Oleh: Rita Soebagio
(Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Kisah Nabi Luth dalam al-Quran penting untuk kita renungkan. Nabi Luth harus berhadapan dengan kaum pecinta sesama jenis (kaum homo). Ketika dinasehati, justru mereka mengancam Nabi Luth. Sebab, mereka sudah berkuasa.
Karena itu, wahai umat Muslim, hati-hati dan waspadalah! Orang yang tidak suka dengan homoseksual akan diserca dan dituduh “homophobia”! Kasus semacam ini benar-benar sudah terjadi!
Contoh kasusnya menimpa Darrun Ravi. Ia mantan mahasiswa Rutgers University Amerika, yang dituntut 10 tahun dengan 15 tuntutan yang bermuara pada kesimpulan menderita Homophobia. Dharun Ravi dianggap bertanggungjawab terhadap tewasnya Tyler Clementi, teman sekamarnya yang bunuh diri pada tahun 2010 (New York Time, 12 Maret 2012). Ravi dengan latar belakang budaya India yang kuat, mengaku tidak nyaman melihat perilaku seksual Clementi yang kerap membawa teman Gay-nya di kamarnya. “Ketidaknyamanan” itulah yang dianggap juri di pengadilan, sebagai “bermasalah”.
Istilah “Homophobia” adalah salah satu buah dari Gerakan Revolusi Seksual Modern yang mengarah pada legalisasi perilaku seks sejenis. Homophobia memandang aneh perilaku seksual seperti Lesbian, Gay, Transeksual, Biseksual, Seks Pranikah, Pornografi dan Fantasi Seksual lainnya. (David Allyn, Make Love, Not War: The Sexual Revolution: An Unfettered History. (Little, Brown and Company, 2000), Malik Badri, The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual revolution. Kuala Lumpur : Medeena Books).
Istilah Homophobia sendiri dicetuskan pada tahun 1960-an oleh seorang Psikolog George Winberg, untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus dan tidak rasional terhadap lesbian dan gay. Tahun 1972, Winberg menuliskan dalam bukunya “Society and the Healthy Homosexual”. Pada saat hampir bersamaan, dari sisi prasangka sosial muncul istilah “Heteroseksisme”, istilah yang mengandung analogi seperti seksisme dan rasisme. GM Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme merupakan sistem ideologi penolakan, pencemaran dan stigmatisasi terhadap berbagai perilaku, identitas, hubungan dan komunitas non-heteroseksual. Katanya, ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian. (GM Herek, The context of anti-gay violence: Notes on cultural and psychological heterosexism. 1990. Journal of Interpersonal Violence, 5, 316-333).
Pasca kasus di atas, Clementi dianggap Martir bagi dunia LGBT (Lesbian, gay, Biseksual dan Transgender) sementara tindakan Ravi dinilai oleh kelompok “Gay Equality Forum” sebagai “shocking, malicious and heinous” (mengejutkan, berbahaya dan keji). Penilaian kaum homoseksual terhadap kelompok heteroseksual sudah dilakukan melalui propaganda homoseksual selama 50 tahun ini. Puncaknya terjadi pada 1989 dengan terbitnya buku yang sangat populer dalam komunitas homoseksual sehingga dianggap sebagai “kitab suci” atau “manual book” mereka: “After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays, karya pasangan psikolog Gay, Marshall Kirk and Hunter Madsen. (Albert Mohler, After the Ball–Why the Homosexual Movement Has Won. 2004. Crosswalk.com . | June 3, 2004. Posted on Fri Jun 04 2004).
Pasangan psikolog gay, Marshal dan Hunter, memberikan pedoman bagaimana para aktivis homoseksual melakukan berbagai propaganda untuk mengubah opini publik; agar homoseksual dipandang normal; tidak lagi dianggap sebagai “mental illness” tetapi dipandang “sehat”. Dengan itu, masyarakat akan menerima perilaku mereka sampai mendapatkan hak khusus, tunjangan, dan hak istimewa.
Propaganda mereka dilakukan dengan cara menempatkan kaum LGBT sebagai pihak teraniaya dan korban dari sebuah tatanan masyarakat yang heteroseksis. Terhadap orang yang tidak setuju dengan LGBT, mereka berikan stigma sebagai orang “bigot, hatters and ignorants” atau fanatik, pembenci dan bodoh”. Dalam buku ini para aktivis homoseksual dan lesbianisme dibenarkan menggunakan setiap taktik, termasuk penipuan massal, berbohong, fitnah, kedengkian, intimidasi, kekerasan, dan lain-lain. Meskipun banyak aktivis pada awalnya mengutuk pendekatan ini, namun setelah dirasakan manfaat dari keberhasilan kampanye propaganda mereka, maka berbagai aktivis menjadi pembela utama di depan publik.
Puncak keberhasilan kampanye LGBT, adalah ketika mereka berhasil mengeluarkan homoseksual dari DSM (Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder). DSM-I yang disusun pada tahun 1952 oleh APA (American Psychiatric Association) dan Edisi keduanya yang keluar pada tahun 1968, masih memasukkan Homoseksual sebagai penyimpangan dalam perilaku seksual. Homoseksual pertama kali dikeluarkan pada 15 Agustus 1973, yang kemudian diganti dengan istilah Ego-dystonic homosexuality pada DSM-III.
Istilah ini ternyata menuai kritik dari berbagai kalangan. Sehingga pada akhirnya istilah Ego-dystonic homosexuality kemudian dikeluarkan pada tahun 1986 dan diperkuat dengan revisi DSM-III -R pada tahun 1987. Dukungan terhadap DSM semakin menguat ketika pada 17 Mei 1990, WHO mencabut kata ‘homoseksualitas’ dari International Classification of Diseases (ICD). Pada tahun 1994 APA mengeluarkan lagi DSM-IV, yang akhirnya di-revisi kembali manjadi DSM-IVTR (text revision) pada tahun 2000, yang seluruhnya sudah tidak ditemukan sama sekali Homoseksualitas sebagai kelainan seksual.
Sementara itu Indonesia sendiri dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, sejak tahun 1993, telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian seksual yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. PPDGJ-III merujuk pada standard dan sistem pengkodean dari International Classification of Disease (ICD-10) dan system multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).
Jika pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai “mental disorder” yang didukung oleh 90% anggota APA, maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik ketika hanya tersisa 10% anggota APA yang mendukung homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Dengan Normalisasi Homoseksual oleh berbagai kalangan maka penerimaan kelompok homoseksual oleh masyarakat bergerak ke arah positif. Dunia terbagi kedalam dua opini, kelompok Homoseksual dan Anti Homoseksual atau kerap disebut dengan Homophobia. Berlindung di balik wacana Hak Asasi Manusia, kelompok yang menentang Homoseksual distigma sebagai Penindas HAM. Jika kelompok homoseksual dianggap normal, maka bagaimana pandangan dari sisi kesehatan mental tentang kelompok anti homoseksual atau homophobia?
Sampai saat ini Homophobia memang belum dimasukkan ke dalam penyimpangan perilaku di dalam DSM. Namun melihat wacana yang semakin menguat dalam membela hak kelompok LGBT sekaligus diiringi dengan propaganda untuk menstigma kelompok yang menentang mereka, maka bisa jadi suatu hari nanti Homophobia dimasukan ke dalam DSM. Kekhawatiran ini tidak berlebihan dan mengada-ngada, karena diskusi publik tentang kemungkinan dimasukannya Homophobia ke dalam DSM V yang sudah mulai disusun sejak tahun 2010, dan akan dirilis pada tahun 2012 semakin menguat.
Kasus Darrun Ravi menjadi pembuktian bagaimana sistem hukum di dalam masyarakat global terus diarahkan kepada pembelaan kelompok LGBT. Inilah pentingnya kaum muslimin memberikan perhatian serius dalam soal masalah LGBT dan upaya pencegahannya secara bijak dan sungguh-sungguh. Suatu ketika, orang Muslim yang berpegang teguh pada agamanya dan mengutuk perilaku homoseksual/lesbianisme bisa dituduh menderita “gangguan jiwa”. Dan itulah yang dulu dituduhkan kepada Nabi Luth a.s. (QS Al A’raf:80-84 dan QS Hud:82-83). (28 Januari 2022).