Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua umum Dewan Da’wah
Dewandakwahjatim.com, Pekanbaru - Pada hariJumat (29/7/2022), saya berkesempatan m1enyampaikan khutbah Jumat di Masjid Universitas Islam Riau (UIR). Ketika itu saya membahas tentang analisis jatuh bangunnya umat Islam di era Perang Salib. Rasulullah saw sudah mengingatkan, bahwa: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka; dan jika umatku sudah meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu atas mereka; dan jika umatku sudah saling caci-maki satu sama lain, maka akan jatuhlah martabat mereka di hadapan Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Hadits inilah yang dikutip oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya: Hakadza Zhahara Jīlu Shalahuddin wa Hakadza ’Ādat al-Quds. Dari sudut pandang proses kebangkitan sebuah peradaban, buku ini mengisahkan, bagaimana umat Islam yang ketika itu merupakan umat yang paling kaya, paling maju sains dan teknologinya, tetapi mampu dihancurkan oleh pasukan salib dari Eropa. Bahkan, Jerusalem dijajah selama 88 tahun (1099-1187). Kaum Muslimin dibantai habis-habisan. Ribuan yang disembelih di dalam masjid al-Aqsha. Banyak mayat kaum muslimin ditumpuk-tumpuk dan dibakar.
Mengapa kaum muslimin bisa kalah dan bagaimana kemudian bisa bangkit lagi menjadi umat yang hebat, itulah yang dikupas oleh buku ini. Kepada para jamaah Masjid UIR saya menekankan pentingnya memahami babak sejarah kelam umat Islam. Setelah ratusan tahun umat Islam mengalami tren kebangkitan, tibalah suatu saat umat Islam menjadi umat yang lemah dan umat yang kalah.
88 tahun kemudian tampillah pahlawan Islam, Shalahuddin al-Ayyubi, yang membuat kembali al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib, pada tahun 1187. Tetapi, patut dicatat, Shalahudin al-Ayyubi, pemain tunggal yang ”turun dari langit”. Tetapi, dia adalah kebangkitan satu generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani.
Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani, umat Islam ketika itu kalah, karena memang berada dalam kondisi yang layak kalah! Jadi, masalah utamanya justru berada dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Menurut al-Ghazali, masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Karena itu, perubahan yang harus dilakukan pun harus dimulai dari tubuh umat Islam itu sendiri.
Perubahan itu dipelopori oleh para ulama melalui proses pendidikan yang modelnya benar-benar mampu melahirkan generasi gemilang. Yakni, generasi Shalahudin. Generasi unggul ini lahir dari proses pendidikan yang benar dan dibimbing langsung oleh guru-guru terbaik. Model pendidikan yang mereka jalani pun sudah baku, yakni penanaman adab dan pembelajaran ilmu yang bermanfaat.
Menurut Imam al-Ghazali, problema umat Islam saat itu tidak begitu saja dapat diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah yang perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar. Tentu, tahap kebangkitan dan pembenahan jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan kesuksesan. Ilmu yang benar-benar akan menuntun kepada cara yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah dan amal yang salah pula.
Inilah sebenarnya suatu strategi kebudayaan atau peradaban peradaban dalam membangun satu generasi baru yang tangguh. Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika Perang Salib bukan kebangkitan seorang Shalahuddin, tetapi kebangkitan satu ”generasi Shalahuddin”; satu generasi yang bertanggung jawab secara aqidah, mencintai ilmu, kuat ibadah, dan zuhud. inilah generasi yang mampu membuat sejarah baru, keadaan baru, dari generasi yang lemah dan kalahkan generasi yang kuat dan disegani.
Dari hasil kajiannya terhadap gerakan kebangkitan umat di era Perang Salib, Dr. al-Kilani menyimpulkan, yang harus dilakukan adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Nabi Muhammad saw menyatakan: ”Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. jelaslah, itu adalah qalb.” (HR Muslim).
Jika strategi ini direfleksikan dalam perjuangan umat Islam Indonesia, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elit dan lembaga-lembaga perjuangannya. Sikap kritis terhadap pemikiran-pemikiran asing yang merusak perlu dilakukan, sebagaimana juga dilakukan oleh al-Ghazali. Tetapi, introspeksi dan koreksi internal jauh lebih penting dilakukan, sehingga ‘kondisi layak terbelakang dan kalah’ (al-qabiliyyah lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Jadi, dalam rangka membangun satu bangsa mandiri, bangsa besar di masa yang akan datang, tugas umat Islam bukan hanya menunggu pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam ini untuk bekerja keras membangunkan generasi baru yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas ‘Salahuddin al-Ayyubi’.
Dan itu tidak mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia – terutama lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya – sangat serius untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari sini diharapkan lahir satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu membuat sejarah baru yang gemilang. khusus, generasi ciri yang menang disebutkan Secara khusus dalam al-Quran Surat al-Maidah:54.
Mohammad Natsir sudah mengingatkan, bahwa penyakit umat Islam dan bangsa Indonesia saat ini adalah cinta dunia yang berlebihan. Jika penyakit ini tidak diobati, maka tidak mungkin, umat Islam akan menjadi umat yang terpuruk dan hina. Wallahu A’lam bish-shawab. (Pekanbaru, 29 Juli 2022).
Editor: Sudono Syueb