Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakwahcom, Mataram - Salah satu sebab Allah menurunkan hukuman kepada umat Islam adalah tidak dijalankannya kewajiban dakwah. Yakni, kewajiban menjalankan “amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bil ma’ruf wan-nahyu ‘anil munkar) di tengah-tengah mereka.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, sangat menekankan kewajiban aktivitas ini bagi kaum Muslimin. Menurutnya, kegiatan ini bersifat fardhu kifayah. Artinya, harus ada sekelompok orang dari kalangan umat Islam, yang serius menekuni aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. “Dan harus ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khair dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam akan beruntung atau meraih kemenangan jika melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Logika sebaliknya, mereka akan kalah dan terpuruk jika meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar merupakan ciri khas masyarakat mukmin. “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Mereka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan shalat.” (QS at-Taubah: 71).
Orang-orang mukmin juga disebut oleh Allah sebagai umat yang terbaik karena aktivitas mereka yang selalu aktif dalam menegakkan al-ma’ruf dan melawan kemunkaran. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran.” (QS Ali Imran: 110).
Di masa lalu, kaum Bani Israil juga dihukum oleh Allah karena meninggalkan aktivitas pemberantasan kemunkaran. “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amatlah buruk apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah:78-79).
Imam al-Ghazali menjelaskan, bahwa cukuplah bagi Allah untuk menjatuhkan laknatnya karena mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Secara khusus Allah mengecam para pemuka agama yang tidak mencegah perbuatan munkar. “Mengapa orang-orang alim dan pemuka-pemuka agama mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan dusta dan memakan yang haram? Sungguh amat buruklah apa yang mereka perbuat.” (QS Al-Maidah: 63).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw diriwayatkan bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT tidak mengazab orang-orang tertentu karena dosa-dosa orang kebanyakan, sampai orang-orang tertentu tadi melihat kemunkaran di depan mereka, sedangkan mereka mampu untuk mencegahnya, tetapi mereka tidak mencegahnya.” (HR Ahmad).
Imam Al-Ghazali menyebutkan sejumlah sabda Rasulullah saw yang menyebutkan, bahwa Allah akan mengazab suatu kaum karena mereka membiarkan kemunkaran merajalela, sedangkan orang-orang yang baik mendiamkan saja dan tidak berusaha mencegah kemunkaran. Huzaifah Ibn Yaman r.a. pernah ditanya tentang orang yang (pada hekakatnya) sudah mati, ketika dia masih hidup, yaitu: “Orang yang tidak berusaha mencegah kemunkaran dengan tangannya, atau dengan lisannya, dan juga dengan hatinya.” Merujuk kepada pendapat Huzaifah r.a. tersebut, bisa dikatakan, itulah manusia-manusia “zombi”, yakni sejenis mayat hidup, yang hidupnya sudah tidak peduli lagi dengan amalan amar ma’ruf nahi munkar. Dia tidak peduli dengan urusan kebenaran dan kebatilan atau kemunkaran. Hidupnya hanya diabdikan untuk mengejar kesenangan dan kebanggaan duniawi; sibuk mengejar pangkat, golongan, dan memuaskan hawa nafsu.
Dalam Kitabul Arba’in fii Ushuliddin, Imam al-Ghazali juga menjelaskan, bahwa pelaku amar ma’ruf nahi munkar, harus melakukan tindakannya dengan cara yang lemah lembut dan ikhas karena Allah. Jangan sampai aktivitas itu dilakukan untuk mencari popularitas atau keuntungan duniawi. Kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dibebankan kepada orang mukmin dan mukallaf. Anak-anak tidak dibebani kewajiban ini. Begitu juga orang gila. Khalifah al-Makmun pernah menegur seorang pengkritik yang bersikap keras terhadap dirinya. Dia katakan: “Wahai saudara, Allah telah mengutus seorang (Musa a.s.) yang lebih baik dari dirimu kepada orang yang lebih buruk dariku (Fir’aun) tetapi Allah menuruhnya bersikap lemah lembut.”
Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi Muhammad saw, dan meminta beliau mengizinkannya berzina. Maka dia diteriaki oleh orang-orang yang hadir. Tapi, Rasulullah saw dengan sabar menghadapinya dan memintanya untuk mendekat. Kemudian Rasululullah saw bertanya kepadanya, apakah dia suka jika ibunya, putrinya, atau saudara perempuannya dizinahi orang? Pemuda itu menjawab Pemuda itu menjawab, tidak! Maka, kata Rasulullah saw, orang-orang lain pun tidak suka ibunya, putrinya, atau saudara perempuannya dizinahi. Kemudian Rasulullah mendoakan si pemuda, agar hatinya dibersihkan, dosanya diampuni dan kemaluannya dilindungi. Sejak saat itulah, tidak ada tindakan yang paling dibenci oleh si pemuda itu selain zina.
Itulah contoh, bagaimana Nabi Muhammad saw menggunakan cara-cara yang lembut dan logika yang cerdas dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Saya pernah mendengar cerita, dalam suatu acara seminar di Hawai USA, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjawab pertanyaan sejumlah cendekiawan yang mempertanyakan, kenapa Prof. Naquib menyebutkan, bahwa hanya Islam agama yang benar, dan satu-satunya agama wahyu yang murni hanyalah Islam. Dijawab, oleh Prof. Naquib bahwa dia adalah Muslim, dan dia hanya berhak menyatakan, Islam yang benar. Soal agama yang lain, itu terserah pengikutnya masing-masing.
Prof. Naquib al-Attas memang menulis dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, bahwa “Islam is the only genuine revealed religion.” Sebagai seorang Muslim, wajar memiliki pemikiran dan keyakinan seperti itu.
Dengan pemikiran semacam itu, bukanlah berarti, derajat keilmuannya rendah. Imam al-Ghazali, misalnya, dengan tegas menyatakan, bahwa orang yang tidak mengimani kenabian Muhammad saw adalah kafir. Bukan berarti al-Ghazali adalah ilmuwan kelas rendah, karena yakin dengan kebenaran agamanya.
Maka, sungguh keliru jika ada yang menyatakan, bahwa seorang ilmuwan yang baik adalah yang berpikir netral agama, yang membuang jauh-jauh keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri. Paham-paham yang meragukan keyakinan akan kebenaran Islam adalah paham munkar. Umat Islam berkewajiban mencegah penyebaran paham semacam itu dengan cara yang cerdas dan bijak, sebagaimama dicontohkan oleh Rasulullah saw. Wallahu A’lam bish-shawab. (Mataram, 5 Januari 2022).
Editor: Sudono/Humas DDII Jatim