Oleh Bahrul Ulum,
Pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Pemerintah kembali menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi seperti Solar dan Pertalite per 3 September 2022. Adapun efek kenaikan harga BBM subsidi tersebut sudah dipastikan akan berdampak pada inflasi, kenaikan suku bunga hingga pasokan pangan. Hal ini selanjutnya akan memunculkan permasalahan terutama ketika terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Jika regulasi tersebut berdampak negatif, sebelum memutuskan kenaikan BBM, pemerintah seharusnya melakukan kajian secara syariah terlebih dahulu. Dalam hal ini lebih mengutamakan kepentingan umum. Ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Memprioritaskan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan lebih kecil” (Abd. Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, hal. 32).
Kaidah ini dimaksudkan agar setiap pemerintahan lebih mengupayakan jalan yang menuju pada kemaslahatan, sehingga tidak mengarah kepada kemafsadatan. Artinya pemerintah semestinya bisa mengambil kebijakan lain, daripada mengorbankan rakyat. Subsidi kepada rakyat harus diutamakan dan harus mendapat perhatian yang serius.
Kebijakan yang bisa diambil pemerintah di antaranya melakukan penghematan anggaran atau lainnya. Adalah Umar bin Abdul Aziz melakukan penghematan total dalam penyelenggaraan negara. Sumber pemborosan dalam penyelenggaraan negara yang biasanya terletak pada struktur negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit, dipangkas dan dibuat ramping. Rantai birokrasi yang panjang dipotong serta menyederhanakan sistem administrasi. Dengan demikian pemerintah negara menjadi sangat efisien dan efektif.
Suatu riwayat tentang perilaku hemat, misalnya, ketika Gubernur Madinah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz meminta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan adminstrasi kependudukan. Namun Umar bin Abdul Aziz malah memberi contoh bagaimana melakukan penghematan. Ia membalik surat itu dan menulis jawabannya di kertas tersebut dengan menyatakan bahwa aset negara adalah milik rakyat yang harus digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.
Kebijakan ini berhasil memperbaiki perekonomian masyarakat. Taraf kehidupan rakyat terangkat dari garis kemiskinan ke garis kehidupan yang makmur. Kesenjangan yang menganga lebar dapat ditiadakan. Kesejahteraan rakyat betul-betul terjamin.
Yahya bin Said, seorang petugas zakat pada waktu itu berkata, “Saya pernah diutus oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud untuk membagikannya kepada fakir miskin. Justru saya tidak menemukan seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyatnya hidup dalam berkecukupan ekonomi. Akhirnya saya putuskan untuk membeli budak kemudian memerdekakannya. Kemakmuran sangat merata di seluruh wilayah kekhilafahan Islam” (Abdulḥasan ʻAli Nadvī, Rijal al-Fikri wa ad-Dakwah 1/ 58).
Berkaitan dengan subsidi, negara harus memberikan untuk sektor pelayanan umum seperti jasa transportasi umum atau al-muwashalat al-‘ammah, jasa telekomunikasi atau al-khidmat al baridiyah dan jasa perbankan syariah atau al-khidmat al-mashrifiyah. Sedangkan untuk subsidi pada sektor energi hanya diberikan negara kepada rakyat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api” (HR Abu Dawud).
Sementara, bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas termasuk kategori milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Adapun yang menjadi dalil untuk hal tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Byadh ibnu Hamal: “Saya mengatakan: Kutaibah bin Said menceritakan kepada mereka Muhammad bin Yahya bin Qois al-Makribi, telah menceritakan kepada saya, Bapakku dari Tsumamah bin Syurihil dari Sumaimi bin Qois, dari Sumair, dari Abyadho bin Hammal, sesungguhnya dia bermaksud meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Lalu, Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: Wahai Rasulullah, tahukah engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir, kemudian Rasulullah bersabda: Dia telah menariknya”. Dengan demikian energi seperti BBM dapat dikategorikan sebagai barang kepentingan umum yang subsidinya hanya diberikan negara kepada rakyat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam pandangan Islam, subsidi BBM boleh diberikan karena hukum syariah menyebutkan negara boleh memberikan hartanya kepada individu rakyat. Hal ini merupakan hak khalifah dalam mengelola hak milik negara.
Demikian juga dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat dan pemerataan distribusi kekayaan, khalifah boleh menentukan memberikan harta milik negara kepada suatu golongan maupun suatu sektor usaha tertentu. Dalam suatu riwayat diceritakan Nabi SAW membagikan fai’ Bani Nadhir (harta milik negara) tidak kepada kaum Anshar melainkan hanya kepada kaum Muhajirin.
Hal tersebut karena Nabi SAW melihat adanya kesenjangan ekonomi antara Anshar dan Muhajirin. Allah SWT juga mengingatkan mengenai pentingnya masalah distribusi harta sebagaimana dalam Surah al-Hasyr ayat 7 ini: “ ….. supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
Dengan demikian, kebijakan menaikkan BBM beberapa waktu lalu jelas tidak memperhatikan kemaslahatan rakyat tetapi menyengsarakan mereka. Selama masih ada pos lain yang bisa dimanfaatkan untuk biaya penyelenggaraan pemerintahan maka pengurungan subsidi pada rakyat tidak tepat. Hendaknya pemerintah tidak membebani rakyat demi kepentingan sesaat atau kepentingan golongan. []