MENELAAH KEMBALI SEJARAH KEBESARAN MAJAPAHIT

Oleh
Dr. Muhammad Isa Anshory
(Sejarawan)

Dewandakwahjatim.com, jumlah ahli sejarah menelaah cerita tentang kebesaran Kerajaan Majapahit. Benarkah Kerajaan ini memiliki kebesaran sebagaimana banyak diceritakan dalam berbagai buku sejarah di sekolah-sekolah? 

Para ahli sejarah perlu terus menggali fakta dan mitos seputar kebesaran Majapahit, agar kita bisa lebih objektif dalam memahami masa lalu bangsa Indonesia. Sejarah ditulis untuk diambil pelajaran darinya. Majaphit pernah bertahan sekitar 200 tahun. Dan kemudian, kerajaan ini runtuh digantikan dengan Kerajaan Demak, yang dipimpin oleh salah satu keturunan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293-1520. Rajanya pertama bernama Wijaya, menantu Kertanegara, Raja terakhir Singasari. Konon Majapahit mengalami puncak kejayaan di masa raja keempat, Hayam Wuruk (1350-1389). Akan tetapi setelah meninggalnya raja ini, Majapahit tidak mampu mempertahankan kejayaannya dan akhirnya mulai mengalami kemunduran.
Sebenarnya, sejarah rinci Majapahit tidak begitu jelas. Sumber-sumber uatamanya adalah prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno, naskah Negarakertagama dan Pararaton, serta beberapa catatan berbahasa Cina. Sebagai historiografi tradisional, Negarakertagama dan Pararaton mengandung kebenaran historis bercampur dengan kebenaran mistis. Artinya, kedua naskah kuno ini selain berisi rekaman sejarah juga mengandung unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, dan sebagainya. Jadi, tidak dibedakan antara fakta sesungguhnya dengan “fakta” rekaan pengarangnya.
Karena itu, beberapa sejarawan menyangsikan kredibilitas Negarakertagama dan Pararaton. Prof. C.C. Berg, misalnya, memandang kedua naskah itu sebagai dokumen dongeng-dongeng politik-religius, bukan dokumen sejarah. Menurutnya, naskah-naskah itu tidak dimaksudkan untuk mencatat masa lampau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa mendatang dengan sarana gaib. Sementara itu, W.F. Stutterheim mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap keterangan-keterangan yang terdapat dalam Negarakertagama maupun Pararaton.
Negarakertagama dikarang oleh penyair keraton, Prapanca, pada 1365. Ia mencatat hal-hal yang kurang patut terhadap diri raja atau keluarga kerajaan. Kitab ini juga suka melebih-lebihkan hal-hal yang dapat mempertinggi kehormatan raja serta keluarganya yang melindungi penyair keraton. Pararaton dikarang beberapa abad kemudian (sekitar 1613) setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersangkutan menurut berbagai cerita lama dari macam-macam sumber.
Meskipun demikian, Negarakertagama dan Pararaton tetap dipakai sebagai sumber utama penulisan sejarah Majapahit. Sebab, tidak ada sumber tertulis lokal lainnya selengkap kedua naskah ini. Dari sinilah masalah gambaran faktual tentang kebesaran Majapahit itu bermula.
Dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, Majapahit digambarkan sebagai kerajaan besar yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia. Majapahit dianggap berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatra hingga Papua. Kita patut bertanya, “Benarkah fakta sejarah itu?”
Kitab Negarakertagama memang menyebutkan daerah-daerah taklukan Majapahit. Ada tidak kurang dari 98 nama daerah yang dikatakan bergantung kepada Majapahit. Daerah-daerah tersebut diwajibkan membayar upeti. Menurut W.F. Stutterheim dalam Het Hinduisme in den Archipel, daerah yang dekat dari pusat kekuasaan Majapahit, seperti Bali, selalu terancam dengan serangan tentara yang dikirimkan untuk menghukum jika tidak membayar upeti.
Tetapi, Kerajaan Sunda, yang letaknya masih satu pulau dengan Majapahit, tidak pernah takluk dan menjadi wilayah bawahan Majapahit. Klaim bahwa Majapahit berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara perlu diperanyakan. Apalagi, dalam sejarahnya, Majapahit banyak dilanda pemberontakan dan konflik intern.
Sebut saja antara lain: pemberontakan Rangga Lawe (1309), pemberontakan Sora (1311), pemberontakan Juru Demung (1313), pemberontakan Gajah Biru (1314), pemberontakan Nambi (1316), pemberontakan Semi dan Kuti (1319), pemberontakan Sadeng (1331), dan perang Paregreg (1401-1406). Yang terakhir ini bahkan melemahkan kekuasaan Majapahit dengan drastis. Menurut Vlekke, pada kenyataannya kekuasaan riil raja-raja pertama Majapahit sangat jauh dari klaim tersebut.
Kajian sejarah yang lebih objektif diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih riil tentang masa lalu bangsa Indonesia. Tujuannya, agar kita bisa belajar nilai-nilai yang luhur di masa lalu, dan merumuskan masa depan yang lebih gemilang. Semua itu harus berdasarkan kepada fakta, bukan mitos. Wallahu A’lam bish-shawab. (16 Januari 2022).

editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *