Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII
FEPOK – Teori tentang asal-usul manusia berasal dari bangsa kera (hominid) biasanya dihubungkan dengan nama Charles Darwin, ilmuwan Inggris. Misalnya, dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, berdasarkan Kurikulum 2013, dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Alhamdulillah, pada tahun 2010, saya sempat mengunjungi kampus Charles Darwin, yaitu University of Edinburg di Inggris. Di sini, Darwin mulai kuliah pada Oktober 1825. Darwin juga pernah mengajar di University College London (UCL), sehingga ada satu gedung di kampus itu yang kini diberi nama Darwin Building. Jadi, Darwin memang cukup dihormati di Inggris.
Padahal, teori Darwin tentang evolusi kini sudah banyak mendapat tantangan. Bahkan, menurut seorang warga Indonesia, di sekolah-sekolah di Inggris, selain teori evolusi, juga diajarkan teori yang mengkritiknya. Tahun 2009 lalu, di sebuah kota di Selatan Inggris, dibuat pamaren besar-besaran tentang teori evolusi. Sebab, mereka mulai terdesak. Maka, para pengkritik teori evolusi semakin banyak menemukan bukti-bukti baru yang menggugurkan teori Darwin tersebut.
Kini, banyak ditemukan fosil-fosil kuno hewan dan tumbuhan yang berumur jutaan tahun, dan ternyata sama persis dengan spesies sejenisnya sekarang ini. Ketika mengunjungi Museum Nasional London, tahun 2010 itu, saya melihat puluhan mummi yang umurnya ribuan tahun, dan wujudnya sama dengan manusia seperti kita sekarang. Saat mengunjungi area peradaban-peradaban kuno, seperti Yunani, Babylonia, dan sebagainya, ditunjukkan patung-patung yang sosoknya juga persis seperti manusia kini.
Jadi, pandangan alam sekuler, yang menolak eksistensi dan peran Tuhan dalam penciptaan manusia, telah menyeret pada ilmuwan sekuler ke dalam dogma modern, bahwa manusia sekarang merupakan perkembangan dari makhluk sebelumnya bernama ’hominid’, sejenis kera tersebut. Padahal, ini masih dalam taraf dugaan. Dan dugaan tidak dapat menggantikan teori yang pasti dari al-Quran, bahwa manusia berasal dari Adam a.s. Dan Adam a.s. itu adalah seorang Nabi; Adam a.s. bukan monyet, dan monyet-monyet yang sekarang ada juga bukan keturunan Adam.
Jadi, secara epistemologis, sejarah asal-usul manusia masuk wilayah ’khabar’, bukan masuk wilayah sumber ilmu yang empiris atau rasional. Jangankan asal-usul manusia yang rentang waktunya ribuan tahun, untuk menentukan siapa sebenarnya orang tua kita yang sebenarnya, kita sudah menggunakan sumber khabar shadiq, yaitu berdasarkan keterangan dari orang tua kita dan orang-orang yang kita percayai. Kita tidak perlu melakukan tes DNA untuk menentukan siapa orang tua kita yang sebenarnya. Pengakuan orang-orang yang kita percayai saja sudah cukup, dan kita wajib mentaati orang tua kita.
Lagi pula, dalam dunia sains modern saat ini, para ilmuwan sekuler juga menggunakan sumber khabar, bahkan seringkali yang belum tentu ’shadiq’. Contoh, para mahasiswa diajarkan bahwa ’ini rumus dari Pythagoras’, ’ini rumus Archimides’, ’ini rumus Einstein’, dan sebagainya. Coba ditanya kepada Pak Dosen, dari mana Bapak tahu bahwa itu rumus Pythagoras, Archimides, atau Einstein? Paling-paling, Pak Dosen hanya akan menjawab, ”Katanya sih begitu. Karena saya juga tidak melihat sendiri!”
Bukan hanya dalam hal epistemologis, cara pandang keilmuan sekular dan ateistik dalam hal sejarah asal-usul manusia itu pun salah secara ontologis. Sebab, mereka hanya mendefinisikan “manusia” sebagai makhluk dengan entitas jasadiah semata. Mereka menolak entitas “RUH” sebagai realitas dan objek ilmu yang seharusnya dipahami berdasarkan wahyu. Sebab, RUH bersifat non-inderawi (insensible), sehingga hanya dapat dipahami melalui wahyu. Karena wahyu tidak dipandang sebagai sumber ilmu, maka “Ruh” dianggap tidak ada. Jika yang ditelaah dari manusia hanya aspek tulang belulang, maka simpulan akhirnya menjadi tidak sempurna, dan keliru. Itu artinya, yang dikaji oleh para antropholog itu bukan “Sejarah Manusia” tetapi “Sejarah Tulang Manusia”. Tulang dan daging tanpa RUH apa artinya?
Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Tidak mengherankan, dalam cara pandang materialis semacam ini, siswa juga kemudian diberi sajian kurikulum lainnya juga dalam dimensi materi saja.
Misalnya, sejak dulu sampai sekarang, siswa masih juga disajikan materi ajar tentang kebutuhan manusia, yang terdiri atas kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer manusia berpuncak pada kebutuhan makan dan minum, sandang, papan. Tidak ada disebutkan, bahwa manusia itu punya kebutuhan ‘rohani’ berupa kebutuhan IBADAH. Karena manusia dipandang sebagai entitas jasadiah semata, atau manusia dipandang sebagai kelas tertinggi dari binatang, yang memang hidupnya hanya untuk makan-makan dan melampiaskan syahwatnya.
Dalam cara pandang materialistik ini, manusia tidak dipandang sebagai entitas RUH yang menyatu dengan jasadnya. Padahal, manusia adalah keturunan Nabi yang tujuan hidup utamanya adalah ibadah kepada Allah. Jadi, ketika para ilmuwan itu bicara tentang sejarah manusia, ternyata gambaran tentang manusia itu sendiri, berbeda dengan gambaran al-Quran. Bisa dipahami, jika program-program pembangunan kemudian juga bertitik tolak dan lebih berat kepada dimensi materi, dibandingkan dengan pembangunan aspek ruhiyahnya. Program pembangunan seperti ini akan sangat merugikan, karena manusia akan menjadi serakah, tidak menyadari peran pentingnya “tazkiyyatun nafs” (penyujian jiwa).
Jadi, sekali lagi, kita bisa membuktikan, bahwa secara epistemologis, konsep manusia berasal dari monyet itu pun keliru. Sama sekali tidak ada bukti empiris dan rasional, bahwa manusia dari monyet. Hingga kini, tidak ada satu pun bukti empiris bahwa ilmuwan bisa mengubah monyet jadi manusia. Silakan kuliahkan monyet sampai ketingkat doktoral. Tidak akan monyet itu bisa berubah jadi manusia. Atau, kawinkanlah monyet dengan seorang profesor yang hebat. Tak akan lahir anak monyet yang berakal dan beradab.
Sejarah asal-usul manusia yang begitu lama berlalu, hanya bisa dipastikan melalui berita yang benar (khabar shadiq). Al-Quran telah menjelaskan asal-usul manusia dengan khabar yang jelas, bahwa manusia itu berasal dari Adam a.s. Ini berita yang pasti. Inilah berita yang sepatutnya diyakini kebenarannya, karena bersumber dari Kitab yang sangat terpercaya (al-Quran). Semua rekayasa objek purbakala hanya menghasilkan kesimpulan ke tingkat dugaan (dhan). Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 Januari 2022).