Sampeyan layak mendapat hadiah kaos M Natsir,” seloroh Yoyon.
“Jadi masalahnya adalah bagaimana memanggil kembali anak muda ke masjid, sekaligus merawat mereka yang sudah hadir di masjid.”
“Saya ingin memulai dari shalat Jumat. Meski untuk shalat harian anak muda ini tidak di masjid, tapi kalau jumatan mereka pasti ke masjid. Faktanya begitu.”
“Ya yalah. Masak jumatan di café?!?”
“Maksud saya, kehadiran kaum muda saat jumatan adalah kesempatan emas untuk menyentuh mereka dengan pesan-pesan dakwah. Mereka sudah hadir di depan pendakwah, khotib,” kata Yoyon.
“Tentunya topik khotbah harus disesuaikan dengan anak muda. Bahkan setelah shalat Takmir bisa mewajibkan khotib menyediakan waktu untuk berdialog dengan jamaah, sekitar satu jam. Memberi kesempatan jamaah untuk mendalami materi khutbah, atau bertanya apa saja.”
“Apa saja itu apa!?” tanya Habib.
“Ya apa saja. Mulai dari soal studi, soal masa depan, masalah politik, sampai soal pacaran. Tentu saja khotib harus tahu bagaimana mesti meladeni diskusi dengan topik anak muda. Contoh-contoh kasusnya mesti kekinian. Anak muda banget!”
“Memangnya boleh ngomong politik di masjid?!”
“Wajib! Supaya jamaah tidak buta politik dan tidak jadi korban permainan politik.”
“Sepakat. Jadi, ketiadaan Remas sebaiknya jangan keburu dihakimi lantaran hilangnya daya tarik agama di mata kaum muda. Boleh jadi kita yang salah urus. Kurang paham bagaimana mesti mengelola anak muda,” kata Habib serius.
“DKM bisa membuat panduan bagi khotib,” kata Yoyon. “Misalnya, khotib wajib menyapa secara khusus jamaah dari kalangan muda. Selalu mengapresiasi kehadiran mereka. Topik-topik khotbah pun harus menjawab masalah-masalah aktual dan menjawab kegelisahan anak muda.”
“Seharusnya begitu. Sayang kan kalau kehadiran kaum muda ini diabaikan.”
Hening beberapa saat. Mereka berdua berpikir, pola dakwah di masjid memang sudah seharusnya menjawab problematika jamaahnya. Khotib mesti mencermati isu-isu hangat yang sedang menjadi kegelisahan jamaah. Janganlah jamaah mikir mau ke barat, khotib bicara tentang timur. Gak nyambung!
“DKM sebaiknya punya tim kajian isu aktual untuk disodorkan kepada khotib,” kata Habib. (Zainal Arifin Emka)***