Oleh: Ustadz Hidayatullah
Staf Bidang Organisasi DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ” قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: “إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ”. أخرجه مسلم و أحمد وغيرهم
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?”. Para sahabat menjawab: “Di kalangan kami, muflis itu adalah seorang yang tidak mempunyai dirham dan harta benda”. Nabi bersabda : “Muflis di antara umatku itu ialah seseorang yang kelak di hari Kiyamat datang lengkap dengan membawa pahala ibadah shalatnya, ibadah puasanya dan ibadah zakatnya. Di samping itu dia juga membawa dosa berupa makian pada orang ini, menuduh yang ini, menumpahkan darah yang ini serta menyiksa yang ini. Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain. Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka. [HR. Muslim, Ahmad, dll].
Muflis
Muflis dari akar kata aflasa yuflisu yang didefinisikan dengan khasira tijaaratahu yakni rugi perniagaannya atau bisnisnya. Maka muflis yang berbentuk isim fa’il bermakna orang yang rugi bisnisnya atau bangkrut. Tetapi dalam definisi hadits di atas sebagaimana jawaban para shahabat yaitu man laa dirhama lahu wala mataa’a atau orang yang tidak memiliki dirham (mata uang) dan harta benda lainnya. Maka Rasulullah memberikan penjelasan tentang hakekat muflis itu bagi kehidupan umat manusia ini.
Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang ingin bangkrut. Dalam setiap aktifitas yang dilakukannya pasti yang ada dibenaknya adalah keuntungan dan keuntungan. Bahkan ada pula yang berprinsip dengan modal seminim-minimnya tapi dapat untung yang sebesar-besarnya. Ada pula yang cukup ingin untung kecil-kecilan tapi berlangsung secara terus-menerus atau lumintu (Bahasa jawa). Maka dapat dipastikan bahwa semuanya ingin mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukannya.
Rela sama rela
Maka profit oriented menjadi bagian yang tak terpisahkan dari para pebisnis. Hal ini tentu tidak masalah sepanjang bisnis yang dilakukannya tidak terdapat unsur tipu-menipu di dalamnya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Semua harus dijalankan secara tranparan sehingga benar-benar menghasilkan akad rela sama rela.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. [QS. An Nisaa’/4; 29]
Ayat di atas menjadi hujjah bahwa bisnis tidak boleh ada unsur penipuan dan juga harus dilaksanakan dengan landasan suka sama suka tanpa ada unsur paksaan. Termasuk di dalam ayat tersebut adalah larangan untuk bunuh diri karena tidak kuatnya terhadap tekanan kehidupan yang semakin kuat. Termasuk dalam kategori bunuh diri adalah Ketika seorang muslim sudah tidak lagi mengindahkan hukum Allah dalam berbisnis, dengan prinsip asal dapat. Allah Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya.
Akan tetapi jika terjadi kegagalan atau bahkan berakibat bangkrut dalam bisnis maka hal itu adalah ujian yang harus siap diterimanya. Di samping haruslah selalu introspeksi diri terhadap kegagalannya tersebut untuk berbenah lebih baik lagi. Bukankah kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda! Itu artinya kegagalan merupakan pelajaran yang sangat berharga dan ilmu yang sangat mahal yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain kecuali dirinya sendiri. Dan dari kegagalan itulah akan menjadikan lebih berpengalaman dan dari pengalaman itulah kita lebih mudah untuk meraih keberhasilan. Sehingga ada pepatah experience is the best teacher, bahwa pengalaman itu adalah guru yang sangat berharga.
Maka jika sebagai pengusaha muslim orientasi hidup kita adalah tetap yakni berkomitmen atau tetap bermisi keummatan, yaitu dalam rangka menopang kegiatan dakwah demi kepentingan kualitas umat ini. Justru sangat berbahagialah bagi mereka yang diamanahi harta kemudian ia dapat menggunakannya di jalan Allah, karena jika tidak demikian justru di akhirat akan menjadi bahan bakar bagi pemiliknya sendiri.
Kebangkrutan di dunia merupakan hal yang harus dihindari dengan menajemen usaha yang baik. Tetapi jika hal itu benar-benar terjadi pastilah ada kesalahan yang bisa jadi merupakan bentuk teguran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kemudian kita diperintahkan instropeksi diri.
Bangkrut di akhirat
Tetapi yang pasti wajib kita hindari adalah kebangkrutan di akhirat nantinya. Karena kebangkrutan di akhirat sungguh sangatlah merugi dan akan mengalami penyesalan terus-menerus. Sedangkan jika bangkrut di dunia masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Maka kewaspadaan terhadap terjadinya kebangkrutan di akhirat haruslah menjadi perhatian utama.
Apa yang digambarkan dalam hadits di atas sungguh sangat menyentakkan jiwa. Bagaimana tidak, seseorang yang senantiasa melakukan berbagai macam ibadah termasuk shalat, puasa dan zakat, tetapi semua itu akhirnya tidak bernilai dan bermanfaat secara langsung kepada diri sendiri. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat menjaga hubungan baik dengan sesama. Sehingga ibadah tersebut tidak berdampak positif secara maksimal. Dan jika telah demikian maka jadilah kebangkrutan tersebut. Dan sungguh kebangkrutan di dunia saja sudah sedemikian menyedihkan dan menimbulkan penyesalan yang luar biasa, apalagi jika ini terjadi di akhirat. na’udzubillah min dzalik!
Seimbang vertical dan horizontal
Maka hubungan baik manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala lewat ibadah mahdlah, belumlah memberikan jaminan bahwa pelakunya dipastikan akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak. Hal ini tentu harus diimbangi pula dengan hubungan baik dengan sesama manusia. Sehingga hablumminallah dan hablumminannaas adalah satu kesatuan yang harus senantiasa dijaga dengan sebaik-baiknya.
Lebih menyedihkan lagi jika seorang hamba tidak dapat menjaga dengan baik ibadah mahdlahnya tersebut, sementara hubungan sesama manusia juga sama buruknya. Pasti yang akan dideritanya kelak adalah semakin banyaknya kerugian atau dosa orang lain yang akan dipikulnya, sebagai ganti kedhaliman yang dilakukannya kepada orang lain.
Ibadah shalat, puasa, zakat dan bahkan ibadah hajji memang memberikan pahala besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi sebagaimana hadits di atas, kelak di yaumul hisab atau haru perhitungan, dikarenakan kesalahan menyakiti hati orang lain menyebabkan pahala dari ibadah-ibadah tersebut habis untuk diberikan kepada orang-orang yang telah didhaliminya tersebut. sehingga yang ada tinggal dosa-dosa tanpa pahala sedikitpun, maka inilah yang menyebabkan ia akan dilemparkan ke dalam neraka.
Sungguh kehidupan dunia yang begitu indah ini sangatlah merugi jika kita tidak dapat meraih syurga nantinya. Maka kesempatana ini haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya dan jangan di sia-siakan. Berbuat yang terbaik dengan seluruh potensi yang Allah anugrahkan kepada kita merupakan keniscayaan. Sehingga doa yang kita panjatkan untuk mendapatkan bahagia dunia akhirat benar-benar harapan yang dapat menjadi kenyataan.
Keadilan ditegakkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegakkan keadilan bagi siapa saja tanpa kecuali. Siapa saja yang pernah didhalimi di dunia pasti nantinya akan dihadirkan untuk ditegakkannya keadilan tersebut. sehingga tidak ada lagi seorangpun yang masih merasa terdhalimi di akhirat nantinya. Semua akan merasakan keadilan yang sebenar-benarnya. Baik mereka yang beriman ataupun yang kafir kepada Allah. Sehingga dengan perhitungan dan keadilan tersebut, setiap manusia akan menyadari akan tanggung jawab dari apa yang telah dilakukannya sewaktu di dunia. Dan termasuk pula adalah konsekwensi yang harus diterima dari perbuatannya tersebut yakni apakah akan dimasukkan ke dalam syurga atau neraka.
Maka kesadaran akan hal ini mestinya tetap menjadi perhatian utama bagi setiap hamba. Sehingga nantinya tidak terjadi suatu penyesalan karena sikap dan sifat yang tidak semestinya sewaktu hidup di dunia yang sangat sementara ini. [*]