TOLERANSI ISLAM KEPADA NON-MUSLIM

Oleh: Dr. Budi Handrianto
(Sekretaris Program Doktor Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Prestasi umat Islam soal toleransi beragama sangat membanggakan. Sejarah mencatat banyak kisah mengagumkan dalam soal ini. Seorang penulis Yahudi, Martin Gilbert, dalam  Atlas of Jewish Civilization, misalnya, menggambarkan zaman keemasan Muslim di Spanyol yang juga merupakan zaman keemasan Yahudi: “They also employed Jewish scholars in the exercise of their love of science and the spread of knowledge. Thus began the Jewish golden age in Spain, during which poets, doctors, and scholars combined secular and religious knowledge in a way that has never been achieved since…”. 
Syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama terkenal,  menulis sebuah buku kecil berjudul Ghairul Muslimin fil Mujtama’ Al Islami (diterjemahkan : Minoritas Non-muslim di Dalam Masyarakat Islam).  Qaradhawi menyebutkan bahwa dalam sejarah Islam, kaum non-muslim ahludz-dzimmah (orang-orang dalam perlindungan, yaitu non-muslim yang berada di negeri muslim dan tunduk kepada pemerintahan muslim) memiliki hak-hak yang sama dengan kaum muslimin, kecuali beberapa hal tertentu. Hak-hak mereka dilindungi oleh pemerintah dan kaum muslimin. Beberapa hak mereka  di antaranya :

Hak Perlindungan dari Gangguan. Imam Ibn Hazm dalam kitab Maratib Al-Ijma’ berkata, “Apabila kaum kafir datang ke negeri kita karena hendak mengganggu orang yang berada dalam perlindungan (dzimmah) maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati, demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Menyerahkan mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap menyia-nyiakan akad perlindungan tersebut.” Al Qarafi mengomentari ini dengan ucapan, “Akad yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda demi memenuhinya, sungguh akad yang amat agung.”
Sedangkan apabila ada kaum muslimin di dalam negeri yang mencoba mengganggu non-muslim ahludz-dzimmah diancam Rasulullah saw dengan hadits berikut ini, “Barang siapa bertindak dzalim terhadap orang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau mengurangi haknya atau membebaninya lebih dari kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhanya, maka akulah yang akan menjadi lawan si dzalim itu kelak di hari kiamat.” (HR Abu Daud dan Baihaqi).
Umar bin Khatab seringkali menanyai orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahludz-dzimah karena khawatir ada di antara kaum muslimin yang menimbulkan suatu gangguan terhadap mereka. Orang-orang itupun berkata, “Tidak ada suatu yang kami ketahui kecuali pelaksanaan perjanjian dengan sebaik-baiknya.” (Tarikh Thabari, IV, hal. 218)
Perlindungan Nyawa dan Badan. Darah dan nyawa ahludz-dzimmah sepenuhnya dijamin keselamatannya. Pembunuhan atas mereka haram, sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa membunuh seorang mu’ahad (orang yang terikat perjanjian keselamatan dengan kaum muslimin) tidak akan mencium bau harum surga, sedangkan harumnya surga dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR Ahmad)
Diriwayatkan, pernah dihadapkan kepada Ali seorang muslim yang telah membunuh seorang dzimmi. Ketika terbukti kesalahannya, Ali memerintahkan agar ia dihukum bunuh. Akan tetapi sebelum itu terlaksana, datanglah keluarga si korban dan berkata, “Saya mengampuninya.” Ali bertanya, “Jangan-jangan ada orang-orang yang mengancam atau menakutimu?” “Tidak,” jawab orang itu. “Tapi saya pikir pembunuhan terhadap pembunuh tidak akan menyebabkan saudaraku hidup kembali. Berilah aku uang tebusan, aku rela sepenuhnya.” Ali berkata, “Anda lebih mengetahui. Barang siapa terikat dengan dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum muslimin). Dan uang tebusan (diyat)-nya seperti diyat kami.” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Perlindungan Harta Benda. Abu Yusuf meriwayatkan sebagian yang tersebut dalam perjanjian Nabi saw dengan orang-orang Nasrani Najran, “….bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan dzimmah Muhammad, Nabi dan Rasul-Nya atas harta benda mereka, tempat-tempat peribadatan serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik yang sedikit ataupun yang banyak…” (Abu Yusuf, Al-Kharaj hal 15-16).
Barang siapa mencuri harta milik seorang dzimmi akan dipotong tangannya, siapa yang merampas akan dihukum dan harta itupun akan dikembalikan kepada pemiliknya. Siapa yang berutang kepada ahludz-dzimmi haruslah melunasinya, dan jika ia dengan sengaja mengulur-ulur waktu pembayarannya sedangkan ia mampu, maka hakim akan memenjarakannya sampai ia bersedia membayar utangnya itu.
Perlindungan Terhadap Kehormatan. Dalam kitab Ad-Durrul Mukhtar disebutkan, “Wajib mencegah gangguan terhadap seorang dzimmi dan haram mempergunjingkannya seperti juga terhadap seorang muslim.” Ibn Abidin memberikan komentar, “Karena dengan adanya akad dzimmah, ia telah memiliki hak yang sama seperti yang kita miliki. Maka seperti diharamkannya pergunjingan terhadap kaum muslimin, haram pula mempergunjingkan terhadap seorang dzimmi. Bahkan sebagian ulama menganggap kedzaliman terhadap seorang dzimmi lebih besar dosanya.”
Kebebasan Beragama. Soal kebebasan beragama bagi kaum dzimmi juga banyak contoh. Islam tidak memaksa orang lain masuk agama Islam. Allah telah berfirman, “Tidak ada paksaan masuk agama Islam, telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.” (QS 2 : 256). Meskipun memberikan sejumlah batasan, Umar bin Khatab dikenal sebagai tokoh toleransi beragama di bumi Palestina. Saat menaklukkan Jerusalem, 636 M, Umar bin Khattab menandatangani Perjanjian Aelia dengan pihak yang kalah: Bismillahirrahmaanirrahim. Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada pihak Aelia : Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok agama lain. Gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati atau dirobohkan, tidak boleh ada yang dikurangi apapun dari dalamnya atau yang berada dalam lingkungannnya, baik salib mereka atau harta benda mereka atau mengganggu siapapun dari mereka…(Tarikh Thabari, III, hal. 609).
Jaminan Masyarakat Muslim. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib pernah kehilangan sebuah baju perang. Suatu ketika ia menemukannya pada seorang Nasrani. Lalu keduanya mengajukan perkara tersebut di hadapan Hakim Syuraih. Dalam persidangan, Ali tidak mampu menghadirkan saksi, bahwa baju itu benar-benar miliknya. Maka, hakim memutuskan, baju itu milik orang Nasrani. Khalifah Ali menerima keputusan tersbeut dengan ikhlas.
Melihat keadilan hakim dan sang Khalifah, orang Nasrani itu pun mengakui bahwa baju itu sebenarnya milik Ali yang terjatuh dalam suatu peperangan dan ia mengambilnya. Bahkan, ia menyatakan memeluk Islam. Tapi, Sang Khalifah menjawab: “Kini, karena Anda masuk Islam, baju itu kuhadiahkan kepadamu.” (Ibn Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, VII, hal 4-5).
Kata Syaikh Qaradhawi, “Itulah peristiwa yang tidak memerlukan komentar apapun.” (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *