Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dewandakwahjatim.com,Depok - Peohor Deddy Corbuzier, kini, alhamdulillah, telah menjadi muslim. Di masa lalu, saat masih berstatus non-muslim, ia pernah tercatat melakukan perkawinan dengan seorang muslimah. Ini salah satu kasus perkawinan lintas-agama artis Indonesia yang sempat tersiar di media massa. Banyak kasus sejenis itu.
Tabloid (C&R) edisi 28 Februari-06 Maret 2005 memuat laporan Utama perkawinan Deddy Corbuzier dan Kalina. Deddy ketika itu masih penganut Katolik dan Kalina penganut agama Islam. Berikut ini petikan wawancara Deddy dengan tabloid tersebut:
T: Bagaimana prosesi pernikahan anda nanti?
J : Saya dan Kalina akan menikah secara Islam. Dan itu sudah menjadi kesepakatan kami berdua.
T: Mengapa?
J: Kami ingin sah secara agama. Tapi saya juga akan dibaptis sebelum menikah nanti. Saya rasa itulah jalan terbaik untuk kami berdua.
T: Bagaimana cara anda berijab kabul?
J: Itu akan diatur oleh penghulu yang telah bersedia menikahkan kami secara agama Islam…
T: Bagaimana dengan kelengkapan persyaratan pernikahan anda?
J: Itu sedang kami pikirkan. Yang penting, kami sah dulu secara agama. Untuk mendapatkan kelengkapan untuk administrasi negara, kami berencana mengurusnya di luar negeri.
Fenomena perkawinan antar-agama bukan hal yang baru di Indonesia. Banyak sudah wanita muslimah yang nekad menikah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan cinta. Sebelumnya sudah berderet artis wanita yang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen). Dan masih banyak yang lain.
Tetapi, mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen. Tidak ada legitimasi agama secara Islam. Padahal, menurut UU Perkawinan No 1/1974, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agamanya masing-masing.
Namun, kasus Deddy dan Kalina membuka mata umat Islam, akan adanya fenomena baru, yakni disahkannya sebuah perkawinan antara seorang Muslimah dengan laki-laki non-Muslim oleh seorang guru besar Perguruan Tinggi Islam terkenal. Profesor itu juga yang kemudian menikahkan seorang wanita beragama Islam yang juga staf khusus Presiden dengan seorang beragama Katolik. Anehnya, perkawinan seperti ini ia katakan sah secara agama Islam. (https://kumparan.com/kumparannews/pernikahan-beda-agama-stafsus-jokowi-langsungkan-akad-nikah-dan-pemberkatan-1xi6X0lEjXm/full)
Ada juga yang berargumen, bahwa saat ini sudah banyak yang menikah beda agama. Maka, itu harus diakomodir bahkan dilegalkan. Logika ini juga aneh. Saat ini setiap hari banyak orang korupsi, banyak yang melanggar lalu-lintas, banyak yang berzina, dan seterusnya? Apakah semua itu juga perlu dilegalkan!!!
Bagaimana hukum perkawinan antar-agama seperti itu? Sayyid Sabiq, dalam Fiqih Sunnah, menegaskan, bahwa semua ulama bersepakat atas hal itu. Tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya seorang muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim.
Selama si laki-laki tidak memeluk agama Islam, maka haram menikahkannya dengan seorang wanita muslimah. Imam Ibnu Hazm menceritakan dalam al Muhalla (Jilid VII, hal. 313), bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khathab mendengar Hanzalah bin Bishr menikahkan anak wanitanya dengan keponakannya yang masih beragama Nasrani.
Maka, Umar r.a. menyampaikan pesan kepada Hanzalah: jika si laki-laki masuk Islam, maka biarkan pernikahan itu berlangsung. Jika si laki-laki tidak mau masuk Islam, maka pisahkan mereka. Karena si laki-laki menolak masuk Islam, maka mereka dipisahkan.
Umar r.a. juga pernah menyatakan, “Tidak halal bagi laki-laki non-muslim menikahi wanita muslimah, selama si laki-laki tetap belum masuk Islam.” Sikap Sayyidina Umar bin Khathab yang tegas itu didasarkan pada Al Quran surat Mumtahanah ayat 10:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kami telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Dalam sebuah dialog soal perkawinan beda agama, seorang profesor menyatakan, bahwa dalam al-Quran tidak ada larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Maka, itu berarti boleh dilakukan. Saya jawab ketika itu: “Dalam al-Quran juga tidak ada larangan menikah dengan anjing!”
Ada lagi yang berkata, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam soal ini. Saya katakan ketika itu, tolong sebut satu saja ulama yang membolehkan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Tentu, bukan asal ulama atau ulama asal-asalan. Dalam ilmu ada otoritas. Untuk menafsirkan UUD 1945 saja, perlu otoritas keilmuan. Tidak setiap orang punya otoritas untuk menafsirkan UUD 1945!
*
Jadi, bisa dikatakan, umat Islam telah bersepakat, bahwa perkawinan antara muslim dengan non-muslim dibatasi dengan faktor agama. Organisasi Konferensi Islam (OKI) pernah mengeluarkan memorandum tentang HAM yang isinya menolak pasal 16 ayat 1 dari “Universal Declaration of Human Right”.
Pasal itu berbunyi: “Pria-dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”
Sementara Memorandum OKI menekankan keharusan “kesamaan agama” bagi muslimah. Ditegaskan: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat.”
Prof. Dr. Hamka pernah mencatat dalam tulisannya berjudul “Perbandingan antara HAM Deklarasi PBB dan Islam”, mencatat sikapnya tentang pasal 16 ayat 1 “Universal Declaration of Human Right”: “Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah “Islam statistik”. Saya seorang Islam yang sadar. Dan Islam saya pelajari dari sumbernya, yaitu Al Quran dan Al Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”
Jadi, Islam memiliki sikap tegas terhadap perkawinan antar agama. Bahwa, muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Hak-hak yang dimiliki setiap orang harus dibatasi dengan ajaran-ajaran agama. Cinta dan kebebasan jangan sampai mengalahkan urusan keimanan. Rusaknya iman berdampak serius pada kesia-siaan seluruh amal perbutaan seseorang. (QS An-Nur: 39).
Iman itu mahal harganya. Jangan sampai gara-gara soal laki-laki atau perempuan, iman dikorbankan, agama diremehkan. Jika seorang sudah menganggap agama tidak penting, maka apakah ia masih patut dianggap penting oleh Tuhan Yang Maha Esa?
Kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12-nya: “Barang siapa tiada memegang agama, maka sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama!”
Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 24 Maret 2022).