KEHANCURAN MORAL, KEHANCURAN PERADABAN

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
(Dosen STAIPI Garut)

Kejayaan fisik suatu bangsa memang melenakan! Orang bisa salah baca sejarah. Kejayaan peradaban suatu bangsa hanya diukur dari tampilan fisik dan hal-hal kasat mata. Peradaban Barat, misalnya, hanya dilihat dari aspek-aspek fisik, berupa gedung-gedung pencakar langit, manusia-manusia berotak pintar, gepokan uang yang menopangnya, dan sistem-sistem ekonomi-politik-sosial yang terlihat oleh mata telanjang.
Lalu, disimpulkan, peradaban Barat maju karena hal-hal fisik tersebut. Lalu, dianggap, untuk maju, tirulah Barat dalam berbagai bentuk fisiknya: termasuk cara berpakaian, bergaul, cara beragama, dan sebagainya. Seorang tokoh sekular di Turki, Abdullah Chevdet, sampai mengimbau, agar umat Islam mengambil apa pun yang datang dari Barat, secara sempurna. Ibarat mengambil pohon mawar: ambil mawar dan durinya sekaligus.
Peradaban memang erat kaitan dengan pencapaian segala hal yang terlihat oleh mata telanjang. Tamun tidak sedikit yang lupa bahwa peradaban justru tegak di atas fondasi tak kasat mata, yaitu komitmen pada moralitas. Saat peradaban itu tegak dan bertumbuh, barangkali moralitas terabaikan untuk dilihat mengingat hal-hal kasat mata segera memenjarakan setiap orang yang melihatnya. Banyak orang baru tersadar bahwa moralitaslah fondasi dari kokohnya peradaban saat peradaban sudah runtuh. Keruntuhan peradaban selalu bersamaan dengan kisah penyelewengan moral tingkat tinggi.
Oleh sebab itu, untuk melihat betapa penting moralitas dalam pembangunan peradaban ini, pembacaan terhadap sejarah harus kita arahkan pada kehancuran suatu peradaban. Dalam sejarah kita, misalnya, banyak sejarah kehancuran mengajarkan mengenai hal ini. Salah satunya mengenai kawasan Asia Tenggara (baca: Melayu) pada abad ke-14 dan 15. Dalam catatan Anthony Reid (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jil. I dan II, 2011 dan 1998), kawasan Asia Tenggara pada abad-abad 14 dan 15 boleh dikatakan sebagai salah satu kawasan berperadaban maju. Bahkan lebih maju dibandingkan dengan kawasan Eropa saat itu. Salah satu yang menjadi primadona kawasan ini saat itu adalah rempah-rempah hingga menjadi daya tarik para pedagang dari seluruh dunia. Orang-orang Eropa pun datang, salah satunya karena ingin mendapatkan akses langsung terhadap perdagangan rempah-rempah.
Salah satu yang menandai Asia Tenggara sebagai wilayah kaya dan maju adalah tumbuhnya kota-kota pelabuhan dagang internasional yang selalu ramai dikunjungi pedagang dari berbagai belahan dunia. Di ujung sebelah Barat terdapat Aceh, kemudian disusul Malaka, Banten, Demak, Surabaya, Banjar, Makassar, hingga kota-kota pelabuhan kecil di beberapa daerah Maluku. Kota-kota pelabuhan itu umumnya dikuasai oleh raja-raja Muslim yang memiliki reputasi internasional yang baik. Mereka memainkan peran yang cukup penting dalam perdagangan internasional.
Masa-masa berikutnya, kejayaan itu beralih, saat VOC berhasil mengubah situasi. Kerajaan-kerajaan yang semula amat kokoh, akhirnya terpaksa berada di bawah kendali perusahaan dagang Belanda itu. Dua abad berikutnya, perusahaan dagang Belanda VOC dan perusahaan dagang Inggris EIC-lah yang memainkan peranan sentral di kawasan ini. Bahkan sebagian wilayah kerajaan Muslim terpaksa harus menyerahkan kekuasaannya kepada perusahaan-perusahaan dagang semi-pemerintah ini. Kerajaan-kerajaan yang sebelumnya kaya pun terpaksa harus menerima kenyataan, menjadi miskin.
Mengapa VOC bisa berkuasa? Jawaban sepihak mengatakan, VOC berhasil dengan cara-cara kekerasan; menaklukkan wilayah-wilayah jajahannya secara paksa melalui tindakan militer. Jawaban seperti ini tidak lengkap. VOC memang datang ke kawasan Asia Tenggara untuk menjadi pemain baru perdagangan di kawasan ini, terutama untuk komoditas rempah-rempah. Namun, keberhasilannya menjadi “sang penakluk” justru bukan semata karena tindakan militernya.
Catatan sejarah menunjukkan, di beberapa wilayah, VOC dapat berkuasa justru karena para penguasa di daerah bersangkutan sudah tidak lagi punya komitmen pada rakyatnya. Orientasi mereka lebih kurang hanya urusan kekuasaan dan kekayaan pribadi. Di Mataram misalnya. Kerajaan yang tadinya amat kuat ketika di bawah kendali Sultan Agung Hanyokrokusumo sekitar awal abad ke-17, harus rela menyaksikan kerajaan ini tercabik-cabik dan terbelah yang puncaknya terjadi saat terjadi Perjanjian Giyanti tahun 1755 (abad ke-18) yang membagi dua Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta. Itupun setelah sebelumnya banyak wilayah terpaksa harus diserahkan kepada VOC oleh penguasa-penguasa Mataram sepeninggal Sultan Agung.
Mengapa bisa terjadi? Hasrat kekuasaan yang menggila dari para penguasanya membuat mereka gelap mata. VOC yang semasa Sultan Agung diperangi karena berbahaya bagi kerajaan dan rakyat, oleh beberapa penerusnya seperti Amngkurat I dan II justru diminta menaklukkan musuh-musuh penguasa itu. Lebih parah, yang mereka musuhi adalah saudara dan rakyat sendiri.
Bahkan, kejadian mengerikan pernah menimpa negeri ini, saat para ulama dan santri dari jaringan Pesantren Giri menjadi korban pembantaian. Pasalnya, kaum santri inilah yang dianggap selalu kritis terhadap pemerintahan mereka. Kejadian paling tragis, perselingkuhan Amangkurat II dengan VOC demi kekuasaan dan kekayaan ini, membuat mereka tega membantai 6000 orang ulama dan santri Pesantren Giri yang dianggap tidak taat. Padahal para santri dan ulama ini mau bergerak ke medan pertempuran karena kegeraman mereka menyaksikan begitu merajalelanya kemaksiatan seperti perjudian, minuman keras, pelacuran, korupsi, dan kriminalitas semenjak Belanda semakin berkuasa di Mataram.
Semakin lama Mataram tenggelam dalam nafsu kekuasaan dan kekayaan (baca: korupsi), semakin hilang kekuatannya. Selain wilayahnya semakin habis karena harus diberikan sebagai kompensasi pada Belanda, Mataram semakin tidak memiliki arti lagi dalam konteks pembangunan peradaban di Jawa. Era Mataram di Jawa habis saat moralitas para pemimpinnya digadaikan kepada nafsu kekuasaan colonial penjajah.
Kerajaan Mataram hanyalah satu contoh. Di belahan pulau lain di negeri ini juga banyak mencatat hal serupa. Akibat perebutan tahta dan kekuasaan, serta diabaikannya komitmen moral, dengan mudah kekuasaan kolonial masuk, memecah belah, dan akhirnya menaklukkan semuanya. Puncaknya Tanggal 1 Januari 1800 resmilah Belanda secara politik berkuasa di negeri ini. Kerajaan-kerajaan kaya yang sebelumnya berjaya hanya tinggal cerita. Rakyat pun semakin lama semakin sengsara akibat ulah para pemimpinnya yang lebih senang menjadi hamba hawa nafsunya sendiri daripada menjadi pelayanan dan abdi bagi rakyatnya. Wallâhu A‘lam bil-shawab. (26 Januari 2022)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *