Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Fewandakwahjatim.com, Depik - Pada 19 Juni 1972, Kejaksaan Agung RI mengeluarkan keputusan tentang ajaran dan organisasi agama Baha’i. Dikatakan dalam surat bernomor: R-121/3.C/6/72 tersebut, bahwa:
(1) apa yang menamakan dirinya agama Baha’i, berdasarkan Kep.Pres No. 264 tahun 1962 sampai saat ini tetap dilarang, baik organisasinya maupun ajaran-ajaran/kegiatannya.
(2) Terhadap siapa saja yang melanggar Kep.Pres no 264 tahun 1962 tersebut, dapat dilakukan penuntutan.
Kep.Pres no. 264 tahun 1962 memang melarang kegiatan sejumlah organisasi di Indonesia, seperti Rotary Club, Devine Life Society, Vrijment selaren-loge (Loge Agung Indonesia), Ancient Mystical Organization of Rucen Cruisers, dan sebagainya.
Organisasi-organisasi tersebut dilarang dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat penyelesaian revolusi dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.
Pada tahun 1976, Departemen Agama RI mengeluarkan satu Diktat berjudul: “Diskripsi Aliran-aliran Kepercayaan/Faham-faham Keagamaan. Diantara aliran-aliran yang dibahas adalah: Agama Jawa Sunda, Baha’i, Islam Tua, Ya Qowiyyu, Khonghucu, dan beberapa aliran lainnya.
Dikatakan dalam diktat Departemen Agama tersebut, bahwa meskipun secara resmi sudah dilarang oleh Presiden, tetapi pada tahun 1971 pengikut agama Baha’i mulai menunjukkan kegiatannya. Sampai tahun 1972, papan nama pekuburan pengikut Baha’i masih terpampang. Pangikut Baha’i juga berusaha mencabut Kep.Pres pelarangan agama Baha’i.
Menhankam/Pangab pun mengeluarkan larangan penyebaran Baha’i di lingkungan Angkatan Bersenjata. Menanggapi permohonan pihak Baha’i, pemerintah memandang belum melihat manfaat untuk meninjau Kep.Pres pelarangan Baha’i dan lain-lain.
Menurut Departemen Agama ketika itu (1976), walaupun pemeluk agama Baha’i itu jumlahnya sedikit, tetapi rupanya Indonesia dijadikan sasaran utama dalam program pem-Bahai-sasi. Mereka berusaha menyelenggarakan Konferensi Masyarakat Bahai se-Asia bertempat di Jakarta. Itu terjadi tahun 1958. Dan pemerintah Indonesia tegas menolak permohonan ijin dari Baha’i.
Jadi, begitulah, dulu pemerintah RI, secara tegas melarang organisasi dan ajaran agama Baha’i. Zaman kemudian berubah. Pemerintah RI kemudian mencabut Kep.Pres yang melarang agama Baha’i. Maka, pro-kontra tentang status Baha’i terus bergulir. Sejumlah ulama di Indonesia menyatakan, bahwa Baha’i adalah aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, maka tidak sepatutnya aliran ini diberikan kedudukan yang sama dengan enam agama yang diakui secara resmi oleh UU No 1/PNPS/1965.
Sejumlah pihak lain menyatakan, bahwa Baha’i adalah suatu agama tersendiri. Situs resmi Kemenag RI menyatakan, bahwa Baha’i adalah suatu agama tersendiri, dan bukan aliran dari suatu agama tertentu. Bahai memiliki nabi, kitab, doktrin, dan ajaran tersendiri.
Lebih jauh dijelaskan: “Agama Baha’i merupakan agama yang dirujukkan pada ajaran Baha’ullah. Agama Baha’i lahir di Iran sekitar tahun 1844. Ajaran Baha’i memiliki penekanan kesatuan hakikat semua agama. Dalam rangka kesatuan ini, Tuhan diibaratkan sebagai Matahari. Sementara umat-umat beragama diibaratkan orang yang hidup dalam keluarga dan di rumah tertentu. Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.
Menurut ajaran Baha’i, setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumahnya masing-masing, sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki, tidak melalui kaca jendelanya. Atas dasar itu, ajaran Baha’i sering disebut memiliki prinsip kesatuan agama.”
(https://www.kemenag.go.id/read/memahami-video-menag-tentang-agama-baha-i).
Agama Baha’i ini sejenis paham Pluralisme Agama sinkretis yang menawarkan perdamaian dengan memadukan sejumlah ajaran dari beberapa agama. Jika Baha’i menyuruh pemeluk agama lain untuk “keluar dari rumahnya masing-masing, supaya bisa melihat sinar matahari yang hakiki”, itu sama saja dengan mengatakan, bahwa orang muslim tidak bisa memahami Tuhan secara hakiki jika tetap di dalam “rumah” Islam.
Juga menurut Baha’i, “Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.”
Bagi umat Islam, agama Baha’i adalah tantangan dakwah yang baru. Umat Islam harus mampu menyampaikan dakwah sebaik-baiknya, agar kaum Baha’i menyadari kekeliruan mereka dan mau beriman kepada kenabian Muhammad saw. Bukti-bukti kenabian beliau sudah sangat terang benderang. Nabi Muhammad saw juga telah berhasil melahirkan satu peradaban yang agung di Madinah dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Wallaahu A’lam bish-shawab. (Depok, 2 Januari 2021).
Editor: Sudono/Humas DDII Jatim